100 Juta Penduduk Belum Peroleh Layanan Air Bersih

Sumber:Suara Pembaruan - 27 Nopember 2004
Kategori:Air Minum
JAKARTA - Saat ini lebih dari 100 juta penduduk Indonesia belum memperoleh akses pelayanan air bersih dan penyehatan lingkungan. Penyebabnya selama beberapa dekade hingga tahun 2000, Indonesia tidak memiliki kebijakan nasional yang bisa dijadikan platform nasional untuk air minum dan penyehatan lingkungan.

Hal itu diakui Direktur Permukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Basah Hernowo saat berbicara dalam Diseminasi Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Berbasis Masyarakat oleh Pokja AMPL di Jakarta, Jumat (26/11).

Hal itu pula yang membuat Indonesia sekian lama disetir oleh kepentingan lembaga-lembaga donor. Menurut Basah, pemerintah saat ini berusaha memperbaikinya, antara lain dengan menyusun kebijakan dan rencana kegiatan AMPL. AMPL sering juga disebut Waspola atau Water Supply and Sanitation Policy Formulation and Action Planning.

Ada tiga komponen pengelolaan AMPL berbasis masyarakat dan berbasis lembaga yaitu proses pembelajaran, penyusunan kebijakan, dan pelaksanaan kegiatan. Kebijakan nasional berbasis masyarakat ini menekankan peran serta masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Peran serta itu mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan pengelolaannya. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator, ujar Basah.

Kebijakan tersebut menurutnya didasari kenyataan masih buruknya akses masyarakat terhadap air bersih. Sebagai contoh secara nasional saat ini proporsi penduduk terlayani air perpipaan baru mencapai 18,3 persen. Di Jakarta saja, tidak semua warga memiliki akses ke jaringan pipa air bersih, padahal di sisi lain, aliran air di Jakarta sudah tercemari sangat hebat oleh limbah.

"Saat ini pemenuhan kebutuhan air bersih secara nasional baru sekitar 120 liter/orang/hari. Sedangkan untuk Jakarta 200 liter/ orang/hari. Bandingkan dengan Inggris yang sudah mencapai 400 liter/orang/hari," papar Basah. Padahal kualitas sanitasi dan lingkungan sangat mempengaruhi kecerdasan seseorang, sehingga wajar jika human development index (HDI) Indonesia sangat rendah.

Namun, implementasi kebijakan nasional di atas haruslah diikuti oleh perubahan paradigma oleh para birokrat sebagai pelayan masyarakat. Pemerintah tak bisa lagi mendikte tapi hanya bisa sebagai fasilitator dan pemberi dukungan, kata Basah. Kebijakan tersebut juga harus mampu menjawab tantangan ke depan di bidang air minum dan penyehatan lingkungan.

Terlebih lagi Indonesia telah menyepakati Deklarasi Millenium yang memuat tujuan dan target yang harus di capai hingga 2015 yang tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs). "Sektor air minum dan lingkungan terkait langsung dengan tujuan butir ketujuh yaitu pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan," ujarnya. Pada tujuan ketujuh mengenai pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan, target 10 pada tahun 2015 harus mengurangi separuh dari proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar.

Masalahnya, keterbatasan pada akses air bersih juga mencakup kualitas dan kuantitas pelayanan air bersih. Fakta juga memperlihatkan masih tingginya keterbatasan sumber air baku baik kualitas maupun kuantitas. Belum lagi kalau standarnya ditingkatkan menjadi akses terhadap air minum, kondisi yang ada jauh lebih memprihatinkan, ujar Basah.

Penanganan Sampah

Persoalan mendasar yang harus segera dibenahi adalah penanganan sampah, air limbah dan pengelolaan drainase. Saat ini dari seluruh sampah yang dihasilkan, baru 18,3 persen yang bisa diangkut petugas. Hal itu diperparah oleh masih tingginya angka sampah yang dibuang ke sungai atau saluran air dan menyebabkan banjir. Masih buruknya pengelolaan sampah dan kian terbatasnya lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah menjadi bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu.

Sementara itu perhatian pemerintah maupun masyarakat termasuk pengusaha terhadap penanganan air limbah masih sangat minim. Padahal air limbah di daerah hulu sangat mungkin menjadi air baku bagi daerah hilir, sehingga bisa dibayangkan seperti apa kualitas air baku di wilayah hilir.

Minimnya perhatian pemerintah terhadap penanganan air limbah bisa dilihat dari besarnya alokasi anggaran untuk penanganan air limbah. Sebagai perbandingan pada tahun 1992-2002, dana untuk air minum dianggarkan Rp 2 trilyun, sedangkan untuk air limbah hanya Rp 1,5 miliar. Sedangkan untuk tahun 2002 saja, jika air minum diberi anggaran Rp 150 miliar, air limbah hanya Rp Rp 100 juta.

Pengelolaan drainase juga faktanya masih sangat buruk dimana terlihat lebih dari 30% rumah tangga di Indonesia mempunyai drainase. Selain itu jaringan drainase yang ada belum terintegrasi dengan jaringan pengendalian banjir. Alangkah baiknya jika setiap berapa unit rumah dibuatkan sebuah jaringan drainase terintegratif yang bermuara pada satu titik untuk dikelola secara professional sehingga pengelolaan drainase menjadi lebih efisien, ujar Basah.

Oleh karenanya, implementasi kebijakan nasional mengenai AMPL berbasis lembaga dan masyarakat menjadi sesuatu hal yang penting dan mendesak. Tentu saja pemerintah juga harus terbuka menerima masukan dan kritikan dari seluruh komponen masyarakat agar pelaksanaannya bisa betul-betul memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. (L-11)

Post Date : 27 November 2004