Antisipasi Belum Memuaskan

Sumber:Kompas - 04 November 2010
Kategori:Banjir di Jakarta

Banjir yang kerap melanda Ibu Kota akhir-akhir ini membuat roda kehidupan sempat lumpuh. Genangan air dan kemacetan membuat banyak warga frustrasi. Ungkapan kejengkelan yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun banyak bermunculan, terutama di situs jejaring sosial.

Meskipun pemerintah provinsi berkali-kali mengungkapkan upayanya mengatasi banjir, tetap saja publik belum puas. Hasil jajak pendapat Kompas akhir Oktober lalu menunjukkan, tingkat ketidakpuasan responden terhadap penanganan banjir masih tinggi.

Upaya Pemprov DKI Jakarta menangani banjir masih dinilai negatif oleh mayoritas responden. Upaya seperti penyediaan dan pemeliharaan drainase, rehabilitasi wilayah yang terkena banjir, serta penertiban bantaran sungai dinilai buruk. Lebih dari 80-an persen responden mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap upaya tersebut.

Infrastruktur yang memadai dan pemeliharaannya memang tugas berat. Namun, upaya rehabilitasi terhadap kawasan yang terkena dampak banjir juga dibutuhkan sesegera mungkin untuk meredam kekecewaan warga. Sayangnya, itikad itu tidak terlihat. Ini memancing ketidakpuasan 83,9 persen responden.

Meskipun di sejumlah media Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengungkapkan upaya mengatasi banjir, warga tetap tidak puas. Bahkan, alasan yang dikemukakan gubernur bersikukuh telah bekerja dengan baik dan kejadian itu lebih disebabkan faktor curah hujan yang tinggi justru menuai respons negatif. Sekitar 60,8 persen responden menilai Fauzi belum menunjukkan empati terhadap kekacauan dan kerepotan warga.

Penanganan banjir

Warga Ibu Kota memang menjadi akrab dengan banjir. Namun, yang mengecewakan langkah penanganannya lambat dan setengah-setengah.

Jakarta memang sudah punya Kanal Barat yang dibangun tahun 1922, memotong Ibu Kota dari Pintu Air Manggarai dan bermuara di kawasan Muara Angke. Jakarta juga sudah punya Kanal Timur, yang terkonsep sejak dalam Master Plan 1973 zaman Ali Sadikin, baru dibangun akhir tahun 2007 dan tembus ke laut pada akhir tahun 2009. Namun, Kanal Timur baru mengurangi banjir di sebagian wilayah.

Artinya, ancaman banjir atau genangan rutin ke depannya tak akan surut. Apalagi, warga Ibu Kota juga menghadapi fakta penurunan muka tanah yang signifikan dari tahun ke tahun. Data dari Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta yang memantau 38 lokasi menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir (periode 2000-2010) terjadi penurunan muka tanah rata-rata 47,85 sentimeter.

Pertambahan populasi, intensitas pembangunan kota, perilaku masyarakat, dan faktor perubahan iklim juga ikut membebani Jakarta.

Kini, ketika cuaca ekstrem yang ditandai dengan tiadanya musim kemarau sedang melanda, banjir pun jadi langganan di Jakarta. Ketika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan ramalan tahun ini terjadi penyimpangan cuaca, seharusnya Pemprov DKI Jakarta menyiapkan langkah antisipasi banjir.

Sementara masyarakat, berbekal pengalamannya melakukan antisipasi sekadarnya. Dari yang sekadar membuat tanggul di sekeliling rumah hingga pencegahan secara tidak langsung seperti membuat lubang biopori di sekitar rumah.

Lalu apa sikap warga terhadap ketidakpuasannya atas kinerja Pemprov DKI Jakarta? Mayoritas warga ternyata masih pasif. Hanya sekitar 18 persen responden yang akan ambil peran aktif menggugat pemerintah secara hukum karena dianggap tidak kompeten mengelola kota.

Sebanyak 53,2 persen responden menyatakan kepasrahannya dan berdiam diri. Porsi lebih kecil menyatakan menumpahkan kekesalannya dengan memaki, termasuk di akun jejaring sosial (26,3 persen).

Perlukah menggugat pemerintah terkait masalah banjir ini? Sikap responden terhadap pertanyaan ini masih terbelah. Sebagian warga Jakarta mengaku perlu menggugat secara berkelompok (class action) untuk menuntut pertanggungjawaban Pemprov DKI atas kerugian akibat banjir dan kemacetan (48,4 persen). Tetapi, persentase yang sama menyatakan sebaliknya, yaitu tidak perlu.

Banyak alasan yang bisa dikemukakan soal perlu atau tidak mengajukan gugatan kepada pemerintah. Kalangan yang menyatakan tidak perlu agaknya melihat bahwa tanggung jawab mengantisipasi dan mengatasi banjir bukan semata di pundak pemerintah, melainkan juga tanggung jawab warga.

Di samping upaya Pemprov Jakarta dianggap tidak memadai dalam menambah area resapan air, ruang terbuka hijau, dan menertibkan bangunan liar yang mengokupasi bantaran kali, responden memandang warga DKI Jakarta juga kurang peduli dalam menjaga lingkungannya dari ancaman banjir.(Gianie/Litbang Kompas)



Post Date : 04 November 2010