Ada Apa dengan Sampah di Bandung

Sumber:Kompas - 04 Maret 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
WAJAH Ny Ade Rukmini tampak risau setelah menyaksikan tetangganya, pasangan suami istri Barjah-Ny Rusmi, meninggal dunia setelah rumahnya tertimpa longsoran sampah hari Kamis (3/3) dini hari. Ade Rukmini dan penduduk lainnya di RT 05 RW 08, Kampung Ampera, Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, pantas risau karena rumah mereka dikelilingi bukit.

"Ah, abdi mah bade ngungsi weh heula ka tempat nu aman ti longsor (Ah... saya sih mau mengungsi saja dulu ke tempat yang aman dari longsor," kata Apri (50), penduduk Kampung Ampera.

Tidak hanya Apri, tapi penduduk lainnya seperti keluarga Didin, Suhri, dan Ny Aisyah, juga mengungsi ke tempat yang agak aman dari kemungkinan longsor di kampung tersebut.

Penduduk yang mengungsi dari lokasi itu sedikitnya 30 keluarga. Mereka tampak mengemasi barang-barang yang dianggap penting untuk dibawa ke tempat sementara di rumah saudara atau tetangga.

Berbagai perlengkapan rumah tangga mulai dari baju, kasur, hingga kompor, dibawa mengungsi oleh para penduduk yang tinggal persis di kaki bukit Kampung Ampera itu.

Sebelum terjadi longsor, penduduk di kampung itu ramai membicarakan tentang longsor di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah yang telah menimbun lebih dari seratus orang.

"Nembe ge kamari warga di dieu nyarioskeun bencana longsor di Leuwigajah. Eh... ayuena kajadian bener (Baru saja kemarin warga di sini membicarakan bencana longsor di Leuwigajah. Eh... sekarang kejadian benar)," ujar Ny Yati (34) yang juga ikut mengungsi bersama suami dan seorang anaknya ke rumah orangtuanya.

Warga di Kampung Ampera tampaknya merasa satu nasib dengan warga yang tinggal di sekitar TPA Leuwigajah. Pasalnya, mereka pun tinggal di bawah tumpukan sampah.

Meski tumpukan sampah di Kampung Ampera jauh lebih kecil dibandingkan dengan tumpukan sampah di TPA Leuwigajah, penduduk di sana tetap merasa khawatir. Jangan- jangan longsor susulan yang lebih besar akan terjadi lagi karena sekarang sedang musim hujan.

Untuk bisa menjangkau Kampung Ampera perlu jalan kaki dari Jalan Jayagiri, Lembang. Setelah melewati Kampung Genteng, kita melalui jalanan yang menurun tajam.

Sementara itu, tumpukan sampah terdapat di ujung Kampung Genteng, sebelum jalan menurun menuju Kampung Ampera. Jadi, tumpukan sampah yang longsor itu adalah ulah dari sebagian warga yang tinggal di Kampung Genteng.

"Saya sebetulnya sudah berulang kali memasang papan pengumuman agar tidak membuang sampah di tempat ini. Tapi tetap tidak dihiraukan oleh penduduk," ujar Samsudin, salah seorang penduduk yang tinggal di Kampung Genteng.

Bahkan, kata Samsudin, setelah peristiwa longsor Kamis pagi masih saja ada orang yang membuang sampah ke lokasi itu. Sebagian warga di Kampung Genteng menyebutkan, mereka terpaksa membuang sampah ke lokasi yang sekarang longsor karena petugas jarang mengambil sampah di Kampung Genteng.

Setelah peristiwa itu tidak terlihat aparat atau pejabat dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung yang berusaha tinggal di lokasi kejadian untuk mengarahkan atau setidaknya menenangkan penduduk yang resah terhadap kemungkinan terjadinya longsor susulan.

"Kami memang diminta Danramil untuk mengosongkan rumah, terutama pada malam hari, tetapi penduduk tak diberi pilihan tempat untuk mengungsi. Jadi, penduduk mencari sendiri rumah-rumah tetangga yang dianggap masih aman," ujar seorang penduduk di Kampung Ampera, Desa Jayagiri.

Sementara itu, pejabat pemkab dan anggota DPRD Kabupaten Bandung yang datang ke lokasi kejadian tidak lebih dari sekadar kunjungan dinas. Tidak terlihat ada sikap simpati dan empati dari mereka terhadap kerisauan yang dirasakan penduduk di Kampung Ampera.

Adapun Kepala Dinas Kebersihan Kabupaten Bandung, Sudirman, mengaku tidak bisa berkomentar perihal longsornya tumpukan sampah di Desa Jayagiri karena sedang sakit.

"Saat ini saya sedang sakit, jadi belum bisa menjawab pertanyaan. Kemungkinan saya masuk ke kantor hari Senin mendatang," kata Sudirman.

Sudirman pantas sakit karena selain disibukkan dengan persoalan sampah di TPA Leuwigajah, dia juga baru saja diperiksa di Polres Cimahi.

Kesadaran kita terhadap bencana alam biasanya baru muncul kalau sudah terdapat korban jiwa. Kalau bencana belum terjadi, persoalan lingkungan sering kali diabaikan, bahkan cenderung tidak digubris oleh pihak-pihak tertentu.

Warga membuang sampah seenaknya, tanpa peduli dengan dampak yang ditimbulkan. Sementara kebijakan pemda baru pada tingkat bagaimana membuang dan menumpuk sampah.

Para kepala daerah tingkat II, khususnya di Kota dan Kabupaten Bandung maupun Kota Cimahi, belum memikirkan bagaimana mengolah sampah yang benar sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Daya pikir yang lemah, ditambah dengan nafsu jangka pendek untuk mengejar ambisi jabatan dan kekuasaan yang menghinggapi para pejabat birokrasi maupun para politisi lokal, membuat rakyat jelata sengsara.

Masyarakat bawah baru dilibatkan oleh elite birokrasi maupun elite politik lokal kalau ada program pembangunan yang ada unsur fulusnya.

Rakyat kecil, seperti almarhum pasangan suami istri Barjah (32)-Ny Rusmi (51), mungkin tidak ada pilihan lain kecuali tinggal di rumah kontrakan bersama ketujuh anaknya di kaki bukit yang di atasnya terdapat tumpukan sampah.

Kehidupan keluarga Barjah- Ny Rusmi adalah cerminan rakyat kecil di Kampung Ampera dan kampung-kampung lain di jagat negeri ini.

Mereka tidak memiliki daya apa pun dalam menghadapi kehidupan ini, apalagi menggugat tumpukan sampah yang terdapat di atas Kampung Ampera.

Tanpa ada tumpukan sampah pun, tinggal di Kampung Ampera yang dikelilingi bukit dengan kontur tanah yang labil merupakan taruhan yang sangat mahal bagi jiwa manusia.

Longsor yang disebabkan tumpukan sampah di dua tempat berbeda di Kabupaten Bandung hendaknya bisa menyadarkan warga Bandung apakah watak kita ini sudah seperti sampah yang busuk. (tjahja gunawan)

Post Date : 04 Maret 2005