Bangun dari Pembalakan Liar

Sumber:Kompas - 11 Desember 2007
Kategori:Climate
Perjalanan dari Kecamatan Lengkong hingga Kecamatan Waluran di Kabupaten Sukabumi yang berkelok-kelok, dalam kenangan Sutisna (60), sangatlah menyenangkan. Bagi warga Desa Sindangsari di Kecamatan Jampang Tengah ini, kala itu udara sangat sejuk dan sesekali terlihat monyet bergelantungan.

Ruas jalan sepanjang 15 kilometer itu bahkan bisa disebut daerah dingin kendati tidak terlalu tinggi, hanya 400 meter di atas permukaan laut. Namun, kini terik matahari langsung menyengat kulit. Tetesan air dari akar pohon di sisi jalan, apalagi bunyi gerombolan monyet mencari makan, sudah lama hilang.

Hutan konservasi di sepanjang jalan raya yang disangga hutan milik Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan Sukabumi tak lagi rimbun sejak kayunya dijarah habis, 1998-2002. Dari total 56.000 hektar hutan Perum Perhutani, sekitar 16.000 hektar habis dijarah. Sebagian lahan yang terbuka menjadi tempat masyarakat bercocok tanam.

Penjarahan hutan milik Perum Perhutani itu terjadi di beberapa wilayah administratif Kabupaten Sukabumi, seperti Kecamatan Surade, Waluran, Lengkong, Jampang Tengah, dan Cikakak.

Dampak kerugian

Administratur Kesatuan Pemangku Hutan Sukabumi Iing Mochammad Ichsan mengatakan, tak terhitung lagi berapa kerugian akibat pembalakan liar di lahan Perhutani tersebut. Tak hanya kehilangan nilai uang, tetapi yang terutama adalah hilangnya ekosistem hutan dan kerusakan lingkungan yang kemudian berdampak ke mana-mana.

Warga sekitar hutan mengaku, sebelum hutan dijarah mereka tak pernah kekurangan air saat kemarau. Kini, kekeringan menjadi rutinitas. Warga harus berbondong-bondong ke sumber air untuk keperluan sehari-hari.

Ketersediaan air irigasi pun menjadi masalah besar. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten Sukabumi, perusakan hutan di daerah hulu sungai telah mengurangi debit air pada musim kemarau.

Pada masa tanam pertama, lahan pertanian yang terairi 62.654 hektar. Saat musim kemarau air yang tersedia untuk pengairan tinggal 40 persen. Padahal, sebelum penjarahan ketersediaan air irigasi pada musim kemarau hanya turun 20 persen.

Ditanami kembali

Sadar akan bencana ekologi itu, Kesatuan Pemangku Hutan Sukabumi dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi menggalakkan penanaman kembali di lahan bekas penjarahan itu mulai tahun 2005. Targetnya, seluruh daerah yang rusak pascapembalakan liar hijau kembali pada 2009.

Hingga saat ini sudah 5.000 hektar lahan yang berhasil ditanami. Jenis pohon yang ditanam kebanyakan pinus meski di beberapa petak juga ada pulai. Sebelum dijarah, di hutan itu ada rasamala, damar, bahkan jati.

Metode pengelolaan hutan pun diubah. Kalau semula Perum Perhutani bertindak represif terhadap warga yang mencoba masuk kawasan hutan, kini warga di sekitar hutan diorganisasi dan diajak bersama-sama untuk menjaga hutan. Soalnya, sikap represif justru dimanfaatkan oleh cukong kayu untuk menghasut warga membabat hutan.

Perum Perhutani mempersilakan masyarakat menanam di sela-sela tanaman muda hasil reboisasi. Hasilnya adalah tanaman yang mulai menyembul hijau di sana-sini tak lagi diganggu dan sebagian sudah mencapai tinggi dua meter.

Memang udara belum kembali sejuk dan suara monyet masih tak terdengar. Namun yang pasti, langkah awal telah dimulai.A Handoko



Post Date : 11 Desember 2007