Air dan Konflik Kepentingan

Sumber:Suara Merdeka - 22 Maret 2005
Kategori:Air Minum
"PERANG di masa depan tidak lagi dipicu oleh perebutan emas hitam (minyak), tetapi oleh emas biru (air)". Demikian Ismael Serageldin, Wakil Presiden Bank Dunia, pernah mengingatkan kita. Pada masa mendatang, air menjadi barang paling berharga bagi umat manusia. Krisis air juga selalu menjadi biang mencuatnya berbagai konflik kepentingan .

Peringatan Serageldin sekitar sepuluh tahun lalu itu akan selalu menjadi topik aktual dalam diskusi di sepanjang waktu. Begitu krusialnya keberadaan air bagi umat manusia, sehingga dalam setiap kesempatan Forum Air Sedunia (World Water Forum /WWF), selalu ditegaskan kembali hal itu. Termasuk di antaranya saat penyelenggaraan WWF III di Kyoto, Jepang, pada tahun 2003.

Saat ini kondisi air (bersih) dunia benar-benar di ambang krisis. Hal itu disebabkan kebutuhan air bersih dunia meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun akibat pertambahan jumlah penduduk yang sangat besar. Implikasi yang ditimbulkan dari kondisi tersebut antara lain satu di antara lima penduduk dunia tidak mempunyai akses pada air bersih.

Sumber-sumber air makin terkuras, pencemaran air karena kegiatan manusia terjadi di mana-mana. Proyek-proyek besar pembangkit listrik tenaga air, polusi industri dan perkotaan, penggundulan hutan, penggunaan pestisida yang kurang bijaksana, pembuangan limbah serta aktivitas pertambangan, semuanya mempunyai andil dalam menciptakan kondisi krisis air dunia saat ini.

Jika dihitung secara matematis, dalam keadaan normal setiap orang membutuhkan air untuk kepentingan minum, masak, mencuci, dan sanitasi tidak kurang dari 50 liter per hari. Saat ini air masih dipandang sebagai sumber daya alam yang tidak terbatas sehingga perilaku boros air masih sering mewarnai kehidupan masyarakat kita. Jika paradigma ini tidak berubah, dikhawatirkan lima miliar penduduk dunia akan tinggal di kawasan yang tidak punya akses terhadap air bersih tahun 2005 mendatang.

Untuk itulah Komite PBB bagi hak-hak sosial budaya dan ekonomi merasa perlu menyeru pada bangsa-bangsa di dunia agar air diperlakukan sebagai harta sosial budaya, bukan semata sebagai komoditas ekonomi. Tulisan ini sengaja dihadapkan pada sidang pembaca sebagai bahan refleksi dalam memperingati Hari Air Dunia yang selalu diperingati setiap 22 Maret oleh negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia.

Berpikir Pragmatis

Pada pertengahan Januari lalu sempat mencuat ke permukaan tentang konflik pengelolaan sumber daya air yang terjadi antara Pemerintah Kabupaten Semarang dan Kota Semarang. Meski kadarnya sangat ringan, namun kasus ini merupakan contoh yang cukup aktual untuk menggambarkan bahwa pengelolaan sumber daya air yang sudah turun - temurun sejak zaman Belanda pun, ternyata juga menyimpan potensi konflik.

Berlarut-larutnya proses perjanjian kerja sama pemanfaatan air bersih serta belum terbayarnya "tali asih" sebesar Rp 900 juta oleh Pemkot Semarang, membuahkan ancaman penghentian pasokan air bersih dari Pemkab Semarang bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang. Demikian tulis sebuah harian nasional pertengahan Januari 2005 lalu.

Di negeri ini, masalah pengelolaan sumber daya air telah diatur dalam UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal 2 UU tersebut menyatakan, sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.

Pada Pasal 4 dan 5 disebutkan, sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif.

Konflik pengelolaan air yang telah penulis paparkan di muka hanyalah satu contoh kecil betapa krusialnya manajemen air. Meskipun UU sudah mengatur dengan jelas, namun dalam pelaksanaannya tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan.

Ke depan akan semakin banyak orang berpikir secara pragmatis dalam menyikapi nuansa otonomi daerah. Setelah bergulirnya era reformasi dan otonomi daerah, muncul berbagai gugatan terhadap sistem pengelolaan sumber air di berbagai daerah yang ujung-ujungnya adalah tuntutan pembagian keuntungan alias fulus.

Tidak jarang kita dengar konflik antara PDAM dengan pemerintahan desa, atau Badan Perwakilan Desa (BPD) dimana sumber air itu dikelola untuk kebutuhan air bersih penduduh perkotaan. Pemerintah desa menuntut kontribusi dan kompensasi keuangan dari PDAM. Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada waktu-waktu sebelumnya.

Penegakan Hukum

Perkembangan kondisi seperti itu tentunya bukan merupakan permasalahan ringan bagi daerah-daerah yang secara alami tidak memiliki sumber daya air di wilayah sendiri. Sejak dini kota-kota di Jawa Tengah seperti Kota Semarang, Pekalongan, Tegal, dan Solo, harus menyikapi perkembangan ini secara bijaksana. Kota-kota tersebut, notabene tidak memiliki sumber daya air di wilayah sendiri, sehingga akses air bersih bagi penduduknya harus diambilkan dari wilayah kabupaten tetangga.

Eksplorasi air tanah sebagai alternatif sumber air bersih telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Berdasarkan evaluasi kondisi air tanah yang dilakukan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) di beberapa kota besar, ternyata kondisinya telah memprihatinkan.

Sebagai contoh, Menurut Yusgiantoro (2003) pengambilan air tanah tiap tahun di Kota Semarang mencapai 17,4 juta m3 yang terkonsentrasi di daerah Semarang Utara. Dampak yang timbul dari kegiatan ini antara lain terjadinya krisis air tanah yang ditandai dengan penurunan muka air tanah sedalam 20 meter di bawah muka laut pada daerah seluas 30 kilometer persegi.

Penurunan muka air tanah tersebut mengakibatkan terkontaminasinya air tanah dalam oleh air tanah bebas, penurunan muka tanah (land subsidence), dan banjir genangan. Penurunan muka tanah terbesar terjadi di sekitar utara jalan raya Semarang-Demak sebesar lebih dari 8 cm/tahun dan di sekitar Tembalang sebesar 4-6 cm/tahun.

Namun ini bukan berarti daerah-daerah yang kaya sumber daya air kemudian terlepas dari permasalahan konflik kepentingan penggunaan air. Pengelolaan sumber daya air yang kurang baik selalu saja menyimpan potensi konflik, untuk sektor pertanian, air bersih/air minum, industri, serta keperluan rumah tangga.

Pengurangan debit sumber air yang semula dimanfaatkan para petani untuk bercocok tanam, kemudian dialihkan untuk pemenuhan air bersih masyarakat perkotaan dalam satu kabupaten (pun) sangat potensial menimbulkan konflik kepentingan. Apalagi kalau pengalihan itu mengakibatkan berkurangnya indeks pertanaman (cropping indexs) atau bahkan menyebabkan puso karena kekeringan.

Kondisi seperti itu tentu memicu amarah petani. Di beberapa daerah bahkan pernah terjadi, petani berbondong-bondong merusak instalasi air minum PDAM. Instalasi tersebut menurut mereka merupakan simbol penyerobotan air yang telah mereka terima secara turun temurun sehingga mengakibatkan kegagalan panen mereka.

Untuk menghindari timbulnya konflik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air, maka perlu dilakukan perencanaan yang matang dalam pemanfaatan air berdasar prinsip proportional water sharing. Cara pengelolaan ini harus memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor pertanian, industri, air minum, air untuk kepentingan sanitasi, serta potensi lestari sumber daya air tersebut.

Penegakan hukum (law enforcement) bagi para pencemar lingkungan tanpa pandang bulu, merupakan kata kunci bagi upaya penyelamatan lingkungan. Proses verbal terhadap para pelaku pencemaran di Kabupaten Karanganyar yang kini tengah dilaksanakan, kiranya menjadi shock therapy bagi siapa pun yang ingin coba-coba melanggar ketentuan hukum lingkungan.(18)

Toto Subandriyo, Staf Dinas Pertanian di Tegal

Post Date : 22 Maret 2005