Ada "Wewangian" Baru di Kota Bandung

Sumber:Kompas - 25 Februari 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
JULUKAN Kota Kembang bagi Bandung tampaknya sudah semakin jauh dari kenyataan. Setelah tiga hari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, ditutup, tumpukan sampah baru di berbagai tempat di Kota Bandung semakin banyak. Di beberapa jalan utama, sampah meluap hingga menghabiskan dua meter lebar badan jalan.

Air sampah menggenang di sekitar tumpukan sampah yang tidak terangkut dan menimbulkan aroma atau wewangian yang menyengat. Siapa pun yang melintas di dekat tumpukan sampah itu akan menyerengitkan wajahnya karena tiba-tiba bau busuk mampir ke indera penciuman. Ada juga yang sudah mengantisipasi menutup hidungnya.

Dari sejak pukul 10.00 biasanya petugas dari PD Kebersihan sudah sibuk mengurusi sampah di Pasar Andir. Namun, pada Selasa, tumpukan sampah itu tampak tak terjamah.

Begitupun di daerah Jalan Ahmad Yani, Bandung. Sampah berceceran di badan-badan jalan. Sampah dihalangi oleh lapak-lapak pedagang kaki lima, namun para pejalan kaki di trotoar tampak berjalan terburu-buru menghindari bau yang muncul di sekitar daerah itu. Bau busuk yang terbawa angin bisa tercium sampai puluhan meter.

Tumpukan sampah juga tampak di depan Pasar Cihaurgeulis. Sampah tidak meluber ke pinggir jalan karena belum juga diangkut ke TPA. Di Jalan Mohammad Toha, kontainer sampah tampak luber.

Oki, warga di Jalan Mohammad Toha, mengeluhkan onggokan sampah di bak penampungan sampah yang hanya berjarak sekitar lima meter dari rumahnya. Ia merasa terganggu karena sampah tersebut menimbulkan bau tak sedap yang sangat menyengat.

"Pemerintah seharusnya cepat tanggap mengatasi sampah-sampah yang terus menumpuk. Kalau hujan, bau sampah menyengat sekali. Sangat mengganggu," katanya.

Imas, warga di Gang Ali Apandi, Kelurahan Wates, Bandung Selatan, mengaku hampir muntah ketika melintasi bak-bak dan timbunan sampah di pinggiran Jalan Mohammad Toha. "Aduh, sampai kapan sampah di sini dibiarkan seperti ini? Kalau dibiarkan, bisa bikin penyakit," keluhnya, sambil menyeka hidungnya.

Sekretaris Komisi C bidang Pembangunan DPRD Kota Bandung Muchsin Al-Fikr mendesak Pemkot Bandung segera mengatasi persoalan sampah di Kota Bandung. "Kami meminta PD Kebersihan segera bertindak mengatasi persoalan sampah. Jangan sampai, sampah terus-menerus menumpuk," tandasnya.

SEMENTARA itu, TPA Leuwigajah pun tampak sepi aktivitas. Para pemulung yang sebagian besar tengah dilanda kesedihan karena banyaknya keluarga dan kerabat mereka meninggal akibat longsoran sampah sudah sejak Senin (21/2) tidak lagi bekerja.

"Tapi tidak apa-apa saya tidak bekerja. Saya tidak mau lagi bekerja di sana. Biar saja TPA itu ditutup," kata Syafruddin Pendi, sopir truk pengangkut sampah yang juga warga Kampung Cilimus, Desa Batujajar Timur, Kabupaten Bandung.

Akibat longsoran sampah, belasan keluarga dan kerabat Syafruddin tewas tergulung sampah yang terus ditumpuk di lembah antara Gunung Kunci dan Gunung Pasir Panji. Setiap hari, menurut Syafruddin, ia mengangkut sampah tiga rit atau tiga kali bolak- balik. Satu truk sampah bisa membawa sekitar 10 meter kubik sampah.

Selain Syafruddin, para pemulung di sekitar daerah bencana yang masih selamat tidak mau lagi bekerja sebagai pemulung.

"Toh penghasilannya cuma sedikit. Tidak bisa menyekolahkan anak-anak. Belum sampai kelas enam sekolah dasar, anak-anak saya berhenti karena tidak ada biaya," kata Husdi. Kini, empat anak Husdi yang juga menjadi pemulung ikut berhenti mencari sampah seperti ayahnya.

Lia Duriah (31), warga Desa Batujajar, Kabupaten Bandung, yang tinggal tidak jauh dari TPA Leuwigajah mengatakan, sebaiknya warga di kota besar bisa mengatasi persoalan sampahnya sendiri. Paling tidak, mereka bisa mengurangi volume sampahnya setiap hari.

Lia mengatakan, bau yang dicium masyarakat kota sekarang karena sampah yang bertumpuk tidak bisa diangkut ke TPA merupakan parfum sehari-hari di kampungnya.

TPA tersebut digunakan membuang sampah dari wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung. Ribuan meter kubik sampah masuk ke desa mereka setiap hari. Tidak hanya bau yang membuat masyarakat sekitar menderita. Tapi mereka pun harus kehilangan sumber air bersih.

Saking mirisnya melihat penderitaan masyarakat sekitar TPA akibat dampak buruk dari sampah selama bertahun-tahun, Lia dan keluarganya yang tinggal sekitar dua kilometer dari TPA Leuwigajah tidak berani membuang sampah. "Kami biasa mengubur sampah basah dan membakar sendiri sampah kering," kata Lia.

LAIN halnya dengan Taufik Afif, peneliti soal sampah dari kelompok Peneliti Lingkungan Hidup, Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, ia bersama teman-teman peneliti ITB sudah berkali-kali melakukan penelitian tentang sampah di Kota Bandung.

Salah satu penelitian yang dilakukan tahun 1980-an adalah tentang pengurangan volume sampah dari 100 persen sampah menjadi tinggal 15 persen yang siap angkut ke TPA.

Sebanyak 85 persen sampah yang tidak terangkut ke TPA disortir oleh para pemulung. Sampah tersebut ada yang bisa langsung dijual dan ada yang harus diproses atau dibersihkan terlebih dahulu sebelum bisa dimanfaatkan.

Pengurangan volume sampah yang terbawa ke TPA bisa dilakukan dengan membangun kawasan industri sampah. Kawasan industri sampah ini bisa dibangun di permukiman dalam skala kecil, mirip sebuah tempat penampungan sampah sementara, namun dilengkapi dengan gudang dan alat pemrosesan sampah.

Selain itu, iuran sekitar Rp 4.000 per keluarga yang berlaku di Kota Bandung sebaiknya diganti dengan ongkos angkut sampah yang dihitung per liter sampah. "Dengan dihitung per liter sampah, maka masyarakat akan tergerak untuk mengurangi volume sampahnya sendiri," kata Taufik.

Kesempatan seperti sekarang ini seharusnya bisa dimanfaatkan bagi Kota Bandung untuk merintis cara pengelolaan sampah yang baik. Banyak teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk mengelola barang yang tak berguna itu menjadi barang ekonomis, misalnya untuk dimanfaatkan gas bionya, untuk pembangkit listrik, dan paling tidak menjadi kompos. (Y09/LKT)

Post Date : 25 Februari 2005