Memanfaatkan Energi Sampah

Sumber:Jurnal Nasional - 02 April 2013
Kategori:Sampah Jakarta
SAMPAH tak hanya sampah. Dengan menggunakan teknologi tertentu, sampah dapat diolah menjadi energi dan memberikan sumbangan bagi pemenuhan keperluan energi listrik bagi warga dengan sistem block area. Malaysia berhasil mengolah tempat pembuangan akhir sampah di luar wilayah Bandaraya Kuala Lumpur sebagai kawasan pembangkit listrik tenaga sampah dan green area yang bermanfaat secara sosial dan berfaedah secara bisnis.

Di Indonesia, Pertamina sebagai perusahaan energi nasional pun sudah membidik hal ini. Melalui investasi pada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Bantar Gebang, Bekasi, Pertamina pada saatnya akan mengubah kawasan sampah dengan sistem sanitary landfill menjadi kawasan energi hijau yang menarik. Boleh jadi akan mampu membuat kawasan itu lebih menarik dari kawasan green energy zona di negeri Sembilan, Malaysia, itu.

Keyakinan kita terhadap energi listrik berbasis sampah dapat diyakini karena berbagai faktor. Salah satunya adalah fakta, kota-kota di Indonesia tumbuh dengan populasi penduduk yang besar. DKI Jakarta, misalnya, berpenduduk rata-rata 8 juta jiwa di luar migrasi gire (pagi - sore) yang biasa disebut pula sebagai "burung-burung metropolitan." Dengan stay people sebesar itu, diperkirakan rata-rata per hari ibu kota negara bisa memproduksi sampah minimal 8 juta liter rata-rata per hari. Bila rata-rata 20 ton sampah yang dihancurkan dan diubah menjadi bio massa mampu menghasilkan sekitar 10 MW rata-rata per hari, dapat dihitung sendiri, berapa besar energi listrik dapat dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga sampah rata-rata per hari.

Dalam kunjungan kenegaraannya ke Berlin belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam konteks ketahanan energi, sempat membicarakan dengan Kanselir Angela Merkel kerja sama teknologi pengolahan sampah. Jerman termasuk negara yang mempunyai kemampuan dan pengalaman mengolah limbah dan mengubahnya menjadi energi listrik. Melalui penerapan teknologi pengolah limbah menjadi energi listrik, banyak hal bisa dilakukan. Tak hanya memberi nilai sosial terwujudnya lingkungan bersih dan sehat, melainkan juga mampu memberi nilai ekonomi yang berorientasi keberdayaan atau pemampuan ekonomi masyarakat.

Dengan jalan pikiran positif yang sederhana saja, bila setiap kita berkomitmen terhadap upaya mengolah limbah menjadi salah satu sumberdaya energi listrik, dan tidak terlalu sibuk mempolitisasi persoalan ini, tentu akan banyak hal bisa dilakukan. Dalam konteks itu, penguatan kerja sama antara Kementerian ESDM (Energi Sumberdaya Mineral) dengan BPPT (Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi), Pertamina, dan perusahaan energi lainnya, akan memberi manfaat besar bagi upaya kolektif meningkatkan pemampuan nasional memenuhi keperluan energi listrik bagi rakyat.

Kita memberi apresiasi terhadap langkah dan upaya Menteri ESDM Jero Wacik yang konsisten memperjuangkan "energi untuk kesejahteraan rakyat," secara multidimensi. Beranjak dari pandangan inilah, dalam dialog bebas Pemimpin Redaksi dengan Presiden SBY dan Wakil Presiden belum lama ini, saya mengingatkan kembali gerakan nasional kebersihan lingkungan. Gerakan ini diperlukan, selain untuk meningkatkan intensitas kebersihan dan kesehatan lingkungan. Juga untuk mendorong pemanfaatan optimum produksi sampah untuk keperluan menambah pasokan energi listrik.

Dalam konteks ini, kita perlu mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh berbagai negara sahabat, seperti Jepang, yang berhasil mengubah sampah menjadi sumberdaya energi. Begitu pula dengan negara-negara lain. Tentu dengan disertai oleh kesadaran kolektif seluruh elemen masyarakat dan bangsa untuk menggunakan energi secara efisien. Upaya ini harus dilakukan dengan mengubah minda (mindset) kita tentang sampah dan lingkungan secara menyeluruh. Kita mempunyai kemampuan yang tak jauh tertinggal oleh negara-negara lain. Soalnya tinggal, bagaimana mendorong kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam mengolah sampah (limbah) menjadi energi. Dengan cara ini, kita tak akan lagi hanya berteriak-teriak setiap kali menghadapi keadaan, yang sering disebut sebagai krisis energi. Syamsuddin Ch Haesy


Post Date : 02 April 2013