Andai Kita Semua Bisa "Menang"

Sumber:Kompas - 02 April 2008
Kategori:Climate

Dunia belum lelah mencari jalan keluar dari persoalan pemanasan global. Apalagi setelah Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Nusa Dua, Provinsi Bali, Desember lalu, tak menghasilkan keputusan yang menyentuh langsung pada angka pengurangan emisi karbondioksida (CO2).

Selama sepekan ini, sekitar 190 negara melanjutkan pencarian akan strategi baru untuk mengatasi pemanasan global. Jika bom ini ”meledak”, bisa jadi ratusan juta manusia tak akan selamat.

Penanganan pemanasan global telah menjadi persoalan yang paling menyita energi dan sulit terpecahkan karena bentangan disparitas kepentingan ekonomi telah menjadi begitu lebar sejak era industri bangkit. Disparitas itu berujud kaya-miskin, Utara-Selatan, negara maju-negara berkembang.

Salah satu poin penting yang tercantum di dalam Protokol Kyoto adalah menekan emisi CO2.

Sejumlah negara maju berkewajiban menurunkan emisinya dengan teknologi atau dengan karbon off set-membayar pihak lain agar mengurangi emisi demi kepentingan negara maju tersebut. Selain itu juga diperkenalkan skema mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM).

Sementara itu, karena warga miskin masih merupakan struktur terbesar penduduknya, maka negara berkembang tidak dikenai kewajiban mengurangi emisi. Untuk mengurangi emisinya, negara berkembang membutuhkan transfer teknologi dan bantuan pembiayaan dari negara maju.

Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007, tak berhasil memutuskan ”deep cuts”—pengurangan emisi dalam presentase tinggi. Negara besar tidak mau rugi dan merasa ditekan karena harus menanggung ”dosa bersama” secara sendirian.

Meski berbeda tempat berpijak, kedua pihak bersepakat di Bali, bahwa kebutuhan strategi baru guna menghambat laju pemanasan global, meneruskan Protokol Kyoto yang tahap pertama pelaksanaannya akan berakhir 2012 sudah amat mendesak. Semua sepakat.

Akan tetapi, melihat sejarah negosiasi selama ini, patut diragukan, apakah para ahli negosiasi itu benar-benar menyadari dan menghayati, sebenarnya dalam persoalan pemanasan global ini seberapa besar ”pertaruhannya”?

Para negosiator dan politisi mestinya menyadari bahwa ratusan juta jiwa manusia nasibnya tergantung pada perundingan yang mereka lakukan ini.

Bencana Jurrasic

Mereka juga mestinya sadar, bahwa ketika proses pemanasan global tidak lagi bisa tertahan, maka yang terjadi adalah bencana maha dahsyat.

Dalam sebuah tayangan jaringan televisi National Geographic Channel disebutkan, jika hal itu terjadi, maka akan terjadi bencana berskala sama luar biasanya dengan bencana bumi yang memusnahkan warga Jurassic, ketika dinosaurus dan kerabatnya punah. Sekitar separuh keanekaragaman hayati terancam kelangsungan hidupnya.

Dalam Analysis Report ke-4 yang disajikan Intergovernmental Panel tentang Perubahan Iklim (IPCC)-berdasarkan lebih dari 29.000 seri data pengamatan dari seluruh dunia disebutkan beberapa skenario pengurangan emisi agar tercapai kestabilan emisi sekitar 450 part per million (ppm)-550 ppm karbondioksida (CO2)-diperkirakan suhu rata-rata naik sekitar 2,8°C-4°C dari suhu di era pra industri.

Dalam perhitungan itu, kelompok negara maju perlu mengurangi emisi sekitar 10 persen-40 persen di bawah emisi tahun 1990 pada 2020, dan terus melakukan hingga 2050 sampai tahap 40 persen-95 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990. Itulah ”deep cuts”. Lalu siapa berani?

Ketua lembaga non-pemerintah World Growth Alan Oxley mengatakan, terkait ”deep cuts”, ”Pemerintahan Asia tidak akan melakukan strategi itu karena akan meningkatkan dan bukan mengurangi kemiskinan.” Sebaliknya, pejabat Inggris Sir Nicholas Stern menyatakan, biaya ”deep cuts” di negara-negara berkembang tidak besar.

Pendapat lain menyebutkan, ”deep cuts” akan membawa bencana baru. Profesor William Nordhause dari Yale University menyatakan, yang cocok untuk menangkal ancaman pemanasan global adalah pengurangan bertahap emisi dalam periode yang panjang.

Dengan cara ini negara miskin tetap bisa meningkatkan perekonomian sehingga bisa membiayai mitigasi dan adaptasi. Proses negosiasi pun semakin tampak kompleks.

Yvo de Boer, Ketua Perubahan Iklim PBB, menyebutkan, dalam proses negosiasi ini akan ada yang menang dan yang kalah. Dan, jika kita salah bertindak, maka kita semua kalah. De Boer tidak mengada-ada.

Apabila wajah kemanusiaan dalam proses itu menjadi kabur, tertutup keinginan meraih kesejahteraan bagi diri sendiri, jelas sudah kita semua kalah. Kita kalah karena kita lupa bahwa wajah kita sebenarnya dapat kita temukan di wajah manusia lain. BRIGITTA ISWORO L



Post Date : 02 April 2008