AS dan Jepang Ganjal Perundingan Bali

Sumber:Koran Sindo - 11 Desember 2007
Kategori:Climate
NUSA DUA(SINDO) Amerika Serikat (AS) dan Jepang berpotensi mengganjal target Bali Roadmap untuk memotong emisi sebesar 2540% di bawah level tahun 1990 pada 2020. Sikap kedua negara tersebut dapat menjadikan Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) mengalami kebuntuan.

Bali Roadmap diharapkan dapat membuat kesepakatan mengikat untuk menggantikan Protokol Kyoto yang akan berakhir pada 2012. Namun sejumlah negara menolak menurunkan emisi pada 10 hingga 15 tahun ke depan.Mereka juga menolak menurunkan emisi menjadi separuh level tahun 2000 pada 2050. Penentangan itu ditunjukkan AS dan Jepang yang menolak terikat dengan target pemotongan emisi gas di masa depan. Ini ujian untuk mengamati perkembangan pekan ini.

Ini akan menunjukkan apakah pemerintah di berbagai negara serius atau tidak, serta apakah mereka mendukung pemotongan emisi, ungkap Juru Bicara Climate Action Network (CAN) Jennifer Morgan kemarin di Bali International Convention Centre (BICC), Nusa Dua, Bali. Di dalam Protokol Kyoto yang akan berakhir 2012, 36 negara industri harus memotong emisi gas sebesar 5% di bawah level tahun 1990 dalam lima tahun ke depan. Bali Roadmap disusun untuk menggantikan pakta kesepakatan global untuk mengurangi emisi itu.

Sejumlah pakar menegaskan, jika itu tidak dilakukan, bumi akan menghadapi berbagai bencana akibat pemanasan suhu. Desakan juga muncul dari China yang meminta Barat memimpin upaya pemotongan emisi. Beijing menyatakan akan melakukan tindakan serupa sebagai bagian dari upaya menghadapi perubahan iklim. Akibat sikap keras kedua negara tersebut, negosiasi amendemen Protokol Kyoto yang diharapkan selesai pada 2009 dapat tertunda. Saya khawatir terjadi kebuntuan pada 2009, kata David Morgan dari Natural Resources Defense Council.

Di tengah penentangan sejumlah negara, ada perkembangan penting dalam negosiasi UNFCCC di Bali kali ini.Perkembangan baik itu terkait sikap China dan Australia yang semakin mendukung upaya memerangi pemanasan global. China menunjukkan fleksibilitas. Meski tidak ingin terikat, namun China berperan aktif menjabarkan kebijakan lingkungan yang bagus, kata Morgan. Sebaliknya, India tidak terlalu aktif dalam mendukung upaya menghadapi perubahan iklim. Sementara Australia dinilai antusias memecahkan masalah perubahan iklim di masa depan. Sikap Australia itu didasarkan pengalaman buruk saat ini terkait dampak pemanasan global di negaranya.

Kanada Berubah Sikap

Selain AS dan Jepang, ada satu negara lain yang berpotensi mengganjal Bali Roadmap, yaitu Kanada. Namun, pada perkembangan terakhir tadi malam,Menteri Lingkungan Kanada John Baird menegaskan dukungan Kanada terhadap upaya PBB mencapai kesepakatan dalam proses perundingan perubahan iklim global pasca- 2012.Kesepakatan dicapai setelah Baird bertemu Sekretaris UNFCCC Yvo de Boer di Nusa Dua.

Pada hari di saat Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) memenangkan Nobel Perdamaian, saya katakan kepada De Boer bahwa ilmu pengetahuan ini sangat jelas, dunia harus bertindak sekarang dan Kanada siap melakukannya, papar Baird. Menurut Baird, dukungan terhadap proses PBB merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh setiap negara. Kanada mempersiapkan untuk menerima mandat itu, target-target mengikat, dan bekerja dengan PBB dan negara-negara lain untuk mengurangi gas rumah kaca,kata Baird.

Perbedaan di AS Meruncing

Perbedaan sikap antara pemerintah Presiden AS George W Bush dan Senat semakin meruncing. Bush tetap menolak target pemotongan emisi gas rumah kaca pada 2020, meskipun Senat telah mengesahkan Akta Keamanan Iklim Lieberman Wagner. Perbedaan itu semakin meruncing dalam UNFCCC di Nusa Dua. Senat AS mendesak pemerintah memotong emisi gas, namun Gedung Putih tidak ingin kesepakatan UNFCCC di Nusa Dua menyebutkan persentase angka untuk pemotongan gas emisi karbon dioksida. Dalam usulan draf kesepakatan, negara maju harus memotong emisi gas antara 25 dan 40% di bawah level tahun 1990 pada 2020.

Kami tidak ingin menyepakati komitmen dengan angka-angka, kata Harlan Watson, kepala nego- siator AS dalam UNFCCC. Kami ingin teks kesepakatan singkat, seimbang, dan tidak mencantumkan pencapaian target dalam bentuk persentase,tambahnya. Watson menyatakan,Washington menginginkan perundingan 314 Desember ini akan berakhir dengan traktat baru tentang iklim global untuk menggantikan Protokol Kyoto.

Dalam draf final yang diajukan Indonesia, Afrika Selatan, dan Australia, bukti-bukti ilmiah mengharuskan pemotongan emisi gas sebesar 2540% untuk menghindari dampak buruk perubahan iklim. Namun,Watson menyatakan bahwa persentase itu tidak jelas. Banyak ketidakjelasan dalam target reduksi emisi 2540% itu dan hanya sebagian kecil peneliti yang menentukan itu, kata Watson. Sikap beda ditunjukkan Senator John Kerry yang kemarin hadir ke Bali. Dia menegaskan, jika pemerintahan Bush saat ini enggan menyetujui rancangan undangundang pemotongan emisi, pemerintahan yang akan datang diharapkan bersedia mengesahkan. Saya percaya kita dapat mengesahkan rancangan undangundang ini pada pemerintahan mendatang.Kami memiliki ambisi untuk melakukan pemotongan emisi gas antara 6570% pada 2050. Kami telah menuju ke arah sana saat ini, ungkap Kerry.

SBY Imbau AS

Di Nusa Dua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengimbau AS untuk menjadi bagian dari kesepakatan baru pasca-Protokol Kyoto yang akan berakhir 2012.Hal ini diungkapkan Presiden melalui Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal seusai menghadiri pertemuan bilateral antara SBY dengan anggota Senat AS dari Partai Demokrat John Kerry di Hotel Four Seasons,Jimbaran,Bali.

Yang dibahas Presiden perlunya dunia mencapai kesepakatan baru setelah Protokol Kyoto habis 2012 dan Presiden mengimbau agar AS menjadi bagian dari kesepakatan baru itu, ungkap Dino di Hotel Four Seasons, Jimbaran, Bali,kemarin. Dino mengungkapkan, Kerry memiliki pandangan yang sama terhadap masalah ini. Menurut dia, Kerry yakin AS bisa menjadi bagian dari kesepakatan tersebut. Kerry sependapat (dengan imbauan SBY), terang Dino.

Dalam pertemuan ini, Kerry juga menyoroti peran negara berkembang dalam kerangka internasional yang baru nanti. Setelah negara maju menandatangani target pengurangan emisi lebih jauh, negara berkembang bagaimana? Apakah tetap berada di luar atau di dalam? tanyanya. Menanggapi imbauan Presiden mengenai peran serta AS dalam kerangka internasional tentang perubahan iklim nanti, Kerry yakin AS akan menjadi bagian dari kesepakatan tersebut.

Saya kira AS akan menjadi bagian dari itu (kesepakatan pasca-Protokol Kyoto), terang Kerry seusai melakukan pertemuan dengan SBY. Pertemuan SBY dengan Kerry berlangsung sekitar setengah jam. Kerry di dampingi Duta Besar AS untuk Indonesia Cameron Hume. Sepekan ini, Presiden SBY akan berkantor di Bali untuk memantau negosiasi yang terjadi di UNFCCC. Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer mengakui pengurangan emisi 2540% masih menjadi isu kritis dalam konferensi ini. Jumlah itu harus disepakati untuk menunjukkan seberapa komitmen kita untuk mengurangi pemanasan global, kata De Boer. (syarifudin/maya sofia/miftachul chusna/titis widyatmoko)



Post Date : 11 Desember 2007