Ambisi RI Mengurangi Emisi

Sumber:Majalah Gatra - 30 Desember 2009
Kategori:Climate

Indonesia menyatakan kesediaannya secara sukarela mengurangi emisi karbon sampai 26% pada 2020. Berbagai program telah dirancang untuk mengurangi emisi, antara lain dengan menyelamatkan hutan dan laut. Akankah kepentingan rakyat kecil terabaikan?

Ketika negara besar masih mikir-mikir, di Copenhagen, Indonesia tegas menyampaikan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Secara sukarela, Indonesia akan mengurangi emisinya 26% pada 2020. Di depan peserta sidang COP-15 itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan menyatakan, target sebesar itu bisa meningkat hingga mencapai 41% dengan bantuan negara maju. "Kami memang tidak diwajibkan mengurangi emisi, tetapi kami sukarela melakukannya karena kami ingin menjadi bagian dari solusi global," ujar Presiden SBY.

Langkah Indonesia itu, kata SBY, adalah dengan menjaga kelestarian hutan. Karena itu, skema reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD) menjadi bagian penting bagi Indonesia. SBY juga menyatakan, sokongan dana asing akan sangat membantu Indonesia dalam upaya mencegah illegal logging dan kebakaran hutan. "Tanpa bantuan tepat, maka tidak akan terjadi pengelolaan hutan itu," katanya.

Pemerintah RI menyatakan siap melaksanakan berbagai program dalam rangka pengurangan emisi lewat pelestarian hutan. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, skema REDD akan dijalankan pada 2012. Namun, sebelum itu, Indonesia harus sudah siap melaksanakan program pengelolaan hutan untuk mencegah deforestasi.

Departemen Kehutanan, menurut Zulkifli, menyiapkan tiga program pengelolaan hutan. Pertama, merehabilitasi hutan kritis lewat kerja sama dengan masyarakat setempat. Targetnya, setiap tahun ada 500.000 hektare lahan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Jawa yang direhabilitasi. "Biayanya akan diambilkan dari APBN," kata Zulkfili kepada Gatra. Diperkirakan, alokasi dana untuk program itu mencapai Rp 2,5 trilyun-Rp 3 trilyun per tahun.

Program kedua adalah merestorasi wilayah bekas hak pengusahaan hutan (HPH) yang rusak. Untuk program ini, dana yang dibutuhkan dipekirakan mencapai Rp 3 trilyun untuk merestorasi 500.000 hektare hutan per tahun. Zulkifli berharap, untuk program ini, ada bantuan dari luar negeri atau swasta nasional.

Sedangkan program ketiga adalah pengembangan hutan tanaman industri (HTI). Diperkirakan, dana yang dibutuhkan untuk program ini mencapai Rp 7,2 trilyun. Proyek ini hanya akan menyentuh lahan yang kritis, yang luasnya mencapai 300.000 hektare per tahun, untuk ditanami pohon bagi kebutuhan industri. "Pendanaannya diusahakan dari investasi swasta murni, baik lokal maupun internasional," tuturnya.

Sejauh ini, kata Zulkifli, pihaknya telah melakukan kerja sama dengan berbagai pihak. Antara lain dengan Pemerintah Inggris, yang memberikan bantuan untuk merestorasi kawasan hutan di Jambi. Ada juga Yayasan BOS yang membantu merestorasi lahan gambut di Kalimantan Tengah (Kalteng). Untuk Jambi, Pemerintah Inggris mengucurkan bantuan US$ 40 juta, sedangkan BOS mengucurkan US$ 30 juta di Kalteng. Sementara itu, dari Pemerintah Norwegia, Departemen Kehutanan mendapat komitmen bantuan US$ 34 juta.

Selain lewat REDD, Indonesia juga berinisiatif mengurangi emisi dengan menjaga kawasan laut sebagai tempat penyerapan karbon lewat program Coral Triangle Initiative (CTI). Program ini adalah program kerja sama antara Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Solomon. Enam negara itu sepakat untuk menjaga kawasan segitiga karang yang melewati wilayah negara-negara tersebut.

Kesepakatan itu dibuat pada awal November lalu, ketika para menteri kelautan dari enam negara tersebut mengadakan pertemuan di Solomon. Hasilnya, Indonesia ditunjuk menjadi ketua CTI dan Manado ditunjuk sebagai sekretariatnya. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, mengatakan bahwa CTI menjadi mandat acara World Ocean Conference (WOC) di Manado, beberapa waktu lalu, untuk dibicarakan di forum COP-15.

Dalam rangka itulah, pada 14 Desember lalu dihelat acara Ocean Day di Copenhagen yang dihadiri beberapa negara, seperti Inggris, Monako, dan tuan rumah, Denmark. Fadel mengatakan, ke depan CTI akan menjadi bagian tak terpisahkan dari pembicaraan menyangkut perubahan iklim. Untuk itu, dia berupaya agar negara-negara di dunia sepakat untuk membantu menjaga karang di wilayah CTI.

Masalahnya, banyak pihak khawatir, skema REDD dan CTI hanya menjadi alat dagang ketimbang aksi menyelamatkan lingkungan. Bernardinus Steny, aktivis dari Civil Society Forum on Climate Justice, mengatakan bahwa ada kecenderungan skema REDD meminggirkan masyarakat adat. Indikasinya, teks REDD yang beredar di COP-15 hanya mencantumkan masalah safeguard dalam pembukaannya.

Klausul safeguard menyatakan tentang pengakuan hak masyarakat adat dan keterlibatan mereka secara penuh dalam proses REDD. Safeguard juga disebut untuk melindungi konversi hutan alam. Klausul itu memang telah melibatkan peran masyarakat adat, tapi hal itu tidak diatur dalam bagian implementasi. "Tanpa pencantuman keduanya dalam implementasi menunjukkan, keberadaan safeguard berbasis hak dan pengamanan hutan alam sangatlah lemah," kata Steny.

Lagi pula, klausul safeguard itu hanya bersifat imbauan (to promote) bagi pihak-pihak yang mengerjakan REDD. Alhasil, usulan itu tidak memiliki konsekuensi kewajiban apa pun. Bentuk norma seperti ini bukan imperatif, melainkan delegatif, sehingga kewenangan untuk menjalankan safeguard bergantung pada pihak yang akan mengerjakan REDD.

Keraguan yang sama muncul terhadap CTI. Para aktivis merujuk pada naskah kesepakatan para pihak Protokol Kyoto yang tidak mencantumkan keselamatan nelayan tradisional sebagai prioritas, bahkan dihilangkan dari teks. "Pertemuan itu justru membuat laut jadi ajang perdagangan karbon," kata Abdul Halim dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan.

Menurut Halim, inisiatif CTI itu mendapat penolakan dari nelayan dan kelompok masyarakat sipil. Proyek ini dikhawatirkan menyingkirkan nelayan tradisional dalam mencari nafkah di laut. Padahal, mandat CTI bukan hanya terfokus pada penyelamatan, melainkan juga mengurangi tingkat kemiskinan, khususnya di wilayah pesisir. "Bagaimana kemiskinan dientaskan, sementara sektor swasta diberi akses seluas-luasnya dan masyarakat digusur?" ujar Halim.

Kekhawatiran akan tersingkirnya kepentingan rakyat kecil itu ditepis pihak pemerintah. Zulkifli Hasan mengatakan, kesejahteraan rakyat tetaplah prioritas utama program ini. "Kesejahteraan rakyat justru menjadi perhatian utama. Kalau tidak, nanti mereka malah menebang pohon lagi," katanya.

Pemerintah, masih kata Zulkifli, akan menyediakan 500.000 hektare lahan untuk dikelola rakyat secara berkelanjutan. Nantinya rakyat mendapat bantuan Rp 6 juta untuk menanami 3 hektare lahan dengan pohon yang bermanfaat. "Rakyat di sekitar hutan harus sejahtera," ia menambahkan.

Hal yang sama dikemukakan Fadel Muhammad. Menurut dia, kebijakan CTI itu justru merupakan upaya penyejahteraan rakyat. "Kami akan berupaya supaya nelayan setidaknya bisa berpendapatan minimal Rp 1,5 juta sebulan," katanya. Karena itu, lewat program Minapolitan yang menjadi bagian dari CTI, Fadel berjanji akan membangun sentra-sentra perikanan. "Akan kami kembangkan di satu wilayah ikan yang memang menjadi unggulan di situ," tuturnya.

Fadel pun menyatakan telah menentukan 56 daerah dan 100 lokasi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa wilayah di kawasan timur sebagai sentra ikan. Nanti akan dikembangkan berbagai jenis ikan unggulan daerah, seperti ikan mas, patin, dan kerapu. "Jadi, ini bukan proyek mengavling-ngavling laut. Kekhawatiran itu muncul karena memang masyarakat belum mengerti," kata Fadel.

Dua Negara Kunci Pengurangan Emisi

Urusan emisi gas rumah kaca sesungguhnya adalah masalah keengganan negara-negara besar untuk berbuat. Amerika Serikat, misalnya, hanya menargetkan pengurangan emisi 17% pada 2020. Cina juga enggan diikat dalam koridor "wajib" soal penurunan emisi. Beijing berpendirian bahwa mandat protokol tidak bersifat wajib, melainkan hanya sukarela. Cina berdalih bahwa tingkat emisi gas rumah kaca per kapita mereka masih terhitung rendah.

Dengan penduduk 1,3 milyar jiwa, Cina menjadi salah satu negara dengan perkembangan industri paling cepat, dengan pengeluaran gas rumah kaca paling besar pula. Pada kubu lain, negara-negara berkembang menolak audit atas bantuan pendanaan global untuk mengurangi gas rumah kaca dari negara-negara maju. Di tengah deadlock, menjelang akhir koferensi, sejumlah negara besar mengambil inisiatif untuk melakukan kompromi.

Barack Obama menyatakan, Amerika Serikat, Cina, Brasil, India, dan Afrika Selatan setuju untuk mengurangi target batas pemanasan tidak lebih dari 2 derajat celsius. "Kami percaya bahwa kami bergerak ke arah kesepakatan yang berarti," kata Obama, seperti dikutip BBC."Pertemuan ini telah mendapatkan hasil positif. Setiap orang bisa gembira," ujar Xie Zhenhua, kepala delegasi Cina di Koferensi Perubahan Iklim Global.

Lima negara itu sepakat untuk mengeluarkan bantuan US$ 30 milyar bagi negara berkembang selama tiga tahun ke depan. Mereka juga berjanji menyediakan US$ 100 milyar setiap tahun pada 2020 untuk membantu negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim.

Namun kekecewaan masih melanda banyak negara berkembang. "Pada hari ini telah terjadi pelanggaran kasar yang melawan kemiskinan, melawan tradisi atas transparansi dan partisipasi kesamaan hak atas semua bangsa, dan melawan akal sehat," kata Lumumba Stanislaus Di-Aping, mengatasnamakan forum negara G77-Cina.

Kekecewaan pun muncul dari Presiden Komisi Uni Eropa, Jose Manuel Barroso. "Saya tidak dapat menyembunyikan kekecewaan saya atas tidak adanya ikatan alamiah dari kesepakatan di sini," katanya. Ia juga menyatakan, dokumen kesepakatan itu jauh dari harapan banyak pihak.

Menurut Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy, teks yang dibuat memang tidak sempurna. "Namun tetap lebih baik daripada tidak ada kesepakatan sama sekali, karena dua negara penting seperti India dan Cina akan bebas dari segala jenis kontrak," ujarnya.

Bagaimana sebenarnya sumbangan negara-negara besar dalam pengurangan CO2, terutama Amerika Serikat dan Cina? Seperti apa janji-janji yang mereka umbar dalam pertemuan yang berakhir tanpa target dan ikatan hukum tersebut? Ed Crooks dan Valentina Romei melukiskan skala sumbangan negara-negara besar atas gas rumah kaca dengan menarik di Financial Times, Rabu pekan lalu. Berikut pandangannya.

Penyumbang Emisi


Cina mengalahkan Amerika Serikat sebagai negara yang mengeluarkan emisi terbesar. Pada 2030, emisinya akan mendekati dua kali lipat dari saat ini. Para ilmuwan berharap, pada 2020, pengeluaran CO2 dari Amerika turun dan dari Cina melambat.

Emisi CO2 dalam ton 2007 2030 ramalan Environmental Impact Assessment jika bisnis berjalan wajar

Amerika Serikat 5.880 juta menyumbang 19,9% atas emisi global 6.414 juta menyumbang 15,9% atas emisi global

Kanada 614 juta 731 juta

Meksiko 416 juta 557 juta

Brasil 390 juta 682 juta

Eropa (OECD) 4.405 juta 4.519 juta

Afrika 1.008 juta 1.409 juta

India 1.311 juta 2.115 juta

Rusia 1.729 juta 1.978 juta

Cina 6.319 juta menyumbang 21,4% atas emisi global 11.730 juta menyumbang 29,0% atas emisi global

Korea Selatan 536 juta 680 juta

Jepang 1.227 juta 1.157 juta

Australia dan Selandia Baru 455 juta 530 juta

Total Dunia 2007 2030 Sebagian dunia 5.223 juta 7.883 juta Total dunia 29.513 juta 40.385 juta

Perbandingan Amerika Serikat dengan Cina

Cina dan Amerika Serikat memiliki rencana membatasi emisi mereka. Selama ini, Amerika menikmati gaya hidup yang lapar akan energi, dan mereka tidak ingin melepaskannya begitu saja. Sedangkan Cina menegaskan, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, telah mengeluarkan produksi barang-barang kebutuhannya di luar negeri. Dengan mengimpor barang dari negara lain, emisi CO2 Amerika dan negara Barat lainnya bisa berkurang secara signifikan. Meskipun demikian, Cina memiliki kemampuan untuk mengurangi emisi dengan efisiensi industri, misalnya industri baja dan energi listrik, seperti di Amerika.

Janji Amerika Serikat

Mengurangi gas rumah kaca hingga 17% dengan patokan level tahun 2005 pada 2020

2005 7,1 milyar ton CO2 ekuivalen dengan seluruh gas rumah kaca 2020 5,9 milyar ton CO2 ekuivalen dengan seluruh gas rumah kaca

Janji Cina

Pengurangan emisi secara intensif (emisi gas rumah kaca per unit dari produk domestik bruto --GDP) hingga 40%-50% pada 2020, dibandingkan dengan levelnya pada 2005

2005 7,3 milyar ton CO2 ekuivalen dengan seluruh gas rumah kaca 2020 14,2 milyar ton CO2 ekuivalen dengan seluruh gas rumah kaca

Mobil penumpang setiap 1.000 orang 2005 Amerika Serikat 461 Cina 15

Sumbangan emisi CO2 dari transportasi jalan raya 2007 Amerika Serikat 31,6% Cina 5,7%

Penerbangan sipil domestik dan internasional (km per penumpang) 2004 Amerika Serikat 1.160 milyar Cina 176 milyar

Sumbangan emisi CO2 dari penerbangan domestik 2007 Amerika Serikat 57% Cina 8,5%

Perkiraan emisi yang dihasilkan industri barang dagang 2007 (ton CO2)

Emisi Amerika Serikat diciptakan oleh perusahaan barang yang diimpor dari Cina: 39 juta Emisi Cina yang dihasilkan perusahaan barang yang diekspor ke Amerika Serikat: 1,4 milyar

Intensitas emisi CO2 dalam produksi besi dan baja 2007 (ton CO2 ekuivalen dengan per ton yang dikeluarkan) Amerika Serikat 0,96 Cina 2,51

Sumbangan emisi CO2 dari sektor besi dan baja 2007 Amerika Serikat 2,5% Cina 54,2%

Emisi CO2 per kWh dari pengeluaran listrik dan pemanas 2007 (gram CO2 per kWh)

Amerika Serikat 549 Cina 758

Perubahan Radikal yang Diminta

Masa depan yang lebih bersih Para ahli memberi opsi alternatif kepada Cina dan Amerika Serikat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Keduanya harus mengurangi penggunaan listrik tenaga batu bara dan memperbesar pemakaian energi yang bisa diperbarui. Orang-orang harus diminta mengurangi penggunaan energi.

Penggerak energi listrik negara batu bara (dalam %) Amerika Serikat Cina 49% 81% 46% 23% 50% 75%

Pembangkit listrik dari energi terbarukan 9% 15% 26% 18% 16% 33%

Permintaan energi per kapita (ton ekuivalen dengan minyak) 7,6 1,5 6,5 5,7 2,0 2,6

Keterangan Amerika Serikat 2007 baris teratas di setiap lajur Cina

Amerika Serikat 2030 ramalan IEA jika bisnis berjalan wajar Cina

Amerika Serikat 2030 ramalan IEA jika emisi dibatasi Cina

Sumber: Energi Information Administration; IEA/0ECD; UN; IMF; World Bank; Yungfeng Y dan Laike Y, CO2 Emissions Embodied in China-US Trade; Chinese Journal of Population, Resources and Environment (2009, vol. 3)

G.A. Guritno & M. Agung Riyadi (Copenhagen)



Post Date : 30 Desember 2009