Bakteri Patogen Sumber KLB

Sumber:Kompas - 30 Juni 2005
Kategori:Sanitasi
Tangerang, Kompas - Kemampuan ekonomi ternyata tidak otomatis berkorelasi dengan budaya bersih, paling tidak itulah yang terjadi di Kabupaten Tangerang. Gara-gara tidak biasa memiliki jamban dan membiarkan sumur tanpa bibir, kawasan itu dilanda kejadian luar biasa (KLB) diare. Hingga 28 Juni, jumlah penderita mencapai 1.256 orang.

Dari jumlah tersebut, 682 orang menjalani rawat jalan, 555 orang harus dirawat inap, dan 19 anak meninggal dunia. Pengujian di laboratorium menunjukkan, KLB disebabkan oleh bakteri patogen yang mencemari sumber air dan mengontaminasi makanan penduduk.

KLB diare terjadi di empat kecamatan, yakni Sepatan, Paku Haji, Sukadiri, dan Mauk, yang letaknya tidak jauh dari pantai utara (pantura) Pulau Jawa.

Dalam laporannya kepada Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono yang mengunjungi tiga puskesmas di wilayah tersebut Rabu (29/6) kemarin, Bupati Tangerang Ismet Iskandar memaparkan bahwa diare memang sering terjadi namun korbannya tidak besar.

Dana block grant dari Pemerintah Provinsi Banten nanti akan kami sisihkan Rp 5 miliar untuk puskesmas dan membangun fasilitas mandi, cuci, kakus, kata Ismet.

Dari pantauan sepanjang Rabu kemarin, lingkungan wilayah itu memang kurang bersih. Jalanan kotor, sampah berserakan di pasar Sepatan serta selokan mampet penuh sampah.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang dr H Bachtiar Oesman, banyak sumur di wilayahnya tidak berbibir alias tidak dilapisi dengan semen. Dengan demikian air kotorapalagi saat hujanmudah mengontaminasinya.

Karena itu akan dilakukan operasi bibirisasi untuk melindungi sarana air bersih masyarakat, kata Bachtiar.

Risiko pencemaran semakin tinggi karena banyak warga di wilayah itu memiliki kebiasaan yang tidak higienis, yakni buang air besar sembarangan seperti di sawah, kebun, atau sungai. Warga Desa Kedaung, Kecamatan Sepatan, Alam (54) yang memiliki seorang istri, tujuh anak dan satu cucu mengakui bahwa ketiga adiknya yang juga memiliki banyak anggota keluarga (total 27 orang) sampai saat ini tidak memiliki jamban. Kalau saya punya kamar mandi dan WC. Kalau malam, saat ingin ke belakang mereka menumpang di rumah saya. Tapi kalau siang biasanya pergi ke sungai, tutur Alam.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Paulus Wirutomo mengatakan, hal tersebut merupakan budaya yang bertahan. Kalau dulu jumlah penduduk masih sangat sedikit dan lahan masih sangat luas, kebiasaan itu tidak menimbulkan masalah kesehatan. Namun ketika jumlah penduduk kian banyak sehingga lahan menyempit, budaya itu memicu munculnya penyakit.

Untuk mengubah pola perilaku masyarakat diperlukan kerja keras dari berbagai pihak terutama pemerintah untuk proaktif melakukan penyuluhan mengenai pentingnya menjaga lingkungan dan kaitannya dengan kesehatan. Hal-hal penting harus dikomunikasikan pada komunitas, kata Paulus.

Post Date : 30 Juni 2005