Adaptasi Budaya Bertanam

Sumber:Kompas - 01 Desember 2007
Kategori:Climate
Perubahan iklim juga menuntut perubahan besar-besaran dalam budaya dan cara kita bercocok tanam. Salah satu bentuk respons yang harus dilakukan, menurut seorang panelis pada Diskusi Panel Kompas-Oxfam "Upaya Adaptasi di Sektor Pertanian Menghadapi Ancaman Perubahan Iklim", adalah mempersiapkan petani untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi yang terjadi.

alah satu penyebab gagal panen, menurut dia, adalah karena petani belum memiliki pemahaman cukup terhadap informasi prakiraan cuaca dan belum adanya sistem diseminasi informasi tersebut secara efektif ke petani sebagai pengguna (end-users). Akibatnya, baik El Nino maupun La Nina, fenomena kekeringan atau banjir, petani terus menderita.

Di sinilah pentingnya mengembangkan sistem prediksi dan jaringan informasi iklim, sistem peringatan dini, serta dilakukannya reevaluasi wilayah rawan kekeringan dan banjir. Selama ini, informasi tersebut hanya menjadi milik dan pemahaman kalangan tertentu.

Langkah-langkah adaptasi lainnya, menurut Irsal Las dari Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, di antaranya dengan menyesuaikan pola tanam dengan menerapkan kalender tanam.

Kalender tanam dilakukan melalui pengaturan pola tanam (waktu, jenis tanaman, dan sebagainya), mengatur atau melihat pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi, serta elastisitas ketersediaan air menurut skenario perubahan iklim (maju-mundur, basah, kering, atau normal).

Kalender tanam ini bisa menjadi pedoman dalam menentukan waktu tanam yang dirinci per kecamatan berdasarkan kondisi iklim (basah, kering, dan normal).

Selain itu, kalender tanam juga bisa dipakai sebagai panduan dalam penentuan pola tanam berdasarkan potensi sumber daya air, menetapkan strategi penyediaan dan distribusi sarana produksi, serta perencanaan budidaya dan pengelolaan tanaman untuk menghindari/mengurangi risiko iklim.

Langkah adaptasi lainnya adalah dengan mengembangkan varietas bibit unggul rendah emisi atau yang mudah beradaptasi dengan iklim. Contoh varietas unggul padi yang rendah emisi gas rumah kaca adalah varietas ciherang, cisantana, tukad belian, dan way apoburu. Sedangkan varietas tahan kering contohnya dodokan, silugonggo, S-3382 dan BP-23 untuk padi.

Untuk kedelai, di antaranya varietas argomulyo, burangrang, GH-SRH/Wil-60, dan GH 983/W-D-5-211. Untuk kacang tanah jenis singa dan jerapah. Untuk kacang hijau, jenis kutilang dan GH-157D-KP-1. Untuk jagung, jenis bima, lamuru, sukmaraga, dan anoman.

Pada saat bersamaan, juga harus ada upaya mengembangkan teknologi pengelolaan lahan, air dan iklim serta strategi antisipasi dan penanggulangan kekeringan dan banjir.

Terkait semua itu, Irsal Las menekankan perlunya memberikan perhatian lebih besar pada lahan-lahan suboptimal, perbaikan sistem irigasi dan infrastruktur pertanian lainnya, pengembangan teknologi panen hujan (water harvesting) dan aliran permukaan (seperti embung, dam, parit dan sebagainya). Di samping itu juga pengendalian pembukaan lahan baru dan pemanfaatan lahan gambut yang terencana dan terkendali.

Untuk lahan pertanian yang terkena dampak kenaikan permukaan air laut, adaptasi antara lain bisa dilakukan dengan menyesuaikan sistem produksi ke arah pengembangan pertanian lahan rawa, tambak dan akuakultur, selain pengembangan varietas adaptif yang tahan genangan dan toleran terhadap kadar air garam tinggi seperti way apoburu, margasari, lambur, GH-TS-1, dan GH-TS-2.

Teknologi ramah lingkungan

Dari sisi mitigasi, perlu upaya mengembangkan teknologi pertanian yang lebih ramah lingkungan dan menekan atau menyerap emisi gas rumah kaca. Misalnya, melalui cara dan penggunaan input seperti pupuk, pestisida, bibit dan air yang lebih rasional, serta pemanfaatan sumber daya, teknologi dan kearifan lokal.

Penggunaan urea bisa dikurangi dengan menggantikannya dengan pupuk ZA. Teknologi irigasi yang bisa diterapkan misalnya sistem pengairan buka-tutup (intermitten), penggunaan sumur renteng, irigasi kapiler, irigasi tetes (drip irrigation), irigasi "macak-macak", serta irigasi bergilir dan berselang.

Mitigasi di sini diperlukan karena selain memikul dampak terbesar, kegiatan sektor pertanian juga menjadi penyumbang penting emisi gas rumah kaca. Sektor pertanian menjadi sumber utama emisi metana, yakni 59 persen dari total emisi nasional. Penanaman padi menyumbang sekitar 70 persen emisi metana dan 86 persen emisi nitrogen dioksida di pertanian (Peace 2007).

Pengairan tanaman padi dan rotasi tanaman di Indonesia, banyak melepaskan CH4 (metana), N2 (karbon dioksida) ke atmosfer.

Emisi metana ini sebagian besar disebabkan oleh kegiatan-kegiatan yang tak efisien, seperti pengairan yang berlebihan, cara pemupukan atau penggunaan pupuk yang tidak tepat, dan cara-cara pemberian pakan ternak yang salah. Semua itu, mungkin tak pernah disadari oleh petani. (tat)



Post Date : 01 Desember 2007