Awal 2012 Jakarta Banjir Besar

Sumber:Kompas - 17 Nopember 2011
Kategori:Banjir di Jakarta

Jakarta, Kompas - Jakarta diprediksi akan mengalami banjir besar pada Januari 2012. Namun, banjir itu tidak akan separah banjir di Bangkok dan akan surut dalam waktu cepat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana juga menyatakan siap untuk mengatasinya.

 
”Jakarta akan mengalami banjir pada Januari 2012 karena tingginya curah hujan. Namun, diharapkan dampaknya tidak sebesar banjir 2002 dan 2007,” ujar Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di Jakarta, Rabu (16/11).
 
Namun, Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Asep Karsidi di Bogor, Jawa Barat, mengingatkan agar para pemangku kepentingan di DKI Jakarta sejak dini menyusun langkah mengatasi ancaman banjir dalam jangka panjang. Dari hasil survei yang dilakukan, ada kecenderungan permukaan tanah di Jakarta menurun, sedangkan ketinggian permukaan air laut justru naik. Ditambah dengan curah hujan yang tinggi, hal itu akan menyulitkan karena air akan lebih lama menggenang.
 
Kenaikan permukaan air laut ini bisa bervariasi 3-7 milimeter per tahun. Namun, kajian dari Intergovernmental Panel on Climate Change memprediksi akan ada kenaikan permukaan air laut hingga 1 meter pada 2050. ”Kalau permukaan tanah turun dan air laut naik lebih tinggi dari permukaan tanah, jadinya kota di bawah air laut sehingga harus harmoni dengan air,” tutur Asep.
 
Meski banjir, menurut Sutopo, kondisi Jakarta tak akan separah Bangkok. Banjir di Jakarta cepat surut, sedangkan di Bangkok terjadi badai siklon yang terus-menerus ditambah limpasan air dari negara-negara tetangga sehingga banjir berlangsung lama.
 
BNPB sudah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menghadapi banjir. Sudah disiapkan 26.553 personel, mobil pompa, perahu karet, tenda, logistik, obat-obatan, dan air bersih. Ada 33 mobil tangki air bersih berkapasitas 5.000 liter per mobil, sebanyak 60 tandon air berkapasitas 1.000 liter per tandon, dan 49 lokasi pengungsian dengan kapasitas tampung 3.000 orang.
 
Dampak banjir
 
Namun, banjir yang terjadi belakangan ini, tutur Kepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tarjuki, jumlah genangan terus berkurang sejak sungai dan drainase direvitalisasi serta Kanal Banjir Timur sudah dioperasikan. Tahun 2007, jumlah genangan di Jakarta 78 titik, setelah ada Kanal Banjir Timur menjadi 62 titik.
 
Banjir tahun 1992 di Jakarta meliputi 61 lokasi. Tahun 1996, banjir Jakarta meningkat menjadi 90 lokasi. Tahun 2002, banjir menggenangi 159 lokasi dengan luas genangan mencapai 16.778 hektar. Korban yang tewas 32 orang. Jumlah pengungsi saat itu mencapai 40.000 orang dengan kerugian Rp 5 triliun-Rp 7 triliun. Tahun 2007, banjir di Jakarta menelan korban tewas 48 orang, pengungsi 316.825 orang, kerugian Rp 10 triliun-Rp 12 triliun, dan luas genangan lebih besar dari 2002.
 
Jakarta memang termasuk kawasan rawan banjir karena 40 persen wilayah Ibu Kota berada di bawah permukaan air laut. Banyaknya urbanisasi ke Jakarta mengubah kawasan resapan air jadi hunian. Setidaknya 90,33 persen wilayah Jakarta merupakan kawasan yang terbangun.
 
Serupa dengan Jakarta, daerah sekeliling Jakarta juga mengalami pertumbuhan sangat cepat. Di Kota Tangerang telah 76,52 persen wilayah terbangun, Kabupaten Tangerang 75,72 persen, Kota Depok 72,67 persen, Kabupaten Bogor 67,14 persen, Kota Bogor 71,15 persen, Kabupaten Bekasi 79,83 persen, dan Kota Bekasi 79,09 persen.
 
Selain itu, kondisi 13 sungai yang mengalir di Jakarta juga sudah menyempit. Dengan demikian, kemampuan mengalirkan air hujan yang turun juga berkurang. Di Kali Ciliwung, mulai dari Kalibata hingga Bukit Duri, hanya memiliki kemampuan mengalirkan air 17 persen karena penyempitan dan pendangkalan sungai, sedangkan di Kali Krukut hanya 37 persen dan Kali Pesanggrahan 21 persen.
 
Kondisi serupa terjadi di situ-situ yang terdapat di Jakarta dan sekitarnya. Setidaknya 115 situ rusak parah dan 1 situ di Jonggol telah berubah menjadi lapangan.

Air dari Bogor meningkat
 
Makin luasnya daerah terbangun di Bogor menyebabkan aliran permukaan dari bagian tengah dan hulu sungai yang masuk ke Jakarta meningkat sekitar 50 persen dalam 30 tahun terakhir.
 
Dalam pantauan di hulu Ciliwung di Cisarua, Kabupaten Bogor, sebagian hulu Ciliwung bahkan sudah diapit bangunan permukiman warga. Di Kampung Pensiunan, Desa Tugu Selatan, misalnya, berdiri permukiman di tepian aliran sungai itu. Selain itu, vila-vila juga terlihat di punggung-punggung bukit.
 
Berdasarkan data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum-Ciliwung di Bogor, luas DAS Ciliwung dari Bogor hingga Jakarta mencapai 34.472 hektar, tetapi pada tahun 2009, sebesar 45,8 persen dari luas DAS adalah lahan terbangun mulai dari Cisarua, Cibinong, Depok, hingga Manggarai. Dari jumlah itu, 33,7 persen termasuk permukiman.
 
Arifin, peneliti Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor, mengatakan, banjir di Jakarta tidak terlepas dari ”ulah” orang-orang Jakarta. Menurut dia, sebagian besar vila yang berada di daerah tangkapan air Sungai Ciliwung tersebut milik orang-orang Jakarta.
 
Nurhasni, Kepala Seksi Program pada Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung di Bogor, menuturkan, untuk mengurangi laju air permukaan di Ciliwung yang semakin parah, untuk daerah hulu diusulkan penambahan tutupan vegetasi, sedangkan di tengah dan hilir diarahkan pada bangunan-bangunan konservasi tanah dan air, seperti sumur resapan.
 
Kondisi itu dipertegas dengan data yang dimiliki Tarsoen Waryono, ahli konservasi dari Universitas Indonesia. Menurut Tarsoen, Kali Ciliwung sampai saat ini masih menjadi ancaman besar. Di hulu hingga hilir terjadi okupasi bantaran sungai untuk permukiman dan peruntukan lain. Padahal, perlindungan terhadap sempadan sungai sebagai kawasan konservasi telah diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung.
 
Sesuai data, volume air Ciliwung mengalir sebanyak 900 juta meter kubik per tahun, sedangkan kebutuhan warga DKI Jakarta sebesar 500 juta meter kubik per tahun. ”Kebutuhan air ini pun baru dipenuhi 250 juta meter kubik per tahun. Artinya, banyak air Kali Ciliwung yang tak terserap ke tanah dan dimanfaatkan,” kata Tarsoen, yang juga Ketua Program Magister Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. (arn/gal/NEL/NDY)


Post Date : 17 November 2011