Antara Kabut Asap dan Banjir

Sumber:Kompas - 19 Januari 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
SUNGGUH malang nasib Pulau Kalimantan. Beragam bencana akibat ulah manusia datang silih berganti. Di saat musim kemarau, sebagian wilayah Pulau Kalimantan diselimuti kabut asap tebal akibat pembakaran lahan serta hutan yang kemudian mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.

Di musim hujan seperti sekarang, datang bencana banjir yang merendam beberapa wilayah di Pulau Kalimantan. Bukan cuma merendam rumah dan jalan, tetapi juga sawah, sekolah, perkantoran, bahkan pasar tradisional sehingga sangat mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat.

Bencana seperti ini selalu terulang setiap tahun. Kerugian sosial dan ekonomi yang tak terhitung jumlahnya selalu dialami masyarakat. Ironisnya, masyarakat tak pernah jera. Pembabatan hutan yang tak terkendali terus berlangsung hingga kini. Penambangan emas liar di sepanjang sungai terus berlangsung tanpa henti. Tidak heran jika kemudian bencana banjir pun datang serempak.

Di Provinsi Kalimantan Barat, misalnya, dari 12 kota dan kabupaten yang ada, sebanyak 10 kota dan kabupaten di antaranya terendam banjir. Wilayah yang terendam banjir ini antara lain Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau, Sanggau, Landak, Bengkayang, Pontianak, Sambas, dan kota Singkawang.

Memang tidak semua wilayah terendam banjir. Namun, satu atau dua kecamatan yang terendam banjir saja sudah sangat menguras tenaga dan pikiran aparat serta menyengsarakan masyarakat. Apalagi jika banjir tersebut menghancurkan infrastruktur yang susah payah dibangun dengan uang rakyat.

Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, misalnya, tujuh jembatan yang terbuat dari kayu dan beton ambruk diterjang banjir sehingga mengisolasi sejumlah permukiman penduduk. Selain itu, air juga menggenangi ribuan rumah dan merendam sekitar 5.300 hektar sawah yang siap panen.

ENTAH pasrah atau putus asa, penduduk akhirnya menganggap banjir sebagai peristiwa biasa yang sudah semestinya terjadi. Tidak ada kepanikan masyarakat, apalagi kekhawatiran pejabat akan datangnya bahaya banjir.

Desa Pasir di Kabupaten Pontianak, misalnya, hampir setiap tahun selalu dilanda banjir akibat meluapnya Sungai Mempawah. Keluhan dan jeritan masyarakat juga sudah sering disampaikan ke berbagai instansi pemerintah, tetapi hingga saat ini tak ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi banjir.

"Akhirnya kami pasrah karena tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk mengatasi banjir," kata Kepala Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak, M Sood M Saleh.

Penduduk desa lainnya memiliki sikap yang hampir sama. Mereka tidak bisa mengharapkan pemerintah untuk mengatasi banjir. Sebaliknya, pejabat pemerintah juga menganggap banjir sebagai bencana biasa. Tidak ada antisipasi apa pun untuk menghadapi datangnya banjir. Bahkan, ketika banjir sudah melanda sejumlah kabupaten di Kalimantan Barat, Pemerintah Provinsi Kalbar hingga saat ini belum membentuk posko penanggulangan bencana. "Masyarakat sudah menganggap banjir sebagai peristiwa biasa," dalih Gubernur Kalimantan Barat Usman Jafar.

Meski demikian, Usman menyatakan, Dinas Sosial sudah menyiapkan sekitar 100 ton beras jika penduduk korban banjir membutuhkannya. Kini sebagian korban banjir pun sudah mendapat bantuan tersebut.

Sayangnya, hingga saat ini tidak disosialisasikan secara luas, daerah mana saja yang rawan bencana banjir, ke mana penduduk harus menyelamatkan diri jika datang bencana banjir, serta apa yang harus dilakukan masyarakat dan aparat pemerintah di tingkat desa atau kelurahan jika terjadi bencana banjir.

Tidak dipublikasikan pula, berapa perahu karet yang sudah disiapkan untuk mengatasi datangnya banjir, jumlah tenda untuk pengungsian, kompor, alat-alat masak, dan selimut jika terjadi bencana banjir serta fasilitas lainnya untuk mengatasi keadaan darurat.

Langkah ini perlu karena Kalimantan Barat yang luasnya 146.807 kilometer persegi atau 1,3 kali luas Pulau Jawa itu termasuk salah satu provinsi yang paling rawan bencana banjir. Selain topografisnya yang landai di sisi barat, terutama yang berbatasan langsung dengan Selat Karimata, di Kalimantan Barat juga melintas sekitar 20 sungai besar.

Berbeda dengan sungai-sungai di Jawa, kondisi sungai di Kalimantan Barat umumnya panjang dan bagian hilirnya relatif landai sehingga saat curah hujan tinggi dan bersamaan dengan datangnya pasang air laut mudah sekali terjadi banjir.

Apalagi daerah tergenang di daerah ini tahun 1996 terdata ada sekitar 2,8 juta hektar. Kondisi ini terus berubah karena kondisi alam khas Kalbar, yakni sebagian kabupaten dilintasi sungai dan penduduk bermukim di sekitar sungai yang lingkungannya sudah rusak akibat penebangan hutan.

Darmawan Liswanto dari Konsorsium Anti Illegal Logging Kalbar mengatakan, sungguh keliru kalau Gubernur Kalbar Usman Jafar selalu melihat banjir di Kalbar sudah menjadi hal yang biasa. Itu banjir langganan. Cara pandang yang demikian tentu sangat berdampak bagi Kalbar karena banjir yang terjadi setiap tahun justru tidak pernah terelakkan, melainkan terus meluas dan kondisinya semakin parah.

Dengan cara pandang yang demikian, kata Darmawan, manajemen bencana ini juga menjadi buruk sama seperti melihat bencana kebakaran hutan dan lahan serta serbuan kabut asap yang selalu terjadi setiap tahun. (M SYAIFULLAH)

Post Date : 19 Januari 2005