Australia Bantu Pemeliharaan Hutan Indonesia

Sumber:Koran Sindo - 12 Desember 2007
Kategori:Climate
NUSA DUA(SINDO) Indonesia dan Australia sepakat menjalin kerja sama lebih lanjut di bidang perubahan iklim. Kerja sama ini akan memberikan kontribusi bagi penanganan perubahan iklim, terutama pemeliharaan hutan di Indonesia.

Di bidang climate change, kami sepakat bekerja sama pada tingkat regional dan global. Secara bilateral, kami secara khusus membahas kelanjutan kerja sama kedua negara di bidang reforestationdan aforestation, ungkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seusai pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri (PM) Australia Kevin Rudd di Jimbaran, Bali,kemarin. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam tersebut,Presiden menyampaikan penghargaan tinggi kepada Rudd karena bisa hadir dalam pertemuan Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali.

Australia hadir secara pribadi dalam pertemuan UNFCCC di Bali dengan harapan bisa memberikan peran signifikan dan kontribusi yang baik bagi upaya bersama masyarakat dunia menghadapi perubahan iklim,papar SBY. Presiden mengungkapkan, Indonesia menerima konsep yang mengharuskan negara Annex I untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 2540% dari level tahun 1990 pada 2020.Indonesia menerima konsep itu karena kami menyadari pentingnya mengurangi kenaikan suhu bumi. Tentu itu bisa dicapai dengan kemitraan yang tepat antara negara maju dan negara berkembang dengan kerangka kerja yang jelas, papar SBY.

Menanggapi hal ini, Rudd mengatakan Australia menghormati hasil kerja para pakar yang mengidentifikasi target-target tersebut dalam rangka menghindari bahaya perubahan iklim.Pemimpin Partai Buruh ini juga sudah bertemu dengan delegasi Australia untuk UNFCCC dan membahas sejumlah hal dalam negosiasi tersebut. Saya memahami beberapa hal yang terjadi dalam pembahasan itu,tentang masalah penurunan gas rumah kaca, tutur Rudd saat memberikan keterangan pers di Hotel Four Seasons,Jimbaran,kemarin.

Rudd mengungkapkan, kerja sama Indonesia-Australia dalam bidang perubahan iklim adalah tindak lanjut dari diratifikasinya Protokol Kyoto oleh Negeri Kanguru tersebut. Rudd juga menilai Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan di antara negaranegara berkembang melalui penyelenggaraan UNFCCC di Bali. Dalam pertemuan antara kedua kepala pemerintahan tersebut Rudd menjelaskan dirinya dan SBY membahas langkah-langkah dan partisipasi aktif kedua negara dalam upaya menangani perubahan iklim. Australia, seperti yang Anda tahu, baru saja meratifikasi Protokol Kyoto.

Dan sebagai konsekuensi dari hal tersebut, saya mengusulkan kepada Presiden Indonesia bahwa Australia-Indonesia akan bekerja sama secara global, regional, dan bilateral untuk memunculkan hasil yang efektif dan tepat terkait perubahan iklim dalam waktu dua tahun yang mendesak ini, jelasnya. Rudd menerangkan, Australia akan menambah bantuan lebih besar untuk program penghutanan kembali di Indonesia.Menurut dia, kerja sama antara Indonesia dan Australia sangatlah penting.

Saya berharap bisa bekerja sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam suatu hubungan yang penting di masa depan. Banyak hal yang dilakukan dengan baik antara kedua negara dan saya melihat ini terus terbina,ungkapnya.

Di samping membahas kerja sama dalam bidang perubahan iklim, kedua kepala pemerintahan juga membahas sejumlah isu-isu bilateral. SBY-Rudd membahas kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan, investasi, dan keamanan. Rudd berharap bisa terus melanjutkan kerja sama untuk mengamankan perbatasan kedua negara. Ini adalah kunjungan pertama Rudd ke Indonesia sejak menjabat sebagai PM Australia.Rudd mengaku sebelumnya sering berkunjung ke Indonesia dan selalu ingin kembali.

Tekanan Makin Gencar

Sementara itu, tekanan Uni Eropa (EU) dan pakar lingkungan terhadap negara maju,yaitu Amerika Serikat (AS) dan Jepang, untuk mencapai target pengurangan emisi pada 2012 semakin kuat.Tekanan itu memuncak seiring digelarnya pertemuan puncak tingkat tinggi mulai hari ini. Selama ini, kedua negara tersebut berupaya mengganjal proses negosiasi dalam UNFCCC di Nusa Dua, Bali. Dalam draf Bali Roadmap yang tidak mengikat, negara-negara industri didesak untuk mengurangi emisi 2540% pada 2020.

Namun draf tersebut tidak memiliki kekuatan untuk memaksa negara-negara industri benarbenar mencapai target tersebut. EU menilai, negara maju harus mengikuti jejak EU dalam pengurangan emisi. Kami telah berkomitmen untuk mengurangi emisi.Kami harap negara maju juga mencapai target tersebut pada 2020, kata Stavros Dimas dari Komisi Eropa di Bali International Convention Centre (BICC) kemarin. Dimas menjelaskan, EU memiliki kebijakan tentang penggunaan bahan bakar fosil yang sangat ketat.EU telah menunjukkan komitmen nyata mengurangi emisi sebesar 20% hingga 30% di bawah level 1990 pada 2020. EU juga menerapkan berbagai kebijakan kehutanan dan strategi perlindungan lingkungan.

Isu kerusakan hutan sangat penting dan kami tempatkan dalam prioritas kebijakan kami, papar Dimas. Kanada merupakan negara yang menghormati kewajiban internasional. Ya, mereka komitmen tapi pada 2020, kata Dimas. Di lain pihak,jaringan organisasi lingkungan menandaskan upaya pengurangan emisi gas merupakan tanggung jawab utama negara maju. Ini kerja sama di utara (negaranegara industri) untuk menyelesaikan masalah emisi gas, kata Alden Meyer,pakar lingkungan dari Union of Concerned Scientists,kemarin. Ini bukan arah yang kita inginkan. Proses pengambilan keputusan di sini terlalu penuh dengan permainan politik,tambah Meyer.

Pendapat senada diutarakan Marcelo Furtado dari Greenpeace Brasil. Negosiasi yang ada di sini berangkat dari pendanaan, bukan beranjak dari isu lingkungan itu sendiri. Seharusnya mereka serius tentang bagaimana masalah perubahan iklim dapat ditangani. Mereka (negara maju) tidak peduli pada apa yang terjadi dengan lingkungan, katanya. Posisi Jepang dalam UNFCCC juga dikritik keras Meyer.Jepang bergabung dengan Amerika Serikat (AS) untuk memblokade proses negosiasi, ungkapnya.

Meyer berharap agar utara (negara industri) serius dengan masalah mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM). Kimiko Hirata dari Kiko Network yang tergabung dalam Jaringan Aksi Perubahan Iklim (CAN) mengungkapkan, Jepang sangat destruktif dalam negosiasi di Bali kali ini. Mereka tidak memiliki komitmen untuk memotong emisi gas mereka, kata Hirata. Meski demikian, Hirata mengutarakan harapan agar pertemuan negara-negara maju (G8) di Jepang, akan menjadi peluang untuk masalah tersebut. (maya sofia/syarifudin/ miftachul chusna)



Post Date : 12 Desember 2007