"On Line Monitoring" dan "Public Punishment"- Dalam Penanggulangan Banjir dan Genangan

Sumber:Kompas - 23 April 2004
Kategori:Drainase
BANJIR dan genangan di musim hujan terus terjadi dengan intensitas, frekuensi, durasi, periode ulang, luas wilayah, serta dampak multisektoral pada saat dan pascakejadian yang semakin kompleks. Ironisnya, oknum pejabat publik yang bertanggung jawab justru memanfaatkan dan mengeksploitasi dan memproyekkan penderitaan masyarakat korban banjir dan genangan sehingga menimbulkan aroma busuk yang memunculkan sikap apatis, apriori, serta masa bodoh masyarakat.

TELADANNYA, pembabatan hutan, alih fungsi lahan ke arah impermeabel, pengurukan rawa, serta reklamasi pantai terus dilakukan secara membabi buta dan tidak terkendali terjadi di seluruh permukaan daerah aliran sungai (DAS). Menyedihkan lagi, berdasarkan pemantauan lapangan, pelaku utama (main actor) dan aktor intelektualnya (intellectual actor) didukung oknum aparat penegak hukum dan penguasa. Meskipun menuai kritik dari berbagai pihak, perusak lingkungan selalu menutup telinga dan mata hati, seolah merasa tidak bersalah dan tidak bertanggung jawab serta membiarkan bencana terus meluas tanpa perasaan bersalah.

Destruksi lingkungan secara sistematis ternyata terjadi tidak hanya di Pulau Jawa yang padat penduduk, melainkan juga berlangsung di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, yang kerapatan populasinya (population density) masih sangat rendah. Kombinasi morall hazard pejabat dan kemiskinan masyarakat ditengarai sebagai persoalan mendasar yang harus dipecahkan melalui keteladanan dan konsistensi pemimpin di segala lapisan.

Kalau demikian kondisinya, secara apriori sulit rasanya mengharapkan keluaran yang signifikan dari Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan karena laju perusakan (rate of destruction) akan jauh lebih tinggi dengan rehabilitasinya. Lalu pertanyaannya, faktor determinan apa yang menjadi penyebab utama penyelesaian banjir dan genangan terkesan berjalan di tempat, bahkan mengalami kemunduran? Masalah struktural dan implementasi adalah jawabnya.

Masalah struktural

Indonesia harus mengambil pelajaran negara maju di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, maupun Australia dalam mitigasi banjir dan genangan. Meskipun kebutuhan kayu negara-negara maju tersebut sangat tinggi, pengelolaan hutan dan alih fungsi lahan dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Negara-negara maju melakukan pendekatan melalui maksimalisasi nilai manfaat hutan non-kayu, seperti jamur, air, madu, getah, rempah, obat, dan pariwisata, yang secara ekonomi, sosial, dan lingkungan jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan harga kayunya sehingga hutan menjadi obyek yang secara otomatis dilindungi oleh masyarakat, bukan sebaliknya.

Ada dua strategi implementasi yang harus dilakukan agar penyelesaian masalah banjir dan genangan berada pada jalur yang benar (in the correct track), (1) pembentukan struktur organisasi dan pengembangan sumber daya manusia (capacity building) dan (2) implementasi teknologi mitigasi di lapangan. Berkaitan dengan struktur, penanggulangan banjir dan genangan harus dilakukan oleh satu instansi saja.

Di Perancis, pemerintah membentuk pengelola satuan wilayah sungai (agent du bassin) yang beroperasi secara lintas wilayah administrasi di bawah Departemen Pengelolaan Wilayah (Departement d'amenagement du Teritoire). Institusi tersebut merupakan satu-satunya instansi yang paling authorize dan bertanggung jawab dalam penanganan keseluruhan permasalahan DAS, seperti banjir, genangan, kekeringan, pencemaran mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasi.

Pendekatan ini memungkinkan instansi penanggung jawab dapat dimintai pertanggungjawaban publik sampai ke pengadilan apabila terjadi bencana banjir dan genangan di wilayahnya. Hanya banjir dan genangan akibat curah hujan eksepsional (rainfall exceptionel) yang excuse pengelolanya dapat diterima publik.

Bandingkan dengan banjir dan genangan di Jakarta, hanya dengan curah hujan 60 mm yang merata selama 3 jam, genangan dan banjir sudah terjadi di mana-mana. Berkaitan dengan instansi yang terkait dalam penanggulangan banjir dan genangan, di Indonesia ada sekitar enam instansi yang terlibat, yaitu Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Bappenas, BPN.

Dampaknya, lebih dari 100 proyek penanggulangan banjir dan genangan di DAS Ciliwung yang berjalan sendiri-sendiri dengan koordinasi sangat lemah sehingga besarnya dana yang diinvestasikan tidak pernah proporsional dengan keluarannya.

Untuk mengontrol pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi pengelolaan DAS, dalam agent du bassin dibentuk (a) dewan pengawas dan (b) dewan pelaksana, yang masing-masing anggotanya berasal dari para pakar terkait, masyarakat umum, parlemen, pemerintah kotam dan perwakilan pengguna yang jumlah dan keanggotaannya diputuskan melalui pemilihan langsung.

Adanya satu instansi pengelola DAS membuat masalah implementasi yang selama ini terus mengundang kritik dari berbagai pihak dapat dipantau tingkat keberhasilan dan pertanggungjawaban publiknya.

Pada saat penulis berkunjung di salah satu agent du bassin di dekat Paris, kebetulan ada salah satu direkturnya yang pernah menjadi penasihat Menteri Pekerjaan Umum Indonesia selama lima tahun. Sayangnya, upayanya meyakinkan pemerintah tentang perlunya DAS dikelola satu instansi tidak berhasil ia dilakukan sampai yang bersangkutan selesai bertugas di Indonesia akibat resistensi berbagai instansi terkait. Sangat disayangkan memang, tetapi itulah faktanya.

Pertanyaan selanjutnya, program strategis apa yang mendesak untuk dilakukan agar masalah banjir dan genangan segera menemukan solusinya? Kombinasi on line monitoring dan public punishment adalah solusinya.

"Public punishment"

Untuk menekan laju kerusakan lingkungan dan memantau kinerja program perbaikannya, pendekatan sistem on line monitoring sangat diperlukan. Melalui pendekatan sistem on line, pengelola DAS dapat menginformasikan setiap perubahan magnitude masukan sistem (curah hujan) dan parameter sistem (jenis dan tutupan lahan, infiltrasi) kepada pemangku kepentingan (stakeholders).

Ada dua manfaat yang dapat diperoleh dengan pendekatan on line, (1) perubahan magnitude sistem akibat pelanggaran dan atas izin siapa pun dapat diakses, dipantau, dan diinformasikan kepada publik sehingga menjadi sistem pengawasan melekat (2) program mitigasi dan adaptasi dapat dideterminasi jenis, kerapatan, komposisi, dan lokasinya.

Masalah pelanggaran ini sangat penting dan krusial untuk dipecahkan karena berdasarkan pemantauan di lapangan, perusak dan pelanggar utama norma dan peraturan perundangan tentang lingkungan sebagian besar adalah pemilik modal besar dan pejabat.

Petugas di lapangan seolah lesu tidak berdaya menghadapi arogansi kekuasaan para perusak lingkungan. Melalui sistem on line, public punishment dapat dilakukan, seperti saat Wakil Presiden Hamzah Haz menggunakan jalan bus way yang semestinya bukan menjadi haknya. Menuai kritik tajam dari banyak pihak, dengan kebesaran hatinya, Wakil Presiden merasa perlu meminta maaf secara terbuka. Pengalaman ini dapat digunakan untuk melalukan public punishment kepada oknum yang selama ini aparat hukum tidak pernah dan tidak berani menyentuhnya.

Lebih jauh melalui on line monitoring menurut ruang (temporal) dan waktu (spatial), determinasi, jenis teknologi, jenis komoditas, kerapatan, komposisi, dan lokasi implementasinya dapat dipantau oleh masyarakat. Kegiatan serupa berhasil diterapkan di stasiun peringatan dini banjir di Nice, Perancis selatan, yang merupakan salah satu yang modern di dunia.

Penetapan luas hutan lebih besar dari 30 persen dalam suatu DAS menurut UU Kehutanan No 11/97 dapat diuji keakuratan dan kebenarannya di lapangan. Pengujian ini sangat penting dilakukan karena dalam UU No 11/97 tidak mencantumkan apakah 30 persen hutan tersebut berada dalam satu agregat atau utuh di hulu, tengah, atau hilir agar kontribusinya terhadap penanggulangan banjir dan genangan dapat dimaksimalkan? Lebih jauh, melalui pendekatan yang sama, project overlapping dan mist coordination yang memboroskan tenaga, waktu, dan dana penanggulangan banjir dan genangan dapat direduksi secara nyata.

Untuk itu, penyusunan sistem informasi DAS sebagai alat bantu pengambilan keputusan (guidance tool for decision support system) dalam penanggulangan banjir dan genangan mutlak harus dilakukan.

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Badan Litbang Pertanian mempunyai kemampuan dan pengalaman serupa yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut. Pertanyaannya, kapan pemerintah memulai penanganan banjir dan genangan lebih serius lagi, di mana proyek pilotnya agar dapat dijadikan teladan bagi kita semua? Mari kita tunggu jawabannya.

Gatot Irianto Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi; Pengurus Pusat Perhimpi

Post Date : 23 April 2004