Antisipasi Perubahan Iklim Global

Sumber:Kompas - 14 Desember 2009
Kategori:Climate

Konferensi Global Perubahan Iklim saat ini dihadiri oleh utusan lebih dari 190 negara, penanda tangan Protokol Kyoto, termasuk Indonesia. Sebelumnya isu tentang perubahan iklim menjadi topik utama dalam pertemuan G-20 ataupun APEC yang lalu.

Perubahan iklim menjadi agenda global akhir-akhir ini karena kegiatan manusia semakin banyak menggunakan energi yang terkait dengan bahan bakar yang berasal dari fosil dan alih guna lahan dari hutan menjadi permukiman. Perubahan iklim yang dikhawatirkan sejumlah pihak, terutama yang berasal dari kegiatan manusia (man-made/anthopogenic), bukan karena adanya fenomena alam seperti letusan gunung berapi dan sebagainya.

Masih banyak sejumlah pihak, baik dari kalangan pemerintah, pelaku bisnis dan industri, maupun masyarakat, yang belum menyadari bahwa fenomena degradasi lingkungan hidup telah terjadi seiring dengan intensitas kegiatan manusia di berbagai aspek kehidupan. Pengabaian ecological/environmental truth sebagai fakta bahwa dunia alam semesta tempat kita bermukim akan rusak dan menimbulkan dampak bencana bagi kelangsungan kehidupan di muka bumi ini karena ulah manusia sendiri terus terjadi.

Kegiatan-kegiatan manusia tersebut, yang berakibat meningkatnya efek gas rumah kaca, diakibatkan karena adanya emisi gas-gas CO (karbon dioksida), CH (metana), N0 (nitrogen oksida), PFC (perflourokarbon), HFC (hidroflourokarbon), dan SF (sulfur heksaflorida). Gas-gas tersebut dapat mengakibatkan peningkatan suhu bumi karena bersifat menahan radiasi gelombang panjang yang bersifat panas.

Fakta yang ditunjukkan Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terjadi anomali kenaikan suhu akibat adanya efek rumah kaca pada akhir abad ke-21, ada tren kenaikan 2-4,5 derajat celsius. Bila hal ini dibiarkan saja tanpa ada perubahan perilaku manusia, berbagai bencana besar akan terjadi karena anomali perubahan iklim akan memicu kekacauan pada keberlanjutan industri pangan, pertanian, dan kenaikan air permukaan laut karena mencairnya es di kutub.

Mekanisme pasar

Pendekatan regulasi semata-mata dalam penegakan masalah lingkungan hidup sering kali di dalam praktik tidak sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, dalam Protokol Kyoto—pada saat itu ditandatangani oleh 170 negara, termasuk Indonesia—disepakati adanya mekanisme pasar bagi perdagangan karbon. Hal ini dirasakan perlu karena pendekatan insentif perlu dipromosikan dalam mengurangi dampak terjadinya perubahan iklim dunia.

Mekanisme pasar yang dikreasi adalah sebagaimana terjadi pada perdagangan portofolio investasi dan bursa berjangka di pasar modal. Beda antara pasar modal dan pasar karbon adalah yang pertama adalah transaksi modal dan yang kedua adalah transaksi penghematan karbon (karbon kredit). Operasionalisasi mekanisme pasar karbon di Indonesia saat ini sedang digodok oleh pemerintah (Kementerian Negara Lingkungan Hidup). Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi jumlah emisi karbon melalui mekanisme yang diciptakan bagi perusahaan-perusahaan yang dapat menghemat karbon dalam usahanya.

Perusahaan tersebut memegang hak karbon kredit atas upaya penghematan yang dilakukan melalui efisiensi, metode, dan teknologi dalam memproduksi suatu produk. Karbon kredit yang dihemat tersebut dapat dijual kepada perusahaan-perusahaan yang membutuhkan dengan cara membeli karbon kredit dari perusahaan lain untuk mengompensasi kegiatannya yang melebihi ambang batas emisi yang telah ditentukan. Contohnya adalah di sebuah kawasan yang hutan tropiknya masih dipreservasi dengan baik, kawasan tersebut mempunyai tabungan karbon kredit yang tinggi yang bisa dijadikan modal untuk dijual ke perusahaan-perusahaan di seluruh penjuru dunia yang membutuhkan karbon kredit tersebut.

Dengan adanya nilai ekonomi terhadap preservasi hutan, akan lebih mendorong pemerintah daerah dan masyarakat di sekeliling kawasan hutan tersebut untuk menjaga kelestarian hutannya karena mempunyai manfaat ekonomis langsung yang bisa dirasakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Kegiatan ini dinamakan carbon offsetters.

Pemerintah dan badan dunia PBB (UNFCCC) berperan sebagai regulator, pemberi sertifikasi, melakukan pengukuran dan manajemen basis data bagi perdagangan kredit karbon. Pemerintah pusat dan daerah juga mendapatkan manfaat dari adanya pajak-pajak yang dikenakan karena adanya perdagangan ”jual beli” kredit karbon tersebut. Dalam mekanisme pasar tersebut juga diperkenankan adanya perusahaan-perusahaan jasa yang berperan sebagai broker/intermediator yang menjembatani antara pihak-pihak yang membutuhkan dan pihak-pihak yang mempunyai simpanan/tabungan atau kelebihan kredit karbonnya.

Di Eropa melalui skema European Trading Scheme telah diimplementasikan apa yang dinamakan Clean Development Mechanism untuk mensponsori negara-negara berkembang untuk melakukan kegiatan yang mereduksi efek rumah kaca, sekaligus untuk membeli karbon kredit dari negara-negara berkembang yang aktivitas industrinya relatif lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara industri. Pasar kredit karbon saat ini mulai dibentuk mirip sebagaimana pasar modal misalnya Chicago Climate Exchange, European Climate Change Exchange, Nord Pool, dan Power Next.

Nilai perdagangan saat ini sudah mencapai 30 miliar euro meski baru pada tahap awal. Barclays Capital bahkan mengestimasikan pasar kredit karbon akan menjadi pasar komoditas terbesar dunia melebihi pasar modal saham dan obligasi maupun berjangka.

Karena masih pada tahap awal, mekanisme perumusan kebijakan, sosialisasi, pengukuran, sertifikasi, basis data, dan assessment perlu dilakukan dengan diskusi yang melibatkan semua komponen masyarakat dari kalangan dunia usaha, pemerintah, DPR, perguruan tinggi, media massa, LSM, dan sebagainya.

Vincent Didiek WA Guru Besar Pemasaran Internasional FE dan Pascasarjana Manajemen Unika Soegijapranata, Semarang



Post Date : 14 Desember 2009