Jakarta Terancam Krisis Air Bersih
Pemprov DKI Bakal Manfaatkan Air Limbah

Sumber:jakartabagus.com - 2 April 2013
Kategori:Air Minum
Air bersih di Jakarta bakal menjadi barang mewah. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI hingga kini tidak mempunyai kebijakan yang jelas dalam menangani krisis air bersih. Muncul usulan Pemprov akan memberdayakan air limbah industri atau masyarakat sebagai ganti air bersih di Ibu kota. 

Direktur Utama Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya Sri Widayanto Kaderi mengatakan, warga di ibukota akan mengalami kesulitan air bersih jika Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak menyusun roadmap atau peta jalan penyelamatan krisis air baku untuk air minum.

Menurutnya, kebutuhan air minum saat ini meningkat, sementara pasokan air baku relatif tetap. Peta jalan ini merupakan langkah awal penanganan masalah air baku," ujar Sri, yang juga Ketua Forum Air Jakarta ini.

Permasalahan krisis air baku di Jakarta, ungkapnya, antara lain disebabkan kurangnya koordinasi antar lembaga dalam pengelolaan dari hulu ke hilir sumber daya air.

Akibatnya, solusi yang diambil bersifat jangka pendek dan parsial. Hal itu membuat pasokan air baku di unit pengolahan air berkurang.

Roadmap tersebut  akan dijadikan rekomendasi bagi pembuat kebijakan dan seluruh pemangku kepentingan serta operator air minum di Jakarta. Hal itu untuk mengambil langkah cepat dan tepat dalam membebaskan Ibukota dari ancaman krisis air baku.  

Sebagai informasi, dengan jumlah penduduk mencapai 11,4 juta jiwa di tahun 2010, DKI Jakarta membutuhkan air 26.938 liter per detik. Namun, saat ini, air yang tersedia hanya sekitar 17.800 liter per detik. Berarti, defisit air di DKI Jakarta mencapai 9.138 liter per detik atau hampir 10 meter kubik per detik. 

DKI Jakarta juga bergantung pada 80 persen pasokan air dari Saluran Tarum Barat yang membawa air baku dari Waduk Jatiluhur ke Jakarta. Upaya pemenuhan telah dirancang oleh Kementerian Pekerjaan Umum yang akan menyediakan air bersih sebesar 9 meter kubik per detik secara bertahap. 

Mulai 2015, air bersih yang tersedia 4 meter kubik per detik. 

Penataan itu diharapkan dapat meningkatkan asupan air baku ke Jakarta dari 16,1 meter per detik menjadi 3,11 meter kubik per detik, untuk mencapai angka ideal 41,6 meter kubik per detik.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan, terkait otonomi daerah, air menjadi komoditi yang sangat mahal dan langka. 

Sehingga, bisa saja terbuka peluang terjadinya rebutan antar wilayah pemerintahan, bahkan berpotensi memicu konflik. Untuk menghindari itu, Jakarta dituntut mampu menyediakan infrastruktur pelayanan air bersih kepada seluruh lapisan masyarakatnya.

"Antara lain, kita harus mampu menyediakan pelayanan air minum dan pengelolaan air limbah. Tingkat pengelolaan air limbah di Jakarta sangat minim, hanya 2 persen, lebih rendah dari kota-kota besar lain di Asia. Karena itu, Pemprov DKI Jakarta menjajaki kerja sama dengan investor yang berminat dengan teknologi yang disesuaikan," ujarnya.

Ahok --sapaan akrab Basuki-- juga meminta supaya dibuat formulasi mengenai ketersediaan air di Jakarta dan warga bisa membayar air dengan murah. "Sekarang harus diformulasikan, bagaimana caranya orang bisa bayar air murah, karena biaya sambungan pipalah yang mahal," tegas bekas kontraktor ini.

Menurutnya, saat ini banyak warga miskin yang menjual jatah air yang mereka dapat untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Ahok juga ingin supaya jatah air murah untuk warga miskin itu dihapuskan. "Diganti saja dengan sambungan gratis Rp 10 ribu per bulan dengan air 10 meter per kubik," katanya. 

Saat ini, tegas Ahok, yang paling penting bukan bicara mengenai penambahan air. Masalahnya, kebocoran air saat ini sudah mencapai 48 persen. "Kalau cuma tambah 10 persen lebih cepat, kita bicara menahan kebocoran 48 persen," tandasnya.

Gara-gara Air Dikuras, Tanah Pun Ambles

Penurunan permukaan tanah Jakarta diperkirakan akan semakin meluas. Wilayah Jakarta Barat tergolong wilayah yang mendominasi penurunan muka tanah, dengan penurunan mencapai 5 hingga 15 milimeter per tahun. Amblesan tanah ini juga menjadi faktor pemicu penyebab banjir di Jakarta selain adanya perubahan tutupan lahan, kondisi geologi dan perubahan iklim global.

Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Robert M Delinom mengatakan, penelitian tentang kondisi bawah permukaan di Jakarta mengharuskan upaya perubahan paradigma dan kebijakan.

"Pengambilan air tanah di Jakarta mengakibatkan perubahan sifat fisik tanah dan terjadi banjir. Pengambilan air tanah mengurangi muka air tanah lebih dari yang kita perhitungkan," ujarnya.

Amblesan air tanah, lanjut Delinom, disebabkan pengambilan air tanah berlebihan, pembebanan konstruksi, kompaksi alamiah dan aktivitas tektonik. Ia menyebutkan, sejak 1879 hingga 2007, penyedotan air tanah (sumur) mendekati 4.000 sumur. 

Penyedotan air tanah pun mencapai 650 ribu meter kubik perhari. "Diperlukan kebijakan agar sumur-sumur ilegal tidak terjadi di Jakarta. Kalau dibiarkan, daerah rendah akan semakin meluas di Jakarta," katanya. 

Delinom menyarankan, agar di kawasan Jakarta Barat yang tergolong mengalami penurunan tanah terbesar hanya diperkenankan dihuni bangunan ringan dan bukan bangunan berfungsi berat. 

"Di wilayah tengah, seperti Pulogadung, Gambir boleh digunakan untuk bangunan bertingkat. Sedangkan wilayah Selatan harus dijadikan daerah resapan dan zona penyangga air tanah. Diperlukan bangunan berhalaman luas dan bukan bangunan rapat-rapat," tandasnya.

Terkait belum meratanya distribusi air bersih ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan, warga berpenghasilan rendah masih melakukan pencurian air untuk memenuhi kebutuhannya. 

Di saat yang sama, ujarnya, juga terjadi eksploitasi air tanah yang tak terkendali. 

Sehingga terjadi penurunan permukaan tanah seperti yang terjadi di Bundaran HI. Pasalnya, banyak hotel dan mall yang menyedot air bawah tanah. Kita mau stop ini, tapi juga terbentur dengan tidak cukupnya air bakunya," ungkapnya.

Ahok --sapaan Basuki-- juga menegaskan, masa depan air sangat langka dan menjadi masalah pelik. Setidaknya ini terlihat dari luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berkurang seperti di kawasan Lenteng Agung dari 60 persen menjadi 10 persen. Padahal RTH berguna sebagai area resapan atau tangkapan air. 


Post Date : 03 April 2013