Ketika Sungai Cisadane Tercemar

Sumber:Kompas - 19 Mei 2004
Kategori:Air Limbah
PADA tanggal 23 Oktober 2002 PT Unilab Perdana, sebuah perusahaan laboratorium yang membantu Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Tangerang, melakukan penelitian terhadap limbah cair pada sebuah perusahaan swasta nasional di Kota Tangerang. Hasil uji laboratorium limbah cair yang diproduksi perusahaan pembuat kancing baju, kancing jendela, dan beberapa jenis kancing lainnya ini cukup mencengangkan.

Laboratorium itu mengungkapkan bahwa limbah cair yang dikeluarkan perusahaan di Kota Tangerang ini, tujuh di antara sepuluh kandungan kimia yang diujikan melebihi baku mutu yang ditetapkan untuk industri pelapisan logam, seperti yang terdapat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51/MENLH/10/1995.

Ketujuh parameter kimiawi yang melebihi baku mutu itu adalah kandungan zat padat tersuspensi (TSS) sebanyak 56 mg/l, sianida (CN) sebanyak 2,982 mg/l, khromium total (Cr) 19,03 mg/l, khromium VI (Cr 6+) 0,27 mg/l, tembaga (Cu) 48,91 mg/l, seng (Zn) 66,67 mg/l, dan nikel (Ni) 310 mg/l.

Padahal, berdasarkan keputusan menteri seperti disebutkan di atas, kandungan zat kimia untuk tujuh parameter tersebut seharusnya adalah TTS 20 mg/l, CN 0,2 mg/l, Cr 0,5 mg/l, Cr 6+ 0,1 mg/l, Cu 0,6 mg/l, Zn 1,0 mg/l, dan Ni 1,0 mg/l.

Yang lebih mengejutkan lagi, limbah cair sebanyak 27 meter kubik (m>sprscript<3>res<>res<) per hari, yang kandungan zat kimianya melebihi baku mutu tersebut, setiap harinya dibuang ke Sungai Cisadane. Seperti diketahui, air Sungai Cisadane merupakan sumber air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kerta Raharja milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang dan PDAM Tirta Dharma milik Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang. Untuk PDAM Tirta Kerta Raharja, sebanyak 2.600 m>sprscript<3>res<>res< per hari dialirkan ke warga DKI Jakarta sebagai bentuk kerja sama.

Berdasarkan temuan itu, pada 16 Januari 2004 Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kota Tangerang melaporkan pelanggaran yang dilakukan perusahaan itu kepada wali kota. Dalam laporan itu disebutkan hanya ada dua parameter, yaitu Cd dan Pb dari 10 parameter yang diujikan yang memenuhi baku mutu lingkungan.

Disebutkan pula bahwa pemilik perusahaan membandel. Terbukti pada inspeksi mendadak yang dilakukan pada awal Januari 2004, didapati bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki dokumen pengelolaan lingkungan, tidak memiliki izin pembuangan limbah cair, selain ditemukan adanya saluran pipa pembuangan limbah menuju ke Sungai Cisadane. Celakanya lagi, ketika inspeksi mendadak dilakukan, pihak pengelola didapati baru saja mengosongkan limbah cair atau membuangnya ke Sungai Cisadane.

Atas laporan itu, Wali Kota Tangerang Wahidin Halim menginstruksikan agar perusahaan itu ditutup. Hingga saat ini tidak jelas kelanjutannya.

Satu hal yang mencengangkan, setelah dilakukan teguran berkali-kali dan kembali dilakukan uji laboratorium, masih juga didapati kandungan sejumlah zat kimia yang melebihi baku mutu.

Uji laboratorium bulan Maret 2004 menunjukkan, kandungan zat padat tersuspensi TSS justru meningkat menjadi 900 mg/l, kandungan Cu 28,38 mg/l, Zn 13,67 mg/l, Cr 6+ 0,88 mg/l, Cr 2,00 mg/l, Ni 16,45 mg/l, dan CN 41,553 mg/l.

HINGGA saat ini, ratusan meter kubik limbah industri yang sebagian di antaranya termasuk golongan bahan beracun berbahaya (B3) terus saja dibuang ke Sungai Cisadane. Dengan demikian, air sungai yang menjadi air baku bagi PDAM di Tangerang itu tercemar limbah dan mengandung unsur kimia beracun.

Kepala Dinas LH Pemkab Tangerang Deden Sugandhi menyatakan, diperkirakan setiap hari ratusan meter kubik limbah cair dibuang ke Sungai Cisadane. Ia mencontohkan, limbah cair yang dibuang PT Indah Kiat ke Sungai Cisadane setiap hari mencapai 500 m>sprscript<3>res<>res<. Dari sejumlah zat kimia yang terkandung dalam limbah hasil buangan PT Indah Kiat itu, sebagian lainnya masuk jenis limbah beracun yang melebihi baku mutu.

"Kami telah memberikan peringatan keras kepada PT Indah Kiat dan kami sudah mengusulkan agar ia dimasukkan dalam daftar merah. Sekarang PT Indah Kiat masih terus dalam pengawasan," kata Deden, Senin (17/5).

Tingkat kandungan zat besi terlarut (Fe) dan mangan (Mn), yang lebih tinggi dari baku mutu, juga terdapat pada air limbah di sejumlah industri yang membuang limbahnya ke Sungai Cisadane. Misalnya limbah dari PT Surya Toto memiliki kandungan Fe 1,21 mg/l dan Mn 0,247 mg/l. PT Tifico: Fe 0,59 mg/l dan Mn 1.162 mg/l. PT Sun Kyong Keris: Fe 0,38 mg/l.

PT Laksana Kurnia Sejati: Fe 1,07 mg/l dan Mn 0,18 mg/l. PT Indah Kiat: Fe 0,56 mg/l dan Mn 0,298 mg/l. Area Gading Serpong: Fe 1,34 mg/l dan Mn 0,333 mg/l. PT CRC: Fe 0,53 mg/l. PT Yuasa: Fe 1,04 mg/l dan Mn 0,312 mg/l. Sedangkan PT Argo Pantes: Fe 0,64 mg/l dan Mn 0,214 mg/l.

Dewan Presidium Aliansi Aktivis Lingkungan Hidup Indonesia, Karya Ersada, menyatakan, banyaknya limbah industri yang dibuang ke Sungai Cisadane yang melebihi baku mutu yang ditentukan merupakan upaya untuk merusak lingkungan. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan dan harus ada upaya serius dari Pemkot dan Pemkab Tangerang untuk mengatasinya.

Sementara itu, uji laboratorium yang dilakukan PDAM Tirta Dharma Kota Tangerang menunjukkan, air Sungai Cisadane sudah banyak terkontaminasi, antara lain minyak dan lemak 2,97 mg/l, amoniak 1,44 mg/l, mangan 0,5 mg/l, nitrat 10,5 gm/l, besi 1,16 mg/l, dan mercury 0,001 mg/l.

TERCEMARNYA air Sungai Cisadane, kata Ersada, merupakan bentuk ketidakpedulian kalangan industri dan pemerintah daerah. Ini terbukti dari tidak adanya langkah yang tegas.

Upaya Pemerintah Daerah Tangerang untuk menjaga lingkungan hingga saat ini masih sebatas pada pemenuhan kepemilikan perizinan. Padahal, pada kenyataannya masih banyak industri yang secara administratif memiliki perizinan yang lengkap, tetapi masih saja membuang limbah dengan kandungan zat kimia yang tinggi secara sembarangan.

Menanggapi hal itu, Deden menyatakan, saat ini pemerintah tengah mencoba merencanakan pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpadu. Tujuannya, mengurangi pembuangan limbah cair secara sembarangan ke sungai-sungai di Tangerang.

Dari hasil studi kelayakan yang dilakukan Pemkab Tangerang diperkirakan pembangunan IPAL terpadu menelan biaya Rp 50 miliar. Bagi Pemkab Tangerang, biaya tersebut dinilai terlalu tinggi. Penilaian itu tentunya patut dipertanyakan mengingat Tangerang sesungguhnya berpijak pada industri dalam membangun wilayahnya.

Tanpa ada pengorbanan dan kesediaan dari pemerintah membangun IPAL terpadu, sulit rasanya mengurangi dampak pencemaran air di Sungai Cisadane. Menutup industri yang melanggar merupakan pilihan sulit mengingat banyaknya pekerja yang bergantung pada sektor industri. Sementara membiarkan masalah ini berarti merusak kesehatan warga.

Di sisi lain, peningkatan kandungan zat kimia terlarut pada air Sungai Cisadane akan meningkatkan ongkos produksi yang pada ujungnya nanti meningkatkan harga jual. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang jadi sengsara. (HERMAS EFENDI PRABOWO)

Post Date : 19 Mei 2004