Geliat Pengolah Sampah Menyelamatkan Kali Brantas

Kategori:Sampah Luar Jakarta
Sejak Subuh, Mulyono menarik gerobak keliling Desa Mulyo Agung Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Penuh semangat, ia mengangkat sampah rumah tangga ke atas gerobak yang kemudian ia tarik ke TPS Terpadu Reduce Recycle Reuse (TPST-3R) Mulyo Agung.

Sesampainya di TPS, seluruh sampah dituang di atas lantai sebuah hangar. Sekarang giliran Munawaroh bersama sejumlah rekannya memilah sampah. Sampah organik dipisah dengan aneka jenis plastik, karet, botol, kaca, kertas, dan logam yang memiliki nilai ekonomi. "Sampah organik diolah menjadi kompos," kata Mulyono kepada Tempo pekan lalu.

Sejak dua tahun ini, warga Desa Mulyo Agung mengolah sampah secara mandiri. Mereka tak lagi membuang sampah ke aliran Sungai Brantas. Itu setelah warga mendapat teguran Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Malang. Bertahun setelah itu, TPST Mulyo Agung menjadi desa percontohan nasional.

Warga diminta mengolah sampah atau mereka akan dijerat melakukan kejahatan lingkungan. Peristiwa ini melecut warga untuk mengubah diri, mengolah sampah dengan konsep 3R. "Waktu itu modal nekat. Pemerintah desa menghibahkan lahan dua ribu meter persegi," kata Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat TPST Mulyo Agung, F. Paidi.

Seluruh juru angkut sampah direkrut menjadi pekerja di TPST Mulyo Agung. Bahkan, pemulung dan warga miskin dipekerjakan untuk memilah sampah. TPST 3R mulai beroperasi sejak Februari 2011. Sebanyak 45 meter kubik sampah dari 4 ribu keluarga di Desa Mulyo Agung dikumpulkan di TPST.

Pengelolaan sampah bukan tanpa hambatan. Empat bulan pertama warga sekitar TPST protes karena terganggu populasi lalat meledak di lokasi itu. Berbagai cara dilakukan untuk mengendalikan populasi lalat. Pestisida bahkan tak mempan membunuh lalat itu.

Dengan telaten, para pekerja memunguti belatung sebelum menjadi lalat. Enam kolam ikan dibangun di sekitar kawasan pengolahan sampah. Belatung pun menjadi santapan ikan nila yang dibudidayakan Paidi dkk. Kini, bau menyengat dan lalat telah teratasi. Masalah pertama terjawab, TPST ternyata masih tekor. Iuran 4 ribu keluarga sebesar Rp 8 ribu per bulan tak bisa menutupi biaya operasional.

"Tahun pertama beroperasi, minus Rp 84 juta," kata Paidi. Biaya operasional terbesar untuk upah 62 pegawai terdiri dari 19 juru angkut, dua administrasi, dan selebihnya juru pilah sampah. Mereka menerima upah antara Rp 700 ribu sampai Rp 1 juta per bulan. Setelah setahun berjalan, sebuah perusahaan pupuk nasional bersedia membeli kompos seharga Rp 500 per kilogram.

Sampah kaca, kertas, platik, aluminium, sandal, tulang, dan karet dipilah. Setiap bulan terkumpul kaca 1,3 ton, plastik 10 ton, besi, aluminium, ketas dan logam mencapai 12 ton. Bahkan limbah sisa makanan dijual untuk pakan ternak, sebulan menghasilkan uang tunai sebesar Rp 2,5 juta. Usaha TPST pun berkembang memanfaatkan limbah domestik dengan beternak 18 ekor kambing, dan bebek sebanyak 500 ekor. Serta menanam aneka jenis sayuran di sekitar halaman TPST.

Laporan keuangan rutin setiap tiga bulan disampaikan kepada ketua RT, RW, kepala desa, dan badan perwakilan desa. Bekerjasama dengan Puskesmas, seluruh pekerja TPST mendapat pelayanan kesehatan gratis. Setiap bulan rutin mengecek kesehatan. Untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja TPST pun mendirikan koperasi simpan pinjam.

Residu atau sampah yang tak bisa diolah lagi diangkut ke di TPA Talangagung Kepanjen. Di lahan seluas 2,4 hektare itu setiap hari menampung 140 meter kubik dari delapan kecamatan. Awalnya sampah ditumpuk begitu saja, lalu pada 2010 diubah menjadi controlled landfill, yakni sistem pengolahan sampah ditutup tanah secara berlapis.

Cara itu ternyata menghasilkan gas metana. Tak boleh dibiarkan sia-sia, gas hasil proses fermentasi sampah itu ditangkap lalu disalurkan ke jaringan pipa gas sepanjang 500 meter terhubung ke 60 rumah. Warga sekitar TPS pun menikmati gas metana gratis sejak Agustus 2011. "Warga berhemat tak mengeluarkan biaya membeli gas elpiji," kata Kepala Bidang Kebersihan Dinas Cipta Karya Kabupaten Malang, Gunawan Purwadi.

Gas metana yang dihasilkan juga digunakan menggerakkan generator untuk memproduksi listrik. Listrik yang dihasilkan digunakan untuk penerangan jalan dan memenuhi kebutuhan listrik di kawasan TPA. Gas metana digunakan menggerakkan generator sebesar 5.000 volt.

Selain itu, gas metana yang ditangkap dimasukkan ke dalam tabung. Sayang, pasokan gas metana ke tabung terbatas. Dengan tekanan udara 400 Psi hanya memasukkan gas sebesar 2-3 ons. Tabung gas ini diuji-coba untuk menggerakkan mesin mobil Mitsubishi Kuda mampu melaju sejauh 10 kilometer.

Kini Paidi bersama pekerja di TPST Mulyo Agung Kecamatan Dau terus tekun mengolah sampah. Mereka juga rutin memantau aliran Sungai Brantas selama ini tak ditemukan warga yang membuang sampah ke sungai. Permukiman warga pun semakin bersih, pepohonan rindang menghiasi sepajang permukiman warga. Aneka jenis bunga dan sayur tumbuh subur di halaman rumah. Semua tanaman tumbuh subur berkat pupuk kompos olahan sampah organik.

Sumber Foto : TEMPO/Abdi Purnomo


Post Date : 13 Maret 2013