1001 Permasalahan Sanitasi

Sumber:Pikiran Rakyat - 08 Maret 2007
Kategori:Sanitasi
Berbicara sanitasi, berarti kita lebih jauh membicarakan kesehatan lingkungan. Saat ini, banyak sekali permasalahan lingkungan yang harus dihadapi dan sangat mengganggu terhadap tercapainya kesehatan lingkungan. Ironisnya, hanya Rp 200,00/orang/tahun yang disediakan pemerintah dalam 30 tahun terakhir untuk mengatasi masalah ini, padahal kebutuhan ideal per orang setiap tahunnya adalah Rp 47.000,00.

Sungguh satu nilai yang jauh berbeda, padahal kesehatan lingkungan bisa berakibat positif terhadap kondisi elemen-elemen hayati dan non hayati dalam ekosistem itu sendiri. Bila lingkungan tidak sehat maka sakitlah elemennya, tapi sebaliknya jika lingkungan sehat maka sehat pulalah ekosistem tersebut. Perilaku kurang baik dari manusia, telah mengakibatkan perubahan ekosistem dan timbulnya sejumlah permasalahan sanitasi.

Pertama, kebocoran septic tank. Saat ini sekitar 70 persen air tanah di daerah perkotaan sudah tercemar berat bakteri tinja, padahal separuh penduduk perkotaan masih menggunakan air tanah. Banyak hal yang mengakibatkan kebocoran atau bahkan rembesan limbah septic tank, padatnya perumahan bisa mempercepat terjadinya kondisi ini, seperti dimuat Pikiran Rakyat (Senin, 19/2), 2007 merupakan tahun emas industri perumahan. Satu kondisi yang perlu diantisipasi dampaknya sejak dini.

Bappenas menyatakan, saat ini standar nasional tentang konstruksi septic tank sudah ada, tetapi dalam implementasinya kurang ditunjang oleh aturan-aturan lainnya, seperti belum adanya aturan yang membatasi jumlah septic tank per satuan luas kawasan. Demikian pula dengan aturan yang mewajibkan penyedotan tinja secara rutin dan pihak yang merasa berkepentingan memeriksa isi septic tank, belum ada. Selain itu, masih ada anggapan dari masyarakat bahwa bagus dan tidaknya septic tank hanya dirasakan oleh pemiliknya saja.

Kedua, MCK yang tidak berfungsi secara optimal baik karena usang, salah konstruksi, tidak terawat, tidak ada air, maupun masyarakat yang belum siap menerima keberadaannya sesuai fungsinya. Ketiga, saluran air yang tersumbat. Seharusnya fungsi saluran tersebut adalah mengalirkan air hujan, tetapi dalam pelaksanaannya dipakai menampung air kakus dan sampah sehingga jadi sarang penyakit. Keempat, melakukan aktivitas harian di sungai yang tercemar terjadi akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap sarana MCK dan air bersih.

Kelima, pembuatan jamban yang asal-asalan, 35 persen jamban di kawasan perkotaan tidak ada air, tidak ada atap atau tidak tersambung ke septic tank. Keenam, influein industri di kawasan pemukiman sebagian besar dialirkan ke sungai tanpa proses pengelolaan terlebih dahulu. Ketujuh, buang air besar sembarangan. Lebih dari 12 persen penduduk perkotaan Indonesia sama sekali tidak memiliki akses ke sarana jamban (Susenas 2004). Artinya, belasan juta penduduk perkotaan Indonesia masih membuang tinja langsung di kebun, selokan, ataupun sungai. Kedelapan, pembuangan liar lumpur tinja. Pada kenyataannya, saat ini banyak truk tinja membuang langsung muatannya ke sungai, alasannya tidak ada IPLT, IPLT tidak berfungsi atau petugasnya malas.

Pembangunan masyarakat kota

Membaiknya sanitasi suatu kota, berarti juga mengurangi penyakit-penyakit akibat buruknya sanitasi di masyarakat yang disebabkan oleh bakteri patogen, jamur, maupun cacing parasit. Meluasnya penyakit seperti flu burung juga disebabkan oleh buruknya sanitasi. Padahal jelas, hasil riset Bappenas menyatakan, sanitasi yang baik mampu mengurangi biaya kesehatan 6 - 19 persen, bahkan mengurangi biaya pengobatan sekitar 2 - 5 persen.

Contoh konkret bisa kita lihat di Bandung dan Jakarta, dua kota besar yang ada di Indonesia sekaligus ibu kota provinsi dan negara. Jakarta kebanjiran.... itulah sepenggal syair yang pernah dinyanyikan oleh Benyamin S. (alm) semasa hidupnya. Setidaknya syair tersebut menunjukkan betapa banjir senantiasa menjadi kejadian tahunan di ibu kota. Tahun 2007, sedikitnya 70 persen wilayah Jakarta terendam banjir sebagai akibat kesalahan dalam rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Kerugian yang dialami akibat bencana ini mencapai Rp 8 triliun dan berdampak luas pada perekonomian bangsa.

Kasus banjir ini sudah menyita banyak waktu dan perhatian masyarakat, siapa yang pantas disalahkan atau bahkan apa yang salah dalam hal ini? Satu pertanyaan yang harus dicari jawabannya karena dari hasil penelitian menyatakan bahwa sanitasi yang baik ternyata meningkatkan waktu produktif masyarakat sekitar 34-79 persen. Tentunya tanpa harus mengurus lumpur banjir yang mampir ke rumah mereka.

Kejadian serupa pernah mampir di Kota Bandung tahun 2006 lalu. Longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, sempat membuat pusing tujuh keliling pemerintah Kota Bandung. TPA itu pun ditutup. Akibatnya, pengangkutan sampah masyarakat oleh petugas dari PD Kebersihan terhenti, sampah berserakan, lalat beterbangan menebar penyakit, bau tak sedap tercium setiap kali melewati daerah timbunan sampah. Banyak yang mengeluh karena sakit diare atau pernapasan, bahkan para pejalan kaki, pengguna kendaraan banyak yang mengeluh karena baunya, konsumen-konsumen di pasar-pasar tradisional pun merasa tidak nyaman saat berbelanja. Kembali pemerintah dan masyarakat Bandung harus menanggung malu, karena mendapat predikat kota terkotor. Para pejabat negara turun tangan, mulai dari gubernur hingga Menteri Lingkungan Hidup.

Kota Bandung kembali harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mengatasi masalah ini. Tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan, belum lagi pencemaran air akibat lindi sampah yang tidak tertangani. Data Bappenas menyebutkan, akibat buruknya sanitasi mengakibatkan 70 persen air tanah tercemar dan 75 persen air sungai tercemar. Padahal, 50 persen penduduk perkotaan saat ini masih menggunakan air tanah untuk kehidupan sehari-hari.

Wajar kalau kemudian Ir. Ratna Hidayat, seorang peneliti lingkungan pengairan, menyatakan bahwa kondisi air Citarum sangat kritis dengan kandungan bakteri E.coli-nya mencapai 50.000/100 ml, sehingga perlu proses yang agak panjang dalam memanfaatkannya (Pikiran Rakyat, 4/12/2006). Biaya produksi PDAM meningkat sekitar 25 persen dari rata-rata tarif air nasional. Bahkan, ekspor hasil perikanan Indonesia pun pernah ditolak karena diindikasikan tercemar salmonella.

Bangsa yang maju bisa terlihat dari kemampuan SDM-nya dalam menata lingkungan atau tempat tinggalnya. Kanada dan Brasil, dua negara yang mampu membiayai operasional wilayahnya hanya dengan mengelola sampah dengan baik. Tidak pelak lagi terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, karena minimnya biaya operasional dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi kota, pastinya investor pun akan datang dengan sendiriya dan tentunya disambut dengan tangan-tangan handal dari SDM-SDM yang terlahir dari bangsa yang berhasil menata lingkungannya dengan baik.

Dine Andriani S.Pt.

Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A).




Post Date : 08 Maret 2007