Jadikan Jakarta Tahan Bencana

Sumber:Kompas - 24 Januari 2014
Kategori:Banjir di Jakarta
KOMPLEKSITAS persoalan banjir Jakarta yang menahun, bagi ilmuwan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tetap memberikan harapan untuk menjadikan kota ini sebagai Kota Tahan Bencana 2030. Namun, tanpa usaha apa pun, Jakarta pada 2030 berpotensi tenggelam karena penurunan tanah dan menerima luapan air dari 13 sungai.

Hal yang bisa dilakukan adalah mengurangi kerawanan dan memperkuat ketahanan. Jakarta harus dijadikan kota yang akrab dengan air,” kata Jan Sopaheluwakan, peneliti senior pada Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam diskusi ”Skenario Mengatasi Banjir Jakarta”, Kamis (23/1), di Jakarta.

Narasumber lain adalah Rachmat Fajar Lubis dan Edi Prasetyo Utomo yang juga dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, dan M Fakhrudin dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Jan memaparkan, negara Singapura memiliki kepadatan jauh lebih besar dibandingkan dengan Jakarta. Kepadatan Singapura 497 penduduk per hektar, Jakarta 207 penduduk per hektar.

Area tempat tinggal di Jakarta saat ini 43.550 hektar (65 persen) dari luas wilayah 67.000 hektar. Adapun Singapura, area tempat tinggal hanya 8.040 hektar (12 persen) dari luas wilayah yang sama, 67.000 hektar. Jumlah penduduk Jakarta 9 juta orang, sedangkan Singapura 4 juta orang. Hunian di Singapura dipusatkan hanya di sebagian wilayah.

Jika Jakarta diarahkan menjadi kota global akrab air, akan menjadi tahan bencana, minim konflik, rendah karbon, dan jadi kota yang berbasis inovasi.

”Wilayah Gambir ke utara agar menjadi zona biru. Gambir ke selatan menjadi zona hijau,” kata Jan.

Zona biru berorientasi kewilayahan untuk penampungan air dengan membentuk danau dan kanal-kanal banjir. Zona hijau dengan mempertahankan ruang hijau untuk memperbesar area penyerapan air hujan.

”Kepadatan perlu dikelola dengan cerdas, harus ditempuh dengan menarik kembali kelompok masyarakat kelas menengah yang menetap di pinggiran Jakarta,” kata Jan.

Masyarakat kelas menengah sebagai modal manusia (human capital) harus lebih diberdayakan untuk tinggal di dalam kota. Caranya, hunian masyarakat kelas menengah disediakan di rumah susun.

Lingkungan rumah susun dilengkapi zona hijau dan zona biru. Ia mengambil contoh, salah satu kawasan Jakarta Barat yang selalu kebanjiran setiap kali musim hujan.

Lokasi terendah sebaiknya dijadikan danau. Di sekelilingnya dibangun rumah susun untuk masyarakat menengah dan menengah ke atas. Ruang terbuka hijau juga dioptimalkan.

Jika luas keseluruhan lahan 700 hektar, seluas 300 hektar diperuntukkan untuk hunian rumah susun. Seluas 200 hektar untuk zona biru (air) dan 200 hektar untuk zona hijau (tanaman).

Nol limpasan air hujan

Fakhrudin memaparkan, metode nol limpasan air hujan (zero runoff ) di tengah kota Jakarta menjadi upaya nonstruktur untuk mengurangi banjir. Perumahan dan perkantoran agar membuat sumur-sumur resapan dan penampungan air hujan.

”Banjir di Jakarta bukan lagi akibat kiriman dari hulu sungai. Daerah yang terbangun di tengah kota makin banyak sehingga limpasan air hujan juga menimbulkan banjir,” katanya.

Edi Prasetyo Utomo memaparkan, upaya mengurangi potensi banjir dengan memasukkan air ke lapisan tanah dengan sumur injeksi. Limpasan air hujan dipompakan ke dalam tanah pada kedalaman tertentu.

Penyakit kolektif

Di tengah optimisme membangun harapan kota Jakarta sebagai Kota Tahan Bencana 2030, sulit dihindari adanya penyakit kolektif masyarakat. Ada tiga penyakit kolektif. Pertama, sindrom berkelimpahan.

Sindrom ini mengedepankan anggapan kelimpahan ruang yang selalu ada. Jakarta akhirnya terus berkembang.

Kedua, abai terhadap risiko dan tidak antisipatif. Jan mencontohkan, Pantai Indah Kapuk (PIK) di pantai Jakarta menjadi permukiman yang dibangun dengan mengabaikan lingkungan sekitarnya.

Ketiga, sindrom katak rebus. Katak yang direbus dengan suhu yang naik secara perlahan tetap dirasakan nyaman. Padahal, kenyamanan itu menuju ke ancaman kemusnahan. ”Kalau saja katak dimasukkan ke dalam air yang panas sekaligus, ia akan melompat dan selamat,” kata Jan.

Menurut dia, ada bencana mendadak dan bencana berangsur. Bencana mendadak, antara lain, adalah gempa, tsunami, dan gunung api meletus. Bencana berangsur adalah seperti yang dirasakan di Jakarta sekarang.

”Bencana berangsur jauh lebih berbahaya daripada bencana mendadak. Bencana berangsur suatu ketika akan tiba di puncaknya dan berikutnya mengembalikan ke titik nol,” kata Jan.

Banjir di Jakarta diiringi penurunan tanah terus-menerus. Sepanjang 36 tahun, antara tahun 1974 dan 2010, di Jakarta Utara terjadi penurunan tanah 4,1 meter. Di Jakarta Barat 2,1 meter. Di Jakarta Timur 1,4 meter. Di Jakarta Pusat 0,7 meter. Di Jakarta Selatan 0,25 meter.

”Tanpa upaya sama sekali menjadikan Jakarta sebagai kota tahan bencana, pelan-pelan kita semua di Jakarta akan celaka bersama,” kata Jan. Nawa Tunggal

Post Date : 24 Januari 2014