Ketika Sehari-hari Cuma Ada Air Berlimbah dari Selokan

Sumber:KOMPAS.com - 9 Desember 2014
Kategori:Air Minum
Air berwarna cokelat mengalir deras di selokan Kampung Ciwalengke, Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sekilas, selokan selebar setengah meter ini tampak sama dengan selokan pada umumnya. Namun, saat musim kemarau tiba, selokan ini adalah satu-satunya andalan sumber air bagi warga Desa Sukamaju.

Hanya pada saat musim penghujan seperti sekarang, tutur Pepen (40), salah satu warga RW 07 Ciwalengke, sebagian warga saja yang masih memanfaatkan air dari selokan tersebut. Namun, begitu musim kemarau tiba, berbondong-bondonglah warga membendung selokan berair cokelat tersebut untuk dialirkan ke rumah mereka.

“Sumur kami kurang dalam, jadinya air gampang kering. Untuk memenuhi kebutuhan air, biasanya kami membendung selokan dan mengalirkannya ke sumur resapan yang ada di tiap rumah,” tutur Pepen kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Sumur resapan yang dimaksud Pepen adalah sebuah bak atau tempat penampungan air yang di dalamnya sengaja diberi tanah. Untuk mengurangi kadar zat berbahaya dari air selokan, warga menggunakan tanah di sumur resapan itu sebagai penyaring, sebelum memakai air bersumber dari selokan itu untuk mandi atau mencuci. 

Berubah sesuai warna limbah

“Sekarang air selokannya sedang berwarna cokelat terang, tapi kalau pabrik sedang buang limbah warnanya bisa berubah menjadi merah, biru, hitam, atau cokelat pekat,” tutur Pepen. Dia mengatakan, air selokan andalan kampungnya ini memang kerap bercampur dengan limbah dari pabrik kain.

Ketika pabrik sedang mencelup kain berwarna merah, kata Pepen, maka air selokan pun bakal turut berwarna merah. Pun ketika pencelup yang dipakai pabrik berwarna hitam, tak urung air selokan juga berubah menjadi kehitaman.

Soal bahaya menggunakan air bercampur limbah ini bukan tak disadari warga. Itulah kenapa, kata Pepen, warga menyaring air selokan di sumur resapan bertanah, yang itu pun belum pernah diuji ada atau tidak gunanya untuk membuat air lebih aman digunakan. 

Untuk memasak dan minum, kata Pepen, warga memang tak memakai air selokan tetapi membeli air isi ulang dalam kemasan galon. "Kami juga takut kalau minum air dari selokan," ujar dia. Alternatif selain air galon, hanyalah minta air dari rumah yang sudah berlangganan air dari jaringan PDAM.

Tak kunjung bersolusi

Bagi Herdian Yusuf, warga lain di desa ini, kebutuhan air bersih selalu membuatnya pusing. Terlebih lagi sejak harga bahan bakar minyak naik, harga air isi ulang dalam kemasan naik dari Rp 3.500 menjadi Rp 4.000 per galon.
Dalam sehari, Herdian mengaku harus membeli minimal dua galon air dalam kemasan. Rata-rata, aku dia, dalam sebulan butuh Rp 60.000 hanya untuk membeli air isi ulang ini. "Buat warga sini yang kebanyakan bekerja serabutan, uang Rp 60.000 itu berat,” ucap Herdian. 

Berulang kali, kata Herdian, persoalan kebutuhan air bersih disampaikan ke aparat desa. Namun, tanggapan yang diharap tak pernah ada. “Susah kalau desanya dapat uang dari pabrik,” keluh dia.

Istri Ketua RW 07 Ciwalengke, Ernawati Wear (59) mengatakan, persoalan air di desanya ini sudah berlangsung selama belasan tahun. Menurut dia, aparat desa bahkan kecamatan sudah tahu betul soal hal itu.

Sekretaris Desa Sukamaju, Tata Suherlan, tak mau berkomentar banyak ketika disinggung persoalan air bersih bagi warganya ini. Dia juga mengaku banyak menerima laporan soal air kotor yang tetap dikonsumsi oleh warga dari RW 07, 08, 09, dan 10 di desanya.

Beberapa kali, kata Tata, upaya mengatasi persoalan pemenuhan kebutuhan air bersih ini dilakukan. Namun, persoalan yang sama terus saja datang. “Saya sampai jemu mendengarnya. Laporan seperti ini sering saya terima,” ujar dia begitu saja.

Upaya, kata Ernawati, memang bukan tak pernah ada. Namun, belum ada kelanjutan. Suatu kali, kata dia, ada bantuan dariProgram Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan warga meminta pembuatan fasilitas mandi, cuci, dan kakus. 

Permintaan itu disetujui tetapi warga diminta menyediakan tanah hibah untuk lokasi pendiriannya. “Nah, di sini kami susah mencari tanah hibah, jadinya sampai sekarang belum ada bantuan MCK.”

Selain MCK, RW mengusulkan pula pemasangan jaringan PDAM. Namun, dari 179 keluarga di desa itu hanya ada lima keluarga yang punya cukup uang untuk berlangganan jaringan PDAM. 

Ernawati berharap, Pemerintah bersedia memasang jaringan PDAM ke fasilitas umum seperti masjid, agar warga tetap bisa menikmati fasilitas air bersih setidaknya untuk minum dan masak. 

“Di sini yang menggunakan ledeng hanya saya dan empat warga. Karena dari 179 keluarga, 40 persen kerja di pabrik, 20 persen pengangguran, dan 40 persen lainnya kerja serabutan," tutur Ernawati merinci.

Setiap kali musim kemarau tiba dan warga kehabisan air bersih, saat uang juga tak ada untuk membeli air dalam kemasan, sudah biasa bagi warga untuk mendatangi Ernawati atau empat keluarga lain yang sudah berlangganan air lewat jaringan PDAM untuk mendapatkan air secukupnya. Pilihan lain hanya air selokan yang sewaktu-waktu berubah warna itu....


Post Date : 10 Desember 2014