Air Dikejar, Air Pun Mengalir

Sumber:Kompas - 14 September 2006
Kategori:Air Minum
Siang amat terik. Namun, itu tak mampu melelehkan semangat Amirudin untuk menjelaskan pembibitan jati dan mahoni di atas sepetak lahannya pada akhir Agustus 2006 di Dusun Dasan Makmur, Aik Darek, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. "Dulu, buat mencuci saja warga harus antre," kata dia.

Keterbatasan air bersih kala itu berdampak pada urusan mandi, cuci, dan kakus (MCK). Jamban keluarga bisa dihitung dengan jari. Untuk buang hajat, warga terbiasa memanfaatkan saluran air, kebun, atau pohon kayu. Yang disebut terakhir adalah sebutan warga menunjuk tempat terlindung.

Pada musim kemarau, kebiasaan itu menjadi masalah karena ketiadaan air di saluran air. Pada saat-saat itu, kabar tentang wabah muntaber, diare, atau jenis penyakit lain terkait kebersihan menjadi rutinitas.

Sejak tahun 2003, kebiasaan mencari pohon kayu itu berangsur-angsur menghilang. "Sekarang malu," kata Djumahir (40), salah satu warga yang dulu sering menyelinap di antara pohon-pohon kayu.

Di rumahnya sudah dibangun sumur gali dan jamban keluarga. Air bersih tak lagi masalah. Urusan MCK pun beres. Di Dasan Makmur kini jarang terlihat antrean di sumur-sumur gali untuk urusan cuci mencuci.

Sejak proyek sarana air bersih dan sanitasi dari Bank Dunia masuk ke dusun itu, air bersih dapat diambil sewaktu-waktu di beberapa lokasi pemasangan keran air. Memanfaatkan gaya gravitasi, air bersih dari sumber air Pancor Dao dialirkan melalui pipa sepanjang sekitar tiga kilometer ke Dusun Dasan Makmur.

Seiring dengan itu, sumur-sumur gali terus dibangun. Seperti diungkapkan Djumahir, kini hampir semua rumah di dusun itu memiliki sumur gali.

Sejak air bersih mengalir dan mengikis kebiasaan buang hajat sembarangan, wabah muntaber dan diare pun merosot drastis. "Kunjungan ke puskesmas pembantu pun berkurang," kata Mustahap Abdullah, Kepala Desa Aik Darek, di sela-sela kunjungan peserta orientasi dan lokakarya Metode Pengkajian Partisipatoris untuk Transformasi Sanitasi dan Kesehatan (MPA-PHAST) dalam program Waspola hasil kerja sama Bappenas-Bank Dunia, akhir Agustus 2006.

Sejak tahun 2003, Proyek Kebijakan dan Rencana Kegiatan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan memang telah menyusun program sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (WSLIC-2). Proyek di Dasan Makmur merupakan proyek awal dari sekitar 450 lebih program sanitasi periode 2002-2007.

Gotong-royong

Program WSLIC menekankan kebersamaan atau gotong-royong. Mulai dari model pendanaan hingga pembangunan infrastruktur di lapangan. Sejak awal, masyarakat terlibat.

Adapun komposisi pendanaannya, untuk setiap proyek di sebuah lokasi Bank Dunia menanggung 72 persen dari total anggaran, sementara pemerintah daerah hanya delapan persen. Masyarakat menanggung 20 persen lainnya, yang dibagi dua: 16 persen dalam bentuk tenaga/material, 4 persen lagi dalam bentuk tunai yang dibuktikan dengan rekening bank.

"Dengan pelibatan masyarakat, termasuk tenaga dan dana, keberlanjutan infrastruktur sarana air bersih dan sanitasi akan terjamin. Masyarakat dengan segala keterbatasannya terbukti bisa mewujudkan harapannya," kata Ratna Indrawati, staf program air dan sanitasi (WSP) Bank Dunia.

Sebelum sebuah proyek didanai, harus melewati serangkaian persyaratan. Yang terpenting, di lokasi tersebut ada sumber air berkapasitas cukup.

Di Dasan Makmur misalnya, sumber air itu berjarak sekitar dua kilometer dari dusun. Air tersebut terus keluar sekalipun musim kemarau.

Pada awal pengajuan program, masyarakat Dusun Dasan Makmur, Desa Aik Darek, harus "bersiasat" untuk memperoleh dana tunai Rp 8 juta dan Rp 32 juta dalam bentuk material atau tenaga kerja. Sebuah nominal yang tidak ringan bagi masyarakat setempat.

Melalui musyawarah warga Desa Aik Darek, akhirnya disepakati pengumpulan dana diperoleh dari pemotongan harga jatah beras miskin senilai Rp 4.000 per keluarga. Dana tunai Rp 8 juta itu akhirnya diperoleh dalam jangka waktu satu bulan.

Perjuangan akhirnya berhasil. Tim penilai Bank Dunia menyetujui proyek di Desa Aik Darek yang memiliki sepuluh dusun (sekitar 10.000 jiwa). Namun, pengerjaan proyek menara air untuk suplai air di tiga dusun selain Dasan Makmur gagal, karena kekeliruan menghitung sudut elevasi.

Untuk si miskin

Menurut Senior Community Development Specialist WSP Bank Dunia, Nilanjana Mukherjee, program yang dipimpinnya memang untuk membuka akses air bersih buat warga miskin. Untuk mewujudkan, butuh data dasar yang tepat.

Data dasar diperoleh melalui metode MPA-PHAST. Petugas lapangan (fasilitator) dilatih mendekati warga, baik yang miskin maupun yang kaya.

Bila sesuai prosedur, akan diperoleh peta wilayah dan klasifikasi kesejahteraan. Selanjutnya, tim teknis akan membuat titik sumur gali atau jalur perpipaan (kalau memungkinkan menggunakan pipa) yang terjangkau warga miskin.

Sesuai data Bappenas, cakupan air bersih di Indonesia baru 50 persen. Dengan kata lain, sekitar 100 juta warga menggunakan air tak layak untuk kebutuhan sehari-harinya.

Menurut Kepala Sub-Direktorat Permukiman Bappenas, Oswar Mungkasa, cakupan air bersih itu justru dapat menurun setiap tahun bila tidak ada upaya serius menangani. "Bicara kendala, tidak sedikit," kata dia.

Salah satunya adalah dana. Setiap tahun setidaknya dibutuhkan dana Rp 4 triliun-Rp 5 triliun untuk membangun infrastruktur air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL).

Kondisi terkini, setiap tahun rata-rata tersedia dana Rp 2,2 triliun. Sementara untuk mencapai tujuan pembangunan milenium (MDGs) pada 2015, yang di antaranya mengurangi keterbatasan akses air bersih hingga separuhnya, dibutuhkan anggaran Rp 5 triliun per tahun. Itu pun masih dengan syarat infrastruktur yang telah dibangun terpelihara dan bertahan lebih dari lima tahun. Faktanya, tidak sedikit proyek terbengkalai karena warga tidak dilibatkan.

Di Dasan Makmur, dua tahun berlalu sejak proyek selesai. Kebun bibit jati dan mahoni masih berkembang. Sampai kapan?

Post Date : 14 September 2006