Atasi banjir Dengan Pendekatan Bioregion

Sumber:Kompas - 09 Januari 2004
Kategori:Drainase
TATA ruang Provinsi Jambi, yang kini terus dipersiapkan, seyogianya terkait dan sangat memperhatikan perubahan perilaku Sungai Batanghari guna mengurangi bencana alam banjir yang terjadi setiap tahun. Artinya, pendekatan tata ruang wajib memperhatikan prinsip ekologi dan kelestarian alam.

Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari tetap dibiarkan berupa hutan, begitu pula kawasan perbukitan. Hanya untuk daerah dataran yang bisa dijadikan areal perkebunan kelapa sawit dan sebagainya.

Bentuk perubahan perilaku sungai itu adalah saat masuk musim kemarau, air dengan cepat surut sehingga DAS Batanghari kering. Sebaliknya, saat memasuki musim hujan, air dengan cepat naik sehingga DAS terendam. Air sungai berwarna kuning kecoklatan, sebagai tanda banyaknya tanah (humus), lumpur, pasir, dan material lain yang terbawa bersama air hujan dan masuk ke dalam sungai, lalu mengendap di sepanjang alur.

Kondisi seperti ini sudah berlangsung lama, sejak pertengahan tahun 1980-an, saat puncak kegiatan eksploitasi hutan di Provinsi Jambi. Ketika itu, di daerah ini terdapat sekitar 32 areal hak pengusahaan hutan (HPH). Selain itu, pemerintah mengobral izin hak pengusahaan hasil hutan (HPHH)-di Provinsi Jambi lebih dikenal dengan istilah "persil"-izin pemanfaatan kayu (IPK), dan sebagainya.

Tak hanya itu, alih fungsi hutan terjadi dengan cepat, baik untuk areal perkebunan, permukiman transmigrasi, pasar, kantor, sekolah, prasarana perhubungan (jalan), dan sebagainya. Bantaran sungai yang merupakan benteng utama pencegah masuknya tanah, pasir, dan material lain bersama air hujan ke dalam sungai, digarap.

Selama hampir 20 tahun, prinsip dasar ekologis dan kelestarian dalam pengolahan sumber daya hutan dan pembukaan lahan di daerah tersebut diabaikan. Semua itu hanya bertumpu pada satu fungsi, yaitu ekonomi.

Mengenai banjir besar yang terjadi di Jambi pada bulan Desember 2003, Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf, kepada Kompas, Selasa (23/12), mengatakan, rasionalisasi dan normalisasi sungai yang sering diusulkan untuk mengatasi banjir bukanlah hal yang tepat.

"Rasionalisasi hanya menyelesaikan masalah sesaat karena sumber bencana, yaitu kerusakan hutan dan lingkungan di DAS, tidak diatasi. Solusi cerdas mengurangi banjir dan dampaknya di Provinsi Jambi adalah penyelamatan DAS Batanghari, mulai dari hulu terus ke hilir, yang sekaligus berarti menyelamatkan sungai terpanjang di Sumatera," tutur Rudi.

Solusi mengurangi bahaya banjir, ujarnya, adalah dengan mengelola kawasan hutan dan DAS Batanghari secara baik. Pengelolaan yang tepat untuk DAS Batanghari adalah melalui pendekatan bioregion, pendekatan pengelolaan wilayah tanah dan air, yang cakupannya tidak ditentukan oleh batas administrasi/politik, tetapi oleh batas geografis komunitas manusia dan sistem ekologinya. "Pendekatan bioregion menempatkan peran masyarakat sebagai faktor utama pengelolaan sumber daya alam di DAS Batanghari," ujar Rudi.

Pendekatan bioregion bertujuan menghilangkan sikap pengotak-kotakan pengelolaan DAS berdasarkan wilayah oleh pemerintah daerah sehingga tercipta keterpaduan perencanaan pembangunan antarkota/kabupaten dan provinsi tempat DAS Batanghari berada.

KKI Warsi meluncurkan konsep pendekatan bioregion dalam pengelolaan DAS Batanghari pada tahun 2000. Persoalan itu menjadi pembicaraan serius Pemerintah Provinsi Jambi serta Sumatera Barat (Sumbar) pada tahun 2003 lewat workshop regional dengan tema "Membangun Kesepahaman Bersama Menuju Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan dengan Pendekatan Bioregion pada DAS Batanghari".

Sebuah nota kesepahaman bersama lahir dari workshop itu, yang ditandatangani beberapa bupati, antara lain Bupati Bungo melalui wakilnya, Abdul Malik, Bupati Sawahlunto Sijunjung Darius Apan, Wakil Bupati Solok Elfi Sahlan Ben, serta Gubernur Jambi dan Sumbar. Bahkan dua menteri turut menjadi saksi penandatanganan nota itu, yaitu Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim dan Menteri Kehutanan yang diwakili Sekretaris Jenderal Wahjudi Wardojo.

Pendekatan bioregion bukan berarti menolak sama sekali konversi terhadap areal hutan, seperti pembukaan kebun kelapa sawit. Konversi harus memperhatikan kondisi fisik lahan dan daya dukungnya. Untuk lahan dataran rendah bisa ditanami sawit, sedangkan dataran tinggi sebaiknya dibiarkan menjadi hutan. Begitu pula dengan bekas areal HPH yang berbatasan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat.

Beberapa bulan sebelum banjir besar pada bulan Desember 2003 melanda Provinsi Jambi, Bupati Sarolangun HM Madel mengusulkan kepada Menteri Kehutanan agar areal HPH PT Bina Lestari (lebih dari 50.000 hektar) dijadikan sebagai kawasan lindung.

Bekas areal PT Bina Lestari itu berada di dua kecamatan, yaitu Limun dan Batang Asai, yang berada di dataran tinggi, di gugusan Pegunungan Bukit Barisan. Topografi dan kemiringan-sebagian lebih dari 50 derajat, bahkan 75 derajat-lahan bekas HPH itu lebih cocok sebagai kawasan lindung daripada sebagai hutan produksi. "Saya menyatakan Kecamatan Limun dan Batang Asai tertutup untuk industri primer hasil hutan atau sawmill. Jangankan sawmill ilegal, sawmill legal pun harus pindah dari daerah itu," kata HM Madel.

HM Madel mengaku merasa sangat prihatin dengan kerusakan hutan di daerahnya. (NAT)

Post Date : 09 Januari 2004