Sampah Plastik di Bali Capai 1.150 Truk per Hari

Sumber:tribunnews.com - 22 Desember 2014
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Produksi sampah di Bali kian meningkat. Tidak jarang sampah yang menumpuk dan menimbulkan aroma busuk dan tidak sedap sangat mengganggu masyarakat karena tidak segera diangkut.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan kemampuan ekonomi mereka, volume sampah di Provinsi Bali pun ikut meningkat.

Celakanya, peningkatan volume sampah secara umum itu ternyata diikuti oleh peningkatan jumlah sampah plastik –satu jenis sampah yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia.

Diolah dari data di UPT (Unit Pelayanan Teknis) Persampahan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali, setiap hari ada sebanyak 3.452 meter kubik (m3) sampah plastik yang dihasilkan di Bali.

Jumlah itu setara 1150 truk sampah (berkapasitas 3 kubik), yang jika dibariskan akan memanjang sekitar 4,6 kilometer.

"Satu truk sampah berkapasitas angkut tiga sampai enam kubik. Truk kecil tiga kubik," jelas Ni Made Armadi, Kepala Seksi Teknis Pengolahan UPT Persampahan, pekan lalu pada Tribun Bali.

Menurut Ni Made Armadi, setiap hari sampah yang dihasilkan di provinsi ini mencapai 10.005 meter kubik (m3).

Jumlah sampah yang setara 2500 ton ini adalah jumlah yang terdata secara resmi dan masuk ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di seluruh Bali.

Yang tidak tercatat adalah sampah-sampah yang dibuang di sungai, dibakar maupun ditimbun di tegalan, yang jumlahnya diperkirakan 15 sampai 30 persen dari total jumlah yang terbuang di TPA-TPA. Biasanya sampah yang tak tercatat itu berada di wilayah pedesaan.

Jumlah sampah `tidak resmi` itu, menurut Ni Made Armadi, diperkirakan 15 sampai 30 persen dari jumlah yang dibuang di TPA. Ambil saja persentase paling kecil, yakni 15 persen, yang tidak masuk TPA, maka produksi sampah di Bali mencapai 11.506 meter3 sehari. Dari jumlah itu, kata Ni Made Armadi, sampah plastiknya sebanyak 30 persen atau mencapai 3.452 meter kubik.

"Volume sampah di Denpasar adalah tertinggi, setiap hari mencapai 2.754 meter kubik," ucap Ni Made Armadi. Bila 30 persennya merupakan sampah plastik, maka ada sebanyak 826 meter kubik atau setara 275 truk sampah plastik perhari di ibukota Provinsi Bali ini.

Setelah Denpasar, `penghasil` sampah terbanyak berikutnya adalah Buleleng dengan 2.028 meter3 sampah perhari, kemudian Gianyar sebanyak 1707 m3 (selengkapnya lihat tabel).

Peningkatan jumlah sampah di Bali dari hari ke hari mencemaskan. Apalagi sampah plastik, yang mengandung bahan-bahan kimiawi berbahaya dan baru bisa terurai setelah ratusan tahun.

“TPA-TPA juga sudah kelebihan beban (overload). Oleh karena itu, tidak bisa lagi penanggulangan sampah hanya mengandalkan pemerintah. Masyarakat harus ikut serta,” tandas Ni Made Armadi.

Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali, Nyoman Sujaya, juga mengakui bahwa angka penggunaan plastik di Bali cenderung naik dan tinggi. "Kecenderungannya, sampah plastik meningkat setiap tahun. Karena penggunaan benda-benda berbahan plastik juga meningkat," imbuhnya.

Konsultan persampahan di Bali, Ade Kusuma Jaya, sangat mengkhawatirkan peningkatan sampah plastik di pulau ini.

“Sampah botol dan kardus itu bukanlah sampah membahayakan, karena bisa didaur ulang. Sampah plastik yang berbahaya," kata Ade Kusuma Jaya kepada Tribun Bali.

Menurut Ade yang jadi konsultan persampahan disejumlah hotel ini, problem persampahan di Bali sudah dalam tahap yang berbahaya.

Daya dukung lingkungan Bali, jelas dia, sudah tidak mampu menyesuaikan diri lagi dengan serbuan sampah yang dihasilkan manusia yang tinggal di pulau ini.

"Indikatornya, semua TPA sudah penuh, tumpukan sampah plastik ada dimana-mana. Bali menuju kiamat sampah," tegas Eka yang aktif mengkampanyekan soal sampah di media sosial Facebook melalui FanPage `Central Bali Recycling`.

Ancaman sampah plastik, Eka mengibaratkan, lebih berbahaya dibanding dengan akibat yang disebabkan oleh serangan bom.

"Masa pemulihan akibat bom akan cepat ketika pemerintah sudah bisa memberikan jaminan keamanan, karena setelah itu wisatawan akan datang lagi. Namun, pemulihan akibat kerusakan lingkungan Bali yang disebabkan sampah plastik bisa butuh ratusan tahun,” terang Eka yang kerap berbicara soal sampah di forum-forum diskusi di dalam dan luar negeri.

Meningkatnya penggunaan sampah plastik, jelas Eka, terutama karena pembiasaan penggunaan kantong plastik atau tas kresek di toko, warung, pusat perbelanjaan dan supermarket.

Produk-produk barang konsumer juga banyak yang dikemas dengan plastik, bahkan plastik yang berlapis aluminium (aluminium foil)  yang butuh ratusan tahun untuk mengurainya.

"Masyarakat sudah dibuat nyaman dengan kantong plastik," kata Eka, lulusan Jurusan Kesehatan Kasyarakat Unud, yang saat ini mengelola bank sampah di rumahnya kawasan Baturiti Tabanan.

Kepala BLH Provinsi Bali, Nyoman Sujaya, mengatakan pemerintah sebetulnya sudah serius berupaya menanggulangi sampah plastik sejak beberapa tahun lalu. Salah-satunya adalah dengan Unit Pengelolaan Sampah Terpadu (UPST) yang berbasis masyarakat.

Program 3R juga cukup gencar dikampanyekan. Tiga R itu adalah `Reduce, Reuse, Recycle`, yang berarti mengurangi penggunaan plastik, menggunakannya kembali, serta mendaur ulang.

Kini, hampir di setiap kabupaten/kota di Bali sudah terdapat bank sampah baik yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat maupun lembaga.

Selain melakukan daur ulang, bank sampah juga memproses sampah untuk dipakai sebagai kompos.

Namun demikian, menurut Eka, bank sampah tidak mampu mengimbangi bahkan masih kalah jauh dari produksi sampah (termasuk sampah plastik) yang terus meningkat di masyarakat.

Salah-satu penyebab aktivitas bank sampah yang cenderung statis atau jalan di tempat, menurut Eka, karena nilai ekonomis sampah plastik (terutama sampah tas kresek) rendah sekali. Yakni Rp 500 per kilogram.

“Padahal, harga beli kampil (karung untuk mengumpulkan sampah) sudah Rp 2.500 per biji. Jadinya, warga tidak antusias untuk mengumpulkan sampah plastic, kecuali mereka yang benar-benar terpanggil untuk menyelamatkan lingkungan,” jelas Eka.

Pemulung, lanjut dia, lebih memburu sampah kardus dan botol daripada sampah kresek. “Pemulung kurang tertarik sampah kresek. Hasil dari menjual sampah kresek tidak seberapa,” katanya.

Ia menyarankan agar pemerintah memberi semacam rangsangan atau insentif bagi pengumpulan sampah tas kresek di masyarakat.

“Jika pemerintah tidak turun tangan dalam soal persampahan ini mulai hulu hingga hilir, maka sampah akan jadi bahaya laten bagi kelangsungan lingkungan hidup di Bali,” tandas Eka.



Post Date : 22 Desember 2014