Agats Menjaga Alam, Panen Air

Sumber:Kompas - 30 November 2012
Kategori:Air Minum
Kota di atas lumpur. Itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi geografis Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua. Roda kehidupan berputar di atas lahan basah yang dikelilingi laut, sungai, hutan, rawa, bakau, dan gambut. Namun, air bersih untuk kebutuhan warga justru diperoleh dari langit.
 
Ya, kehidupan kota berpenduduk sekitar 13.000 jiwa itu amat bergantung pada hujan. Di setiap rumah penduduk yang dibangun dengan model panggung, yang saling terhubung dengan jembatan kayu, bak besar penampung air hujan selalu tersedia.
 
Air hujan itulah yang dipakai warga untuk memenuhi segala kebutuhan sehari-harinya. Pilihan lainnya, membeli air isi ulang seharga Rp 45.000 per galon.
 
Wilayah Agats sangat dipengaruhi pasang-surut laut. Saat pasang, air laut masuk ke daratan hingga jarak puluhan kilometer dari pantai. Oleh karena itu, seberapa pun dalamnya menggali tanah di Agats hanya akan mendapat air asin.
 
Beruntung curah hujan di wilayah ini cukup tinggi dan turun hampir sepanjang tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Asmat menyebutkan, curah hujan di daerah itu, tahun 2010, mencapai 2.962 milimeter.
 
Curah hujan tinggi di Asmat bukanlah suatu kebetulan. Menurut Kepala Bidang Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Asmat Teguh Purwantoro, kondisi alam yang sebagian besar terdiri atas tanah gambut dengan rawa dan hutan bakau yang lebat membuat pembentukan hujan berlangsung cepat dan tinggi. ”Sifat gambut mudah menyerap air, sekaligus mudah melepaskannya saat terkena sinar matahari sehingga curah hujan tinggi,” katanya, beberapa saat lalu.
 
Kabupaten Asmat memiliki lahan gambut terluas di Papua, yakni mencapai 1,5 juta hektar. Jika dibandingkan dengan luas wilayah Asmat, proporsinya mencapai 63 persen. Pemerintah setempat pun berupaya melindungi kondisi itu karena makna vitalnya untuk kehidupan masyarakat. Salah satu langkah melindungi ”sumber” air tersebut adalah dengan konservasi wilayah hutan, rawa, dan bakau. ”Salah satu rawa terbesar di Asmat, yakni Rawa Baki, didorong untuk menjadi kawasan konservasi,” kata Teguh lagi.
 
Air sungai
 
Selain hujan, Agats juga merintis upaya memperoleh air bersih dari sumber lain di alam. Salah satu yang dilirik adalah air dari Sungai Yomot di Kampung Yepem. Air sungai itu jernih, berasal dari mata air dalam hutan. Keunggulan lain, jarak sungai itu dekat dengan Agats.
 
Jika ditarik garis lurus, sebenarnya sungai itu hanya berjarak 4 kilometer dari Agats. Namun, karena medan terdiri atas rawa dan hutan, perjalanan ke lokasi sumber air itu harus ditempuh berputar selama dua jam dengan perahu motor kecil. Hanya perahu kecil yang bisa memasuki alur sungai karena penyempitan di beberapa titik.
 
Warga Yepem meyakini lokasi sumber air sungai itu sebagai tempat keramat yang disebut Cifa Bambu. Sekretaris Kampung Yepem Eddy Desnam mengatakan, sungai itu menjadi sumber air bersih bagi 142 keluarga di Yepem. ”Sungai itu tak pernah mengering sekalipun musim kemarau. Malah, saat kemarau, airnya menjadi lebih jernih,” ujarnya. Pada musim kemarau, banyak warga yang kesulitan air di Agats datang ke Sungai Yomot, mengambil air.
 
Pada tahun 2006, pemerintah daerah setempat memulai inisiatif mengalirkan air dari Yomot ke Agats melalui jaringan pipa induk. Rumah pompa pun dibangun di salah satu bagian hulu sungai yang alurnya melebar menyerupai telaga.
 
Kepala Seksi Pengawasan Teknis Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Asmat Irwan Panannangan mengatakan, jaringan pipa distribusi mulai dipasang pada 2009. Kini pipa sudah tersambung untuk 440 rumah di Agats. Tahun 2012, sambungan pipa akan bertambah ke 160 rumah lain. ”Namun, itu baru mencapai sekitar 25 persen dari seluruh rumah di Agats,” ujarnya.
 
Operasional pengaliran air juga masih terbatas, yakni hanya tiga kali seminggu. Setiap kali pengaliran berlangsung selama tiga jam. ”Jika musim kemarau, lama pengaliran biasanya ditambah menjadi lima jam,” ujarnya.
 
Jaga alam
 
Kebutuhan akan air itu membuat Agats amat bergantung pada alam untuk keberlangsungan hidupnya. Masyarakat asli Asmat pun sejak lama memiliki kearifan lokal yang turut menjaga kelestarian lingkungannya.
 
Orang Asmat memiliki tempat penting di wilayahnya, yang antara lain dibedakan dalam kategori dusun sagu, tempat berburu, sumber air, tempat keramat, kampung lama, hutan lindung adat, jalur perjalanan leluhur, dan tempat persinggahan leluhur. Organisasi lingkungan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia bersama Pemkab Asmat, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agats, serta Lembaga Musyawarah Adat Asmat melakukan pemetaan tempat penting itu. Pemetaan tersebut melibatkan partisipasi aktif dari 12 rumpun suku Asmat yang ada.
 
Hasil pemetaan itu kemudian diintegrasikan dalam penyusunan tata ruang wilayah oleh pemerintah setempat. Total luas hasil pemetaan tempat penting masyarakat Asmat mencapai 640.527 hektar.
 
Project Leader WWF Indonesia di Asmat, Jackson W Umbora, mengatakan, keberadaan tempat penting itu juga turut menjaga kelestarian alam. ”Warga menghargai dan mengetahui arti penting tempat itu bagi kehidupan mereka dan menjaga keberadaannya,” ungkap Jackson. Tempat itu pun dijaga dan tetap terjaga. M Final Daeng


Post Date : 30 November 2012