Antisipasi Kekeringan dengan Air Akuifer

Sumber:Kompas - 22 Juli 2009
Kategori:Air Minum

Air tawar menjadi sumber daya yang mulai langka di banyak daerah di Indonesia, terutama saat musim kemarau panjang. Menghadapi musim yang tidak bersahabat itu, penggalian air tanah dalam di lapisan akuifer perlu dilakukan di beberapa daerah krisis.

Masyarakat di daerah yang secara geografis dan topografis menghadapi kelangkaan air tawar pada musim kemarau mulai khawatir dengan keluarnya prediksi musim yang menyebutkan intensitas curah hujan akan di bawah normal dan berpotensi terjadi kekeringan sepanjang musim kemarau tahun ini, akibat anomali cuaca.

Ini berarti, sumber air tanah permukaan akan terancam habis akibat penguapan sepanjang musim kemarau dan tidak akan terjadi pengisian oleh air hujan. Kondisi ini tentu akan paling berat memukul sektor pertanian yang memerlukan kecukupan air untuk pertumbuhannya.

Air tanah dalam

Upaya yang dilakukan dalam menghadapi kesulitan air di daerah yang tergolong kering adalah memompa sumur air tanah dalam. Namun, untuk mencarinya bukan hal yang mudah.

Untuk mencari sumber air tanah dalam dibutuhkan sentuhan teknologi modern.

Salah satu yang disodorkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) adalah dengan pendeteksian gas radon.

Gas radon secara alami akan keluar lewat celah bebatuan. Dengan detektor radon di permukaan tanah, gas radon itu akan terlacak. Adanya gas radon mengindikasikan adanya celah bebatuan yang memungkinkan dilakukan pengeboran, tutur Kepala Pusat Bahan Galian Nuklir Batan Johan Barata.

Langkah berikutnya adalah menerapkan teknik geolistrik untuk menentukan kedalaman akuifer atau lapisan yang menampung air. Dalam hal ini, arus listrik dialirkan ke dalam bumi.

Pola arus listrik akan melewati tiap-tiap lapisan di bawah tanah ini yang tampak pada grafik pada layar monitor dapat mengindikasikan lokasi kedalaman lapisan akuifer dan potensi air di dalamnya.

Alat geolistrik ini dapat mendeteksi sumber air hingga kedalaman 450 meter. Namun, pemompaan air pada sumber sedalam itu dengan pompa yang ada saat ini tidak ekonomis, ujar Johan. Dengan pompa pendam di lubang bor (submersible) maksimum kedalaman air yang dapat diangkat, 250 meter.

Pencarian sumber air tanah dalam dengan teknik deteksi radon telah diterapkan paling awal tahun 2000 ketika Batan memulai program Iptek Daerah di Madura, antara lain di Sumenep dan Bangkalan, hingga menemukan delapan titik sumber air tanah dalam.

Hingga kini Batan telah menemukan sumber air di Jepara (4 titik), Magelang (1 titik), Mataram (1 titik), dan Kupang (1 titik).

Pada lokasi yang terdeteksi ada air tanah dalam, setelah dilakukan pengeboran, paling minim menghasilkan air 1,5 liter per detik dan maksimal 10 liter per detik, urai Johan. Di antara yang ditemukan, sumur di Jepara tergolong sumur artesis atau air tanah yang tertahan sehingga tidak memerlukan pengeboran.

Program pemberdayaan

Pengelolaan sumber air tanah dalam di daerah tersebut, lanjut Johan, dikelola oleh perusahaan daerah, tetapi ada beberapa daerah yang melibatkan masyarakat dalam pembelian bahan bakar secara kolektif untuk mengoperasikan generator listrik untuk pemompaan air. Masyarakat kemudian dapat memperoleh air bersih dengan harga yang murah.

Untuk mengatasi masalah, hal itu juga dilakukan lembaga swadaya masyarakat dengan melibatkan pihak swasta melalui program pemberdayaan masyarakat atau tanggung jawab sosial terhadap komunitas (community social responsibility/CSR).

Salah satunya adalah program akses Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) atau Water Access Sanitation Hygiene (WASH) yang dilaksanakan sebuah LSM internasional, Action Contre la Faim (ACF) bekerja sama dengan Aqua Danone untuk menyediakan air bersih bagi penduduk di 10 daerah di 7 provinsi yang diketahui memiliki sumber dan akses air bersih yang minim.

Proyek rintisan WASH dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, oleh ACF tahun 2007, dengan melibatkan pemangku kepentingan kunci di provinsi ini, antara lain Yasmina Pesat, Rekonservasi Bhumi, dan Yayasan Bina Mandiri Indonesia.

”Program pertama selama dua tahun hingga September 2009 mendatang akan menjangkau sekitar 19.000 jiwa pada empat kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan,” ujar Direktur Corporate Communication PT Tirta Investama, perusahaan swasta yang juga terlibat dalam program itu.

Pada tahap pertama, program itu dilaksanakan di Kecamatan Boking dan Amanatun Utara. Pada putaran kedua, yaitu 2009-2011, ditargetkan desa di Kecamatan Toianas dan Noebana di NTT akan terjangkau.

Secara keseluruhan, lebih dari 35.000 jiwa akan mendapatkan manfaat dari program 1 liter air minum untuk 10 liter air bersih (SUS) dalam empat tahun.

Program SUS bertujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat Indonesia dengan cara menyediakan akses air bersih lewat pembangunan sumur, pompa rump, dan pembangunan pipa-pipa.

Peta geologi

Studi perolehan mata air di NTT itu mengandalkan peta geologi. Dalam peningkatan akses ini telah dilakukan rehabilitasi sumur, mata air, dan penggalian sumur baru.

Pengambilan air antara lain dilakukan dengan gravity fed system (GFS) dan ram pumping system (RPS).

Selain peningkatan akses air bersih, juga dilakukan kegiatan lain yang terkait, yaitu penyuluhan manfaat air bersih, kebersihan dan kesehatan, serta pemberdayaan komunitas dengan melibatkan perwakilan masyarakat (yang disebut Komite Air).

Melalui wakil masyarakat juga diajarkan cara merawat infrastruktur yang ada sehingga mereka mengetahui tahapan-tahapan yang harus dilakukan jika air tidak keluar dari salurannya.

Program ini akan mampu meningkatkan kesehatan ribuan keluarga di seluruh negeri ini. Dengan melibatkan masyarakat dan LSM, dibentuk panitia air yang kemudian dilatih untuk merancang fasilitas serta memonitor pengelolaan yang benar untuk jangka panjang.

Proyek ini tidak hanya ditujukan bagi masyarakat di daerah kritis yang terpencil, tetapi juga masyarakat miskin di perkotaan. Upaya rehabilitasi kawasan tangkapan air hujan untuk melestarikan mata air di hulu dilakukan antara lain di Jawa Tengah. Lebih dari 60.000 pohon telah ditanam di sekitar 30 hektar lahan kritis di Gunung Merapi dengan melibatkan 200 petani.

Selain itu, 150 karyawan pabrik air minum mineral itu diminta menanam 100.000 pohon pada tahun 2009 untuk merehabilitasi sekitar 40 hektar lahan hutan melalui model kehutanan agroorganik di Bogor, Jawa Barat.

Selain itu, penghijauan kembali sabuk hijau sepanjang 8 kilometer di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat, pun dilakukan dengan melibatkan pesantren setempat. YUNI IKAWATI



Post Date : 22 Juli 2009