Listrik dari Sampah, Tinggal Kemauan Samarinda

Sumber:kaltimpost.co.id - 26 Maret 2013
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Mengolah sampah menjadi sumber daya listrik melalui gas metana bukan hal baru di Indonesia. Beberapa daerah termasuk Balikpapan dan Bontang disebut telah menerapkan hal tersebut, walau masih skala kecil. Di Samarinda, dengan potensi sampah 680 ton per hari, ada 42.160 meter kubik (m3) gas metana yang bisa dihasilkan. Sementara produksi listrik sampah 1 megawatt (Mw) diperlukan 350 meter kubik gas metana per jam.

“Penggunaan energi listrik dari sampah dalam skala besar seperti di Bekasi memang agak sulit. Yang kecil banyak. Probolinggo, Balikpapan, sudah mulai mencoba. Memang masih skala kecil belum industri,” ucap Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Samarinda Sugeng Chairuddin, kemarin (25/3).

Sugeng menyebut, keperluan modal yang besar membuat pengolahan skala besar belum banyak ditemui di Tanah Air. Selain soal modal, volume sampah juga perlu jadi perhatian. Kota Tepian dengan produksi sampah 680 ton per hari, disebut mampu memenuhi keperluan gas metana untuk dikonversi jadi energi listrik.

DKP juga belum terlalu mendalami teknologi yang bekerja dalam produksi gas metana ini. Namun demikian, dari pantauan DKP, cara kerja mesin tersebut memang sederhana.

“Gas ditangkap dari tumpukan sampah, dialirkan ke mesin, mesin itu yang mengubah jadi energi listrik,” urai Sugeng.

Meski sederhana, teknologi ini memerlukan ongkos puluhan miliar rupiah. Walau begitu, Sugeng meyakini industri ini sangat menjanjikan.

Apalagi oleh lembaga lingkungan di luar negeri, memberlakukan kewajiban bagi PLN membeli energi listrik dari gas metana dengan harga di atas rata-rata.

“Semacam insentif karena ini termasuk upaya menyelamatkan lingkungan,” sebutnya.

Menerapkannya di Samarinda, bukan sekadar wacana. Sugeng telah membawa hal tersebut ke meja Wali Kota Samarinda. Usulan tersebut bersambut baik. Wali Kota Syaharie Jaang memberi restu untuk realisasinya di Samarinda. Tentu dengan keterlibatan investor. Melibatkan swasta sudah mulai dijajaki untuk urusan ini.

Utamanya pengelolaan TPA Sambutan. TPA yang belum lama ini difungsikan memakai metode sanitary landfill. Biaya operasional per ton di TPA ini lumayan mahal. Rp 300 ribu per ton. “Dari 680 ton, ambil saja 500 ton. Dikali satu bulan itu berarti perlu Rp 1,5 miliar. Dengan sharing swasta bakal meringankan operasional,” ucapnya.

Berdasar informasi yang dihimpun, satu ton sampah padat dapat menghasilkan 62 meter kubik gas metana. Sementara untuk memproduksi listrik sebanyak satu megawatt dibutuhkan 350 meter kubik gas metan per jam.

Dengan potensi sampah per hari di Samarinda yang mencapai 680 ton, maka ibu kota Kaltim bisa menghasilkan 42.160 meter kubik gas metana.

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Sudrajat menyebut, pengolahan sampah jadi energi listrik bukan hal baru. Metode ini sudah lama dikenal dan diterapkan. Tinggal soal kemauan. Bontang, kata dia, kini juga tengah menjajaki teknologi itu.

Sudrajat menyebut, proses penghasilan gas metana, dialirkan untuk diolah memang tak terlalu ribet. Di TPA, tumpukan sampah organik ditutup dan diberi semacam selang yang mengarah ke atas, berfungsi untuk mengalirkan gas metana ke udara, sebelum ditangkap dan dialirkan ke mesin pengolah.

“Ada yang disebut fermentasi bahan organik oleh bakteri dan menghasilkan gas metana,” terang dia.

“Jadi bakteri mengubah bahan organik menjadi gas metana, CO2, dan sebagainya,” sambungnya.

Namun demikian, mengoperasikan perangkat itu, mesti dilengkapi TPA dengan metode sanitary landfill. TPA jenis ini, semacam dibuat lubang yang dasarnya kedap air. Di sini lah sampah ditumpuk. Jenis TPA ini belakangan ditetapkan sebagai standar nasional.

Sementara TPA Gunung Sampah masih menggunakan metode open dumping (hanya berupa lahan terbuka yang jadi TPA).

“Tapi sebelumnya ada pemisahan sampah organik dan anorganik. Sampah organik itu bisa ke kompos, bisa juga ditimbun dan menghasilkan gas metana,” jelas dia.

Kendati demikian, lanjut dia, bukan berarti sampah anorganik tak lagi bernilai.

Bahan anorganik biasanya berbahan dasar plastik. Sampah anorganik bisa kembali difungsikan menjadi bahan baku sebelum kembali menjadi produk baru.

“Di Bontang saya lihat sampah anorganik disulap jadi butiran plastik dan jadi bahan baku untuk dijadikan produk,” terangnya.

Kecenderungan TPA kini lebih dianggap sebagai pembuangan akhir. Padahal, pengolahan lebih tepat lantaran semua sampah bisa kembali dimanfaatkan. “Jadi sebenarnya sampah itu tak ada,” jelasnya. 


“Penggunaan energi listrik dari sampah dalam skala besar seperti di Bekasi memang agak sulit. Yang kecil banyak. Probolinggo, Balikpapan, sudah mulai mencoba. Memang masih skala kecil belum industri,” ucap Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Samarinda Sugeng Chairuddin, kemarin (25/3).

Sugeng menyebut, keperluan modal yang besar membuat pengolahan skala besar belum banyak ditemui di Tanah Air. Selain soal modal, volume sampah juga perlu jadi perhatian. Kota Tepian dengan produksi sampah 680 ton per hari, disebut mampu memenuhi keperluan gas metana untuk dikonversi jadi energi listrik.

DKP juga belum terlalu mendalami teknologi yang bekerja dalam produksi gas metana ini. Namun demikian, dari pantauan DKP, cara kerja mesin tersebut memang sederhana.

“Gas ditangkap dari tumpukan sampah, dialirkan ke mesin, mesin itu yang mengubah jadi energi listrik,” urai Sugeng.

Meski sederhana, teknologi ini memerlukan ongkos puluhan miliar rupiah. Walau begitu, Sugeng meyakini industri ini sangat menjanjikan.

Apalagi oleh lembaga lingkungan di luar negeri, memberlakukan kewajiban bagi PLN membeli energi listrik dari gas metana dengan harga di atas rata-rata.

“Semacam insentif karena ini termasuk upaya menyelamatkan lingkungan,” sebutnya.

Menerapkannya di Samarinda, bukan sekadar wacana. Sugeng telah membawa hal tersebut ke meja Wali Kota Samarinda. Usulan tersebut bersambut baik. Wali Kota Syaharie Jaang memberi restu untuk realisasinya di Samarinda. Tentu dengan keterlibatan investor. Melibatkan swasta sudah mulai dijajaki untuk urusan ini.

Utamanya pengelolaan TPA Sambutan. TPA yang belum lama ini difungsikan memakai metode sanitary landfill. Biaya operasional per ton di TPA ini lumayan mahal. Rp 300 ribu per ton. “Dari 680 ton, ambil saja 500 ton. Dikali satu bulan itu berarti perlu Rp 1,5 miliar. Dengan sharing swasta bakal meringankan operasional,” ucapnya.

Berdasar informasi yang dihimpun, satu ton sampah padat dapat menghasilkan 62 meter kubik gas metana. Sementara untuk memproduksi listrik sebanyak satu megawatt dibutuhkan 350 meter kubik gas metan per jam.

Dengan potensi sampah per hari di Samarinda yang mencapai 680 ton, maka ibu kota Kaltim bisa menghasilkan 42.160 meter kubik gas metana.

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Sudrajat menyebut, pengolahan sampah jadi energi listrik bukan hal baru. Metode ini sudah lama dikenal dan diterapkan. Tinggal soal kemauan. Bontang, kata dia, kini juga tengah menjajaki teknologi itu.

Sudrajat menyebut, proses penghasilan gas metana, dialirkan untuk diolah memang tak terlalu ribet. Di TPA, tumpukan sampah organik ditutup dan diberi semacam selang yang mengarah ke atas, berfungsi untuk mengalirkan gas metana ke udara, sebelum ditangkap dan dialirkan ke mesin pengolah.

“Ada yang disebut fermentasi bahan organik oleh bakteri dan menghasilkan gas metana,” terang dia.

“Jadi bakteri mengubah bahan organik menjadi gas metana, CO2, dan sebagainya,” sambungnya.

Namun demikian, mengoperasikan perangkat itu, mesti dilengkapi TPA dengan metode sanitary landfill. TPA jenis ini, semacam dibuat lubang yang dasarnya kedap air. Di sini lah sampah ditumpuk. Jenis TPA ini belakangan ditetapkan sebagai standar nasional.

Sementara TPA Gunung Sampah masih menggunakan metode open dumping (hanya berupa lahan terbuka yang jadi TPA).

“Tapi sebelumnya ada pemisahan sampah organik dan anorganik. Sampah organik itu bisa ke kompos, bisa juga ditimbun dan menghasilkan gas metana,” jelas dia.

Kendati demikian, lanjut dia, bukan berarti sampah anorganik tak lagi bernilai.

Bahan anorganik biasanya berbahan dasar plastik. Sampah anorganik bisa kembali difungsikan menjadi bahan baku sebelum kembali menjadi produk baru.

“Di Bontang saya lihat sampah anorganik disulap jadi butiran plastik dan jadi bahan baku untuk dijadikan produk,” terangnya.

Kecenderungan TPA kini lebih dianggap sebagai pembuangan akhir. Padahal, pengolahan lebih tepat lantaran semua sampah bisa kembali dimanfaatkan. “Jadi sebenarnya sampah itu tak ada,” jelasnya. 


Post Date : 27 Maret 2013