Bandung, Kota Banjir...

Sumber:Kompas - 18 Januari 2013
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Baleendah dalam bahasa Indonesia sepadan dengan Pondok Indah—nama perumahan elite di Jakarta Selatan. Namun, kisah bermukim di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tidaklah seindah namanya. Akibat terjangan banjir Sungai Citarum, perlahan-lahan kawasan ini mulai ditinggalkan. HARYO DAMARDONO dan DWI AS SETIANINGSIH
 
bu Euis (50), warga RW 020, Desa Cieunteng, Baleendah, bertahan hanya karena tidak ada pilihan. ”Rumah ibu rusak terendam banjir,” ujarnya saat ditemui di kontrakannya, Kamis (10/1). Dia mengarahkan telunjuk ke sebuah rumah berjarak kira- kira 100 meter dari kontrakannya. Rumah itu terendam air coklat hingga setengah tinggi ambang pintu.
 
Kenapa tidak pindah dari Desa Cieunteng? Memandangi kontrakan berlantai dua, yang lantai dasarnya ditinggalkan karena tergenang air, Euis berkata lirih, ”Ngontraknya hanya Rp 180.000 per bulan.”
 
Di sudut lain Baleendah yang ”lebih kering”, sewa kontrakan mencapai Rp 400.000 per bulan. Sementara lebih mendekati pusat kota, sudah pasti takkan terjangkau oleh Ibu Euis.
 
Impitan ekonomi telah memaksa Euis dan warga lain untuk bertahan. Warga setempat juga selalu mengaku akrab dengan banjir karena berpuluh tahun bermukim di tepi Sungai Citarum. Persoalannya, beberapa tahun belakangan, banjir makin menyengsarakan sehingga terlihat mulai ada relokasi swadaya.
 
Baleendah, utamanya Dayeuhkolot, berada di pertemuan Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum. Kawasan ”tempuran” ini pernah menjadi ibu kota Bandung. Didirikan tahun 1670 oleh Bupati Wira Angunangun, Dayeuhkolot (berarti Kota Tua, dalam bahasa Sunda) dipilih karena di tepi Sungai Citarum. Sebagian kota dunia memang dibangun di tepi sungai sebagai akses transportasi.
 
Namun, pada 25 Mei 1810, Gubernur Jenderal Daendels memindahkan ibu kota Bandung sejauh 10 kilometer ke utara. Pemindahan ibu kota untuk mendekati De Groote Postweg, Jalan Raya Pos. Namun, dalam Buku Bandung, Citra Sebuah Kota (2007) karangan Robert PGA Voskuil dan kawan-kawan, pemindahan ibu kota juga karena ancaman banjir Sungai Citarum.
 
Kamis, Kompas mengamati nyaris tidak ada bangunan tua di Dayeuhkolot. Voskuil pun menyediakan jawabannya, bahwa Dayeuhkolot ”menghilang” agaknya karena Bupati Indradireja Adipati Wiranatakusumah mendirikan kota baru dengan material bongkaran dari kota lama.
 
Ringkasnya, dalam 200 tahun terakhir, bukan kali ini saja Baleendah dan Dayeuhkolot bermasalah sehingga ditinggalkan warganya. Walau justru pada masa republik, bukannya kolonial, menjamurlah permukiman dan kawasan industri di flood plain, dataran banjir Citarum.
 
Padahal, dibangunnya properti di flood plain tidak ubahnya menantang alam. Entah di mana kontribusi rencana tata ruang dan tata wilayah dalam pengaturan di wilayah Sungai Citarum. Hanya akibatnya yang terlihat dengan 17.259 keluarga atau 57.803 jiwa diterjang banjir. Mereka berada di tiga kecamatan, yakni Rancaekek, Baleendah, dan Dayeuhkolot.
 
Upaya penanganan
 
Banjir di Desa Cieunteng, Baleendah, sesungguhnya bukannya tanpa penanganan. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum menginisiasi pembangunan polder seluas 0,82 hektar mulai tahun 2013, sekitar 0,72 ha di antaranya dibeli dari warga. Enam pompa berkapasitas 12 meter kubik per detik nantinya akan menggelontorkan air ke Sungai Citarum dan kontrakan Ibu Euis di tepi polder.
 
Polder juga akan dibangun di Bojong Malaka, Kecamatan Dayeuhkolot. Jika anggaran cair, mulai tahun 2013 dibebaskan 20 ha lahan. Konstruksinya dikerjakan pada 2014 sampai 2015. Selain proyek polder, BBWS Citarum telah sibuk menormalisasi dan mengeruk sungai.
 
Sudar Dwi Atmanto, Ketua Jejaring Sumber Daya Air (JSDA) Indonesia, mengingatkan, proyek-proyek infrastruktur harus diimbangi upaya nonteknis. Salah satunya mengembalikan fungsi hulu Sungai Citarum. ”Bila tidak, percuma saja mengeruk dan membangun polder. Dana untuk proyek akan hanyut begitu saja,” ujarnya.
 
Menurut Sudar, penanganan banjir di Citarum belum tegas menentukan prioritas program. Kembali dia tekankan, untuk apa mengeruk lumpur bila hulunya hancur. ”Juga harus ada satu institusi yang berwenang ’menjewer’ kerja institusi lain terkait kinerja setiap pihak,” ujarnya.
 
Sudar menegaskan, langkah awalnya dapat menyinkronkan kebijakan, membentuk kelembagaan baru, kemudian memberikan mandat. ”Tanpa itu, sulit menuntaskan persoalan banjir ini. Relokasi permukiman warga, misalnya, telah dipikirkan dengan rencana pendirian rumah susun sederhana sewa (rusunawa), tetapi tidak jelas kapan realisasinya,” ujarnya.
 
Derita Cikapundung
 
Mirisnya, digesernya Kota Bandung ke arah utara, menuju Lembah Cikapundung, ternyata tetap menyisakan derita bagi sebagian warganya. Di balik Hotel Gino Feruci, hotel berbintang empat di kawasan Braga, ratusan warga yang bermukim di lembah Sungai Cikapundung menjadi langganan banjir.
 
”Seminggu lalu ada banjir setinggi pinggang gara-gara tanggul jebol,” ujar Neti Herawati (52), warga RT 004 RW 008, Kelurahan Braga, Kecamatan Sumurbandung. Ate Sukardi, warga lain, mengatakan, banjir sewaktu-waktu datang bila arus sungai deras.
 
Kini mirip dengan Jakarta, Kota Bandung kerap digenangi air saat hujan deras. Tak sekadar genangan, bahkan badan jalan seolah-olah menjadi aliran sungai. Ambil contoh di Jalan Cihampelas, Jalan Dr Djundjunan, hingga Jalan Ir H Djuanda alias Jalan Dago yang tersohor itu.
 
Sungguh memalukan bila akses utama ke Bandung, yakni Jalan Dr Djundjunan, ketinggian banjir 40-50 sentimeter. Bila citra awalnya buruk, bagaimana citra keseluruhan kota? Ketika terjebak banjir di Jalan Dr Djundjunan memandangi Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Malabar, kita lupa ini kota indah di pegunungan, kota Parijs van Java. Inilah Bandung, kota banjir.
 
Di atas kertas, pengairan Bandung mudah diatur karena ada perbedaan ketinggian kawasan dari 600 meter di atas permukaan laut hingga 800 mdpl. Namun, berdasarkan pengamatan Kompas, perpanjangan drainase di kawasan baru tidak sebaik di kawasan yang dibangun pemerintah Hindia Belanda.
 
Tahun 2013, anggaran Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung naik dari Rp 200 miliar pada tahun 2012 menjadi Rp 560 miliar. ”Memang naik, tetapi anggaran itu kan tidak hanya untuk (mengatasi) banjir,” ujar Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung Iming Akhmad, Kamis, di Bandung.
 
Untuk mengatasi banjir, Iming menuturkan, ada alokasi Rp 108 miliar bagi pembangunan sekaligus merehabilitasi saluran drainase atau gorong-gorong. Sementara program pengendalian banjir dialokasikan Rp 31,4 miliar, di antaranya untuk rehabilitasi dan pemeliharaan bantaran tanggul sungai, peningkatan pembersihan dan pengerukan sungai, serta tanggap darurat jaringan irigasi dan sungai.
 
Sejumlah persoalan di lapangan juga segera ditangani. ”Banyak drainase yang tertutup sehingga butuh dikeruk. Ada juga bangunan pedagang kaki lima yang didirikan di atas drainase, penduduk tinggal mepet ke sungai, serta sedimentasi dan sampah. Tali-tali air juga banyak yang tidak berfungsi,” katanya.
 
Menurut Iming, drainase akan dinormalisasi untuk mengatasi 54 titik banjir di Bandung. Tidak hanya diperlebar, tetapi juga diperdalam. ”Pengerukan akan dikerjakan secara intensif. Kerap sudah dikeruk, materialnya dibawa air lagi. Kami juga berpacu dengan musim hujan,” ujar Iming.
 
Dia berharap, tahun 2013, semua program untuk mengatasi banjir bisa tercapai. ”Tetapi deg-degan juga kalau tidak selesai,” ujarnya.
 
Selain upaya Pemerintah Kota Bandung, baru pada tahun ini masyarakat dilibatkan dalam pengendalian banjir. ”Sekarang kecamatan diberikan wewenang mengecat dan membersihkan trotoar dan tali-tali air. Disediakan juga colt engkel untuk angkutan selama pembersihan,” kata Iming.
 
Mungkinkah banjir di lembah Cikapundung dan Bandung secara keseluruhan dapat dituntaskan? Ketua Cikapundung Rehabilitation Program RA Budi Santoso, yang akrab dipanggil Kang Rahim, mengatakan sulit. ”Tunggu saya jadi Presiden,” ujarnya dengan raut muka serius.
 
Sebenarnya regulasi telah lengkap. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2004 mengatur sanksi denda Rp 5 juta bagi orang yang buang sampah ke sungai. Namun, perda itu bak macan ompong. Bulan Juni 2011, pria ini menginisiasi kukuyaan, aktivitas sungai di Cikapundung supaya warga mencintai sungai.
 
Tunggu jadi Presiden? Serumit itukah persoalan banjir di Cikapundung dan Bandung? Kang Rahim pun tertawa berkepanjangan. Setelah tawanya reda, dia berkata tegas, ”Yang rumit itu pemerintahnya.”(DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO)


Post Date : 18 Januari 2013