Mengakrabi Sampah, Mencari Penghidupan

Sumber:Kompas - 22 Juli 2013
Kategori:Sampah Jakarta
Sampah di sungai menjadi tempat yang diakrabi Nasir (50) sejak belasan tahun lalu. Mengangkut aneka sampah yang terbawa aliran air menjadi bagian utama pekerjaannya. Dari situlah sumber hidup Nasir dan sekitar 120 pekerja sampah di sungai lainnya.

”Wah, sampah di sungai itu macam-macam jenisnya. Enggak cuma barang, kadang juga nemu mayat,” ujar Nasir, yang bertugas membersihkan sampah di aliran sungai di Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (19/7), di sela-sela buka puasa di Tugu Monas.

Karena itu, dia pernah berurusan dengan polisi selama dua pekan karena melaporkan potongan kepala yang hanyut terbawa air. Karena urusan ini pula dia tidak mendapatkan upah selama dua pekan. Sebab, pekerja harian lepas seperti Nasir hanya mendapatkan upah sesuai hari masuk kerja.

”Kalau sudah begini, kadang kalau nemu mayat, ya, kami biarkan saja mayat itu hanyut lagi terbawa air,” kata Saliri (50), yang sehari-hari bertugas di Pintu Air Istiqlal.

Menemukan mayat di tumpukan sampah yang terbawa air hanya satu persoalan yang dihadapi pembersih Jakarta. Sehari-hari, para petugas kebersihan ini juga harus berhadapan dengan masalah kesehatan. Penyakit yang umumnya melanda pekerja kebersihan sungai adalah flu dan tifus.

”Dulu, sih, kuitansi dokter dan obat bisa diminta ganti. Namun, sistem ini cuma sampai tahun 2002. Setelah itu, kalau sakit, ya, tanggung sendiri,” kata Saliri.

Terkadang, kaki mereka terluka akibat tertusuk paku yang menembus sepatu bot. Kadang juga, nyawa mereka jadi taruhan. Sebab, tidak ada yang tahu apa isi endapan lumpur di dasar sungai.

”Kadang, lumpurnya sampai seperut. Airnya cuma sekitar 20 sentimeter,” kata Nasir.

Kalau air sedang tinggi karena hujan, petugas kebersihan sungai tidak boleh bekerja di air karena arusnya deras dan berbahaya bagi keselamatan para pekerja. Kalau sudah begini, mereka memunguti sampah dari pinggiran.

Saat banjir besar melanda Jakarta, Januari lalu, petugas kebersihan sungai ada yang ikut memperbaiki tanggul jebol di Jalan Latuharhary.

Sebagai pekerja lepas, Nasir dan Saliri mendapat upah Rp 45.000 sehari. Dengan upah ini, mereka hanya bisa mencukupi kebutuhan hidup harian dan mengirimkan sebagian ke keluarga di kampung. Sementara itu, mereka hanya tinggal di bedeng dekat sungai.

”Untuk tambahan, saya dan kawan-kawan mengumpulkan sampah plastik bekas air mineral,” kata Nasir.

Setiap minggu, sampah dijual dan mereka bisa mendapat Rp 400.000. Uang itu dibagi lima.

Selain sungai, ribuan petugas kebersihan juga bertugas membersihkan jalan dan tempat umum di Jakarta.

Eko (45), misalnya, saban hari membersihkan jalan di kawasan Kelurahan Kartini, Sawah Besar.

”Paling sedikit dapat tiga kantong sampah. Sampahnya macam-macam, sebagian besar sisa pedagang kaki lima,” kata bapak dua anak yang sudah 13 tahun menjadi penyapu jalan.

Kesejahteraan

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, Pemprov DKI akan berusaha meningkatkan kesejahteraan para petugas kebersihan ini.

Akumulasi pendapatan para petugas kebersihan ini akan diupayakan setara upah minimum provinsi.

”Beberapa dari mereka juga akan dapat prioritas di rusun yang kami bangun,” katanya.

Pemprov juga akan memprioritaskan pemberian Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi pekerja dan keluarganya.

Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Unu Nurdin mencatat, ada 3.005 pekerja kebersihan yang berstatus pekerja harian lepas dan 2.750 orang pekerja dari swasta.

Kerja petugas kebersihan ini memang amat dibutuhkan 10 juta penduduk Jakarta. Namun, kerja tangan dan kaki pasukan oranye ini menggerakkan sapu dan serok serta mengangkut karung hitam kotor dan bau belum banyak dihargai penduduk kota. (Agnes Rita Sulistyawaty)


Post Date : 22 Juli 2013