Banjir Bukan Bencana Alam

Sumber:Suara Merdeka - 03 Februari 2014
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
BANJIR bukanlah bencana alam, melainkan bencana ekologis yang disebabkan tindakan manusia. Pernyataan dari Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abet Nego ini pantas direnungkan. Menurutnya, bencana alam jelas disebabkan oleh alam. Termasuk dalam kategori ini misalnya letusan gunung berapi dan gempa bumi. Tapi banjir dan longsor tidak. Meskipun dipengaruhi fenomena alam, seperti hujan yang terus menerus, tapi meluapnya sungai dan longsornya bukit seharusnya bisa diatasi jika manusia lebih menghargai lingkungan.

Abet mengatakan, banjir bisa diatasi lewat tiga aspek. Pertama, pembinaan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, pengendalian alih fungsi lahan, dan kesetiaan pada peraturan tata ruang serta penegakan hukum. Nah, inilah inti persoalannya. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah perkotaan ialah 30 persen dari luas lahan kota seluruhnya. Tapi ketentuan tersebut tak banyak dipatuhi. Buktinya RTH di 35 kabupaten/ kota di Jateng rata-rata di bawah 10 persen. Kota Semarang, misalnya, hanya memiliki RTH sekitar 7-8 persen.

Laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi telah membuat setiap jengkal tanah di perkotaan mahal, dan karenanya sayang jika dibiarkan nganggur sebagai taman atau hanya untuk pertanian. Maka alih fungsi lahan pun merajalela. Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Holtikultura Provinsi Jawa Tengah mencatat, laju penyusutan lahan produktif akibat alih fungsi lahan di Jawa Tengah mencapai rata-rata 350-400 hektare per tahun.

Data Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) lebih mengerikan. Alih fungsi lahan terjadi di Jateng mencapai antara 2.500 hektare pertahun. Dari jumlah itu, lahan pertanian yang digunakan untuk kegiatan industri berkisar 40,5 persen atau 1.012,5 hektare pertahun. Bukan hanya persoalan kebutuhan pangan, tapi ancaman nyata kerusakan lingkungan.

Sanksi

Menurut anggota Komisi D DPRD Jawa Tengah Hadi Santoso, komitmen kepala daerah dalam mengawal kelestarian lingkungan memang menjadi persoalan serius. Jelas tercantum dalam Pasal 69-70 UU 26/2007 yang mengatur sanksi bagi pelanggar tata ruang dengan tiga tingkatan, yakni hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta bagi pengguna yang sengaja merubah peruntukan ruang.

Selain itu, pidana 8 tahun dan denda 1,5 miliar bagi pengguna yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan pelanggaran yang menimbulkan korban jiwa akan dikenakan hukuman pidana sampai 15 tahun dan denda 5 miliar. Tapi sejauh ini implementasi sanksi itu tidak jelas. Pernahkah mendengar pelanggar tata ruang dipenjara?

”Di negeri ini, jika ada proyek besar yang melanggar tata ruang, bukan proyeknya yang disesuaikan, tapi peraturannya yang diubah,” kata politikus PKS itu.

Sosialisasi peraturan daerah tentang tata ruang, menurut Hadi, juga tidak maksimal. Pemerintah daerah hanya memasang reklame dengan desain tidak menarik dan tulisan kecil-kecil. Reklame itu seperti tidak dimaksudkan untuk membuat orang mengerti isinya, melainkan sekadar menggugurkan kewajiban telah bersosialisasi.

Namun menggugah kesadaran masyarakat tak cukup dengan sosialisasi. Warga yang tinggal di tebing bukannya tak tahu jika sewaktu-waktu rumahnya bisa tertimpa longsor, tapi kalau tidak di situ mau tinggal di mana. Warga sekitar hutan sangat tahu bahwa bukit yang gundul membuat air tak meresap ke tanah, tapi jika tidak menebang pohon dari mana mendapat uang untuk sekolah anak-anaknya.

Stimulan

Jika pertanian di desa bisa mengenyangkan perut, tentu mereka tak memilih tinggal di bantaran sungai yang kumuh. Ya, masyarakat bukannya tak sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah, tapi hidup memaksanya melakukan kesalahan. Kompleks memang. Maka Hadi mengusulkan ada stimulan. Dia menyontohkan peraturan daerah tentang DAS Citandui yang memberikan insentif kepada warga di daerah hulu sekian puluh juta rupiah jika mampu menjaga pohon-pohon di sekitarnya. Warga butuh jaminan, dengan perubahan perilaku mereka bisa hidup dengan lebih nyaman dan aman.

Gubernur Ganjar Pranowo menyatakan, dalam Undang-Undang 26/2007 mitigasi bencana menjadi aspek yang lebih diperhatikan. Telah ada amanat bahwa penataan ruang wajib memperhatikan aspek kebencanaan. Kawasan rawan bencana alam, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, longsor,dan lainnya, diarahkan menjadi kawasan lindung.

Berarti kawasan tersebut memiliki batasan-batasan tertentu terkait pemanfaatan ruangnya. Dia telah meminta jajarannya untuk me-review seluruh kawasan rawan bencana yang masih terdapat pemukiman penduduk. Namun, untuk merelokasi ke tempat lebih aman diakuinya tidak mudah. Biasanya, warga baru mau pindah jika bencana sudah terjadi dan timbul korban jiwa. Maka dibutuhkan pendekatan yang lebih dari sekadar materi.  ”Butuh keterlibatan banyak pihak, budayawan saya kira akan berpengaruh besar,” katanya.

Terkait penataan tata ruang, Ganjar juga berencana mengumpulkan seluruh kepala daerah di 35 kabupaten/kota. Diperlukan konsensus bersama dalam mengawal pengendalian tata ruang untuk mencegah bencana lebih besar di tahun-tahun mendatang. ”Dan, ini tidak mudah, tidak bisa tiga empat tahun selesai,” ujar politikus PDIP itu.(Anton Sudibyo-71)

Post Date : 03 Februari 2014