43 Persen Penduduk Indonesia Tak Berjamban

Sumber:Suara Pembaruan - 23 Agustus 2008
Kategori:Sanitasi

Laporan "Economic Impacts of Sanitation in Southeast Asia" yang diterbitkan pada bulan November 2007, cukup menggelikan. Ternyata, hasil penelitian lembaga itu menunjukkan, ada lebih dari 94 juta orang di Indonesia atau 43 persen dari jumlah penduduk yang belum memiliki jamban.

Penduduk yang belum berjamban itu, ada di perkotaan dan pedesaan, tetapi dari 94 juta itu, 60 persennya ada di pedesaan. Karena tak punya jamban, mereka secara terpaksa buang air besar (BAB) di bantaran sungai, danau, laut dan daratan secara terbuka.

Tentu saja dari aspek kesehatan, estetika, sangat memprihatinkan. Sulit rasanya membayangkan bagaimana BAB di ruang terbuka, atau dikenal dengan istilah "berbon" (buang air di kebon-Red). Lebih miris lagi, karena di sebagian besar daerah pedesaan terpencil dengan kondisi minim atau sama sekali tidak ada air untuk cebok.

"Kondisi ini mirip seperti zaman batu. Padahal, Indonesia sudah 63 tahun merdeka,'' ujar pakar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia (UI), Ferry Astraman kepada SP di Jakarta, belum lama ini.

Sekarang ini, menurut dia ada lebih dari 60 persen penduduk pedesaan tidak mempunyai akses ke sistem sanitasi yang memadai. Jauh dari sehat, layak, sehingga penduduk di pedesaan tersebut akan menghadapi risiko kesehatan yang lebih tinggi yang mengakibatkan semakin menurunnya taraf kesejahteraan mereka.

Cakupan sanitasi di daerah pedesaan selama tiga dekade ini masih belum menunjukkan perbaikan yang lumayan. Celakanya, kebiasaan ''berbon'' sembarangan di sumber-sumber air atau langsung di tanah, itu sangat berdampak pada kesehatan.

Selain itu, tercatat bahwa di daerah perkotaan, hanya 2 persen dari jaringan air limbah rumah tangga (domestik) atau sanitasi yang diolah dengan baik dan benar. Dan akibat dari sistem sanitasi yang buruk, diperkirakan ada 121.100 kasus diare yang memakan korban lebih dari 50.000 jiwa setiap tahunnya.

Pencemaran Air

Air limbah domestik yang tidak diolah menghasilkan 6 juta ton kotoran manusia per tahun yang dibuang ke badan-badan air, yang secara otomatis menyumbang polusi secara signifikan terhadap komoditas yang semakin jarang dan semakin berharga, yaitu air bersih. Kerugian yang terkait dengan sektor air bersih dapat mencapai Rp 14 triliun secara nasional, atau Rp. 63.000 per orang setiap tahun.

Hasil temuan yang negatif ini membawa dampak besar terhadap pembangunan bangsa secara keseluruhan, baik pada sektor ekonomi, kesehatan, lingkungan, perikanan, pariwisata dan kualitas air minum serta lainnya lagi. Terutama dampak negatif yang cukup besar bagi tingkat kesehatan bangsa, dan kualitas air bersih bagi kebutuhan rumah tangga, industri, perhotelan, dan pengguna komersial lainnya.

Ironisnya, alokasi APBN atau pun APBD, besaran angka bagi pembangunan sektor sanitasi masih amat sangat rendah. Padahal, kerugian ekonomi yang sangat besar dan bahkan telah memakan korban ratusan ribu orang korban jiwa.

Data Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan memperlihatkan, kondisi sanitasi yang buruk dan minimnya pasokan air bersih memicu angka kematian anak akibat paparan penyakit diare, tipus, polio, dan cacingan. Hasil survei Departemen Kesehatan 2007 ditemukan data bahwa sebanyak 99,2 persen rumah tangga di Indonesia memasak air untuk mendapatkan air minum.

Namun, akibat tidak dikelola dengan baik, sekitar 47,5 persen di antaranya tetap terkontaminasi bakteri e.coli. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes, I Nyoman Kandun, di Jakarta, Rabu (20/8), mengatakan, besarnya angka persentase air minum yang terkontaminasi bakteri tersebut, membuat masyarakat Indonesia khususnya anak-anak rentan menderita penyakit diare.

Data penderita diare saat ini, kata Nyoman Kandun, masih cukup tinggi di mana angka kejadian diare nasional tahun 2006 sebesar 423 per 1.000 penduduk. Yang memprihatinkan adalah angka kematian diare pada balita sebesar 75,3 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian akibat diare untuk semua umur sebesar 23,2 per 100.000 penduduk.

Menurut Nyoman Kandun, golongan masyarakat yang paling rentan terkena penyakit diare adalah warga miskin yang tinggi di permukiman kumuh.

"Warga memang memasak air untuk minum dan hal itu bisa mematikan bakteri, tetapi kalau wadah menampung air yang dimasak itu tidak sehat, sama saja air itu tercemar juga," katanya.

Untuk mengatasi persoalan sanitasi, kata Nyoman Kandun, pemerintah akan meluncurkan 10.000 desa kegiatan sanitasi total berbasis masyarakat.

Kegiatan ini, tuturnya, mencakup berbagai opsi pengolahan air minum dan penyimpanannya telah berkontribusi dalam peningkatan kualitas air minum dan penurunan kasus diare.

Hasil survei pada 2006 menunjukkan bahwa kejadian diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 dari tiap 1.000 orang, dan terjadi 1-2 kali per tahun pada anak-anak berusia di bawah 5 tahun.

Pada 2001, angka kematian rata-rata yang diakibatkan diare adalah 23 di tiap 100.000 orang penduduk, sedangkan angka yang lebih tinggi terjadi pada kelompok anak berusia di bawah 5 tahun, yaitu 75 per 100.000 orang. Sementara kematian anak berusia di bawah tiga tahun akibat diare adalah 19 persen, dengan kata lain sekitar 100.000 anak meninggal dunia tiap tahunnya akibat diare. Luther Ulag  



Post Date : 23 Agustus 2008