Pemilahan Sampah di Pontianak

Sumber:pontianakpost.com - 30 Oktober 2014
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Belinda Phelia tampak asik membuat tas dari bungkus plastik deterjen di beranda rumahnya, Jalan Pancasila, Pontianak. Jemarinya cekatan menjahit tas tersebut. Sementara di hadapannya berserakan barang-barang daur ulang lainnya seperti; pot bunga, dompet, hiasan lampu, dan lain-lain. “Semuanya dari sampah. Saya kalau ada waktu luang dan lagi ingin, ya bikin barang-barang seperti ini,” ujar gadis 13 tahun yang tahun ini terpilih sebagai Duta Sanitasi Nasional.

Siswi SMP Santu Petrus Pontianak ini punya perhatian khusus soal sampah. Di rumahnya, ada dua wadah tong sampah. Satu untuk sampah anorganik, lainnya untuk sampah organik. “Saya ikut anjuran pemerintah, untuk memisahkan sampah organik dan nonorganik. Ini juga mempermudah saya untuk membuat barang-barang kerajinan ini,” sebutnya.

Belinda tidak sendirian, walau dikepung orang-orang yang cuek membuang sampah pada satu wadah-atau lebih parah- membuang sampah sembarangan. Sebagian masyarakat, beberapa instansi dan sekolah-sekolah sudah menerapkan pemilahan sampah ini.
Beberapa institusi yang punya limbah Bahan, Berbahaya, dan Beracun (B3) bahkan punya tiga wadah. Tujuan pemerintah baik; mengurangi penimbunan sampah dan pencemaran lingkungan.

Namun ternyata ini hanya sekadar anjuran. Sampah-sampah yang sudah dipisahkan warga tersebut dicampurkan kembali oleh dinas kebersihan di tempat pembuangan sementara dan diangkut ke pembuangan akhir. Upaya warga sia-sia. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan, seharusnya pemerintah memberikan teladan kepada masyarakatnya. “Program ini bisa berhasil kalau pemerintah memberikan teladan dengan melakukan pemilahan sampah. Sekarang sebagian warga sudah melakukannya, tetapi eksekusi di TPS dan TPA sampah itu dicampur lagi,” ucapnya. 

Tumpukan sampah menggunung di Tempat Pembuangan Akhir, Jalan Kebangkitan Nasional, Batulayang, Pontianak Utara. Bau busuk merebak di sekeliling tempat sampah seluas 30 hektare tersebut. Berpakaian dinas namun bersepatu bot, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak, Aswin Djafar berkeliling memantau kegiatan di lokasi tersebut. Kepada Pontianak Post dia menjelaskan perihal program pemisahan sampah yang belum berjalan baik.

Dia mengakui bahwa, pihaknya mencampurkan semua sampah menjadi satu untuk diangkut ke TPA. Namun dia mengelak bahwa Pemkot tidak perduli dengan program pemilahan sampah yang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah tersebut. Aswin berkilah, yang harus melakukan pemilahan sampah adalah masyarakat. Dengan memilah sampah organik dan anorganik, orang lebih mudah mengolah sampah-sampah tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat.

“Maksud pemilahan sampah itu diperuntukkan bagi masyarakat. Masyarakat diminta memisahkan sampah organik dan anorganik supaya bisa dimanfaatkan sendiri. Sampah organik bisa dijadikan pupuk kompos di rumah. Sedangkan yang anorganik dibuang, atau kalau bisa dimanfaatkan menjadi barang bernilai. Hal itu harus mereka manfaatkan sendiri,” ungkap dia.

Menurut dia, pihaknya tidak harus ikut memisahkan jenis-jenis sampah tersebut. Lebih-lebih, kata Aswin, dinas yang dipimpinnya tidak memiliki alat pengolahan sampah yang memadai. “Kalau harapkan pemerintah, composting itu berapa nilainya (proses pembuatan kompos). Kami memang punya composter (perangkat pengolah sampah menjadi kompos), tetapi tidak akan mampu untuk mengolah sampah,” imbuhnya. Pemkot Pontianak sejauh ini baru punya 3 composter, masing-masing di Rosela, Siantan Hulu dan Perumnas 3.

Aswin menyebut, sejauh ini yang bisa mereka lakukan adalah dengan menggencarkan sosialisasi. “Di TPS tidak ada pemilahan. Cara agar program ini berhasil adalah dengan sosialisasi. Tentu harus didukung semua stakeholder. Kalau ini berjalan, sampah akan berkurang. Selain itu bisa mendatangkan manfaat ekonomi untuk masyarakat sendiri,” sebutnya. 

Senada dengan Aswin, pengamat lingkungan Hendri Sutrisno juga menyebut program yang kerap disebut 3R (Reduce, Reuse, Recycle) tersebut memang berfokus ke masyarkat. “Di sini rumah tangga yang harus menjelankan. Bagaimana warga bisa mengolah sendiri sampah di rumahnya. Kuncinya ada di kesadaran masyarakat,” ucapnya. Menurutnya, pemerintah harus lebih rutin menyosialisasikan program ini untuk menciptakan kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah. 

Sebenarnya, di Pontianak sendiri sudah banyak pelaku usaha mikro yang memproduksi barang berbahan baku sampah. Mereka memanfaatkan limbah menjadi produk bernilai ekonomi. Seperti yang dilakukan ibu-ibu dari komunitas Bank Sampah Pontianak dan galeri Pemanfaatan Limbah, Jalan Selamat I, Pontianak Barat. Mereka membuat puluhan jenis produk aksesoris rumah tangga, seperti; tempat tisu, vas bunga, tutup lampu, asbak, bunga-bungaan, dan lain-lain.

Produk tersebut benar-benar diolah dari sampah rumah tangga semisal plastik bungkus deterjen, koran bekas, sedotan bekas, tempurung kelapa, botol minuman dan lain-lain. Sampaj-sampah tersebut didapat dari warga dan para pemulung yang ada di sekitar lingkungan mereka. “Mereka sekarang lebih senang jual koran dan plastik dengan kita karena kita beli dengan harga lebih tinggi daripada pengumpul biasa,” ungkap Masniati (58), pengrajin dari Bank Sampah kepada koran ini beberapa waktu lalu.

Sampah-sampah tersebut lalu dibersihkan dan dijemur agar tidak lengket. Kemudian, sampah-sampah itu kemudian dipisah dan dipilah sesuai dengan jenisnya baru kemudian menjadi kerajinan. Pembuatan kerajinan dari sampah tersebut disebutkan dia tidak terlalu sulit, namun tetap memerlukan ketekunan dan ketelitian.  

Meski terbuat dari barang bekas namun kekuatan ini bisa bertahan hingga bertahan lama dan mudah dibersihkan. Produk-produk ini pun sudah mendapatkan pasarnya sendiri. Bahkan sudah diekspor. “Kita sudah dapat order dari mana-mana seperti Jakarta, Bandung, Sulawesi, dan lainnya. Bahkan pernah kita dapat pemesanan dari Malaysia dan Brunei,” sebut Silviwati, pengrajin lainnya. Paling digemari adalah tempat tisu dan vas bunga dari koran bekas. Omzetnya dari berdagang kerajinan ini pernah tembus Rp6 juta perbulan. 

Bahan baku sampah sendiri sangat berlimpah di Pontianak. Data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pontianak, rata-rata satu orang memproduksi 2,5 kilogram sampah setiap harinya. Artinya 170 ton sampah tercipta saban harinya di Pontianak. Sebanyak 80 persen diantaranya adalah sampah anorganik.

Namun mereka bukannya tanpa kesulitan. Meskipun sudah memiliki order rutin, pasar mereka kurang berkembang dalam beberapa bulan terakhir. Maraknya produk-produk serupa hasil pabrikan yang jauh lebih murah tampak sulit untuk dikalahkan. “Barang-barang kita sulit untuk masuk ke pertokoan. Karena harga dari kita dinilai terlalu tinggi,” sebut Retno, pengrajin lain.

Dikatakan dia, orang-orang kerap mengeluhkan harga yang dipatok mereka. “Mereka bilang, ini katanya sampah, harusnya kan murah meriah. Kok lebih mahal dari barang yang di toko. Itu yang sering dikeluhkan orang,” ucapnya. Menurut dia, bahan baku produk memang murah, akan tetapi biaya pembuatan memakan waktu dan tenaga yang ekstra. “Kita mau jual mahal, orang mengeluh. Kalau jual murah, kita tidak untung,” tandasnya. (Aristono Edi Kiswantoro)

 



Post Date : 30 Oktober 2014