Bangunan Keran Air dan Parpol yang Bohong

Sumber:Kompas - 18 Desember 2007
Kategori:Air Minum
Waktu kian larut dan jarum jam menunjukkan pukul 20.47 ketika kami yang melakukan perjalanan dari Mataram tiba di Sumbawa Besar. Rencananya, malam itu juga kami akan melanjutkan perjalanan ke Labuhan Jontal.

Mengetahui rencana tersebut, seorang rekan wartawan menyarankan menginap dulu di kota Kabupaten Sumbawa itu dan melanjutkan perjalanan pada pagi hari berikutnya. Alasannya, Labuhan Jontal itu jaraknya jauh, sekitar 82 kilometer arah timur Sumbawa Besar, atau butuh waktu perjalanan kurang lebih dua jam dengan mobil.

Alasan lain, di Labuhan Jontal tidak ada penginapan dan belum memiliki warung makan. Selain itu juga akan kesulitan untuk mandi karena belum ada fasilitas air bersih. Sumur-sumur andalan penduduk airnya asin semuanya, tetapi sejauh ini tetap dipaksakan sekadar untuk mandi dan cuci oleh masyarakat setempat. Adapun untuk kebutuhan minum dan memasak airnya harus beli.

Saran dan penjelasan rekan wartawan itu dicatat sebagai masukan berharga. Namun, kami sudah tetap, yaitu melanjutkan perjalanan ke Labuhan Jontal. Pertimbangannya, kebutuhan untuk mandi bisa diurung tetapi berharap bisa dapat tumpangan di rumah penduduk.

Setiba di Labuhan Jontal sekitar pukul 22.30, setelah terlibat percakapan dengan sejumlah penduduk, seseorang di antaranya yang bernama Mariolang (29) menawarkan tumpangan di kediamannya, yang tentunya diterima dengan penuh kelegaan dan rasa syukur.

Benar saja, kesulitan air tawar adalah persoalan serius yang sejak lama melanda Kampung Labuhan Jontal yang kini berpenduduk sekitar 201 kepala keluarga atau kurang lebih 700 jiwa. "Satu-satunya persoalan serius warga kampung ini adalah air minum. Kami di kampung ini memang sudah mendapat penerangan listrik PLN sejak tahun 1990-an. Namun, kalau ditanya, kami sebenarnya lebih berharap air dulu baru penerangan listrik. Juga misalnya kalau bisa ditukar, warga pasti setuju untuk menggantikan jaringan listrik dengan air minum," jelas Sulaiman, Ketua RT I Labuhan Jontal.

Hal senada dilontarkan oleh Abdullah Satuang (56), Syamsuddin Yakub (47), Baharuddin (46), dan sejumlah warga lain di Labuhan Jontal. "Beban biaya yang dibutuhkan untuk membeli air minum makin hari makin berat bagi penduduk di kampung ini," ujar Abdullah Satuang, salah seorang tokoh masyarakat setempat.

Air tawar di Labuhan Jontal Rp 1.500 per jeriken berisi 20 liter. Ada juga yang dijual per drum seharga Rp 12.000. Penjualnya biasa dari kota Kecamatan Pelampang, berjarak sekitar 20 kilometer hingga Labuhan Jontal.

Selain harus membeli air tawar terutama untuk kebutuhan memasak dan minum, warga Labuhan Jontal juga harus menyediakan biaya khusus bagi anak- anak mereka yang melanjutkan sekolah tingkat SMP dan SMA. Sekolah lanjutan itu hanya ada di kota Kecamatan Pelampang.

"Anak-anak SMP dan SMA dari Labuhan Jontal tiap hari setidaknya menyediakan Rp 4.000 untuk ongkos angkutan umum pergi dan pulang. Jumlah itu tidak kecil bagi warga Labuhan Jontal, apalagi harus ditambah beban rutin lain untuk membeli air minum," keluh Sulaiman.

Menyatu dengan laut

Termasuk dalam wilayah Desa Teluk Santong, Kecamatan Pelampang, Kabupaten Sumbawa, Labuhan Jontal adalah kampung pesisir yang saat purnama sebagian besar rumah warganya dalam genangan air pasang tinggi. Namun bagi penduduk, serbuan air laut itu bukanlah hal mengganggu karena kediaman mereka rata rata berupa rumah panggung. Lagi pula, laut adalah ladang utama kehidupan masyarakat etnis Bajo itu.

Labuhan Jontal yang menghadap Teluk Saleh di depannya tiba tiba menjadi terkenal menyusul kasus jual beli Pulau Panjang dan Pulau Meriam di kawasan teluk tersebut. Kebetulan Labuhan Jontal adalah kampung paling dekat dengan posisi Pulau Panjang dan Pulau Meriam, yang kini sedang menjadi polemik panjang dan berliku.

Pulau Panjang (25,12 hektar) dan Pulau Meriam (3,87 hektar) adalah dua dari belasan pulau kecil di kawasan tersebut. Sejumlah pulau lainnya adalah Sentigi, Batu, Lipan, Kebo, Ketapang, Pakah, Ngali, Dua, Dangar, dan Moyo.

Dari gugusan pulau kecil ini, hanya Pulau Ketapang yang berpenghuni dan sudah didukung sebuah sekolah dasar. Pulau Panjang juga ada penghuninya, tetapi hanya satu keluarga, yaitu pasangan Daeng Achmad Suak dan Sachema bersama dua putra mereka, Asmadi (27) dan Arahim (18). Keluarga Suak lebih dikenal sebagai "pemilik" atau penunggu pulau yang dilingkari garis pantai berpasir putih dan halus itu.

Kembali ke Labuhan Jontal, sebenarnya serbuan pasangan naik hingga menggenangi kolong rumah rumah warga sudah merupakan bagian dari hidup warga setempat. "Pasang naik hingga perkampungan itu biasanya terjadi saat bulan purnama. Bagi kami bukan masalah, hanya kambing kambing piaraan warga untuk sementara saat itu harus disingkirkan ke bukit sekitar kampung," jelas Mariolang, warga Labuhan Jontal yang sejak lima bulan lalu kembali "menduda" dan tinggal dengan dua anaknya setelah sang istri mengadu nasib sebagai TKW di Arab Saudi.

Menjelang pagi, kesibukan khas nelayan pun terasa. Orang-orang bergegas ke pantai untuk melaut. Ada pula kaum perempuan yang juga turun ke pantai menjemput suami atau keluarga yang melaut sejak semalam.

Ketika hari benar-benar cerah, kami menyaksikan sebuah pemandangan menarik tetapi kontras dengan cerita masyarakat, yaitu tiang semen beton setinggi kurang lebih 50 sentimeter dan atasnya telah dipasang keran air.

Dugaan awal instalasi di sudut kiri halaman kediaman Sulaiman itu adalah jaringan pipa air tawar hingga Labuhan Jontal. Dugaan itu ternyata salah. Tiang keran air itu dibangun tanpa jaringan pipa.

Sulaiman mengisahkan, kalau tiang keran itu dibangun tiga tahun lalu saat kampanye pemilu legislatif, tahun 2004. Ada banyak partai politik (parpol) yang berkampanye di Labuhan Jontal. Salah satu parpol di antaranya dengan penuh semangat meyakinkan warga setempat akan mengupayakan fasilitas air bersih bagi kampung itu.

Untuk lebih meyakinkan warga Labuhan Jontal, parpol bersangkutan bahkan sampai menancapkan tiang keran air di kediaman Sulaiman tersebut.

"Kami sudah mendukung parpol tersebut dalam Pemilu 2004, tetapi janjinya akan memperjuangkan air bersih bagi kami hingga sekarang tetap saja bohong," keluh Sulaiman menyebut parpol yang berbasis di wilayah itu.

Ia mengakui pula, suatu ketika sejumlah warga meminta supaya tiang keran tipuan itu dibongkar. Namun, sejumlah warga lainnya menolak. Biar saja ada sebagai bukti untuk menagih janji parpol bersangkutan. Lebih dari itu, tiang keran tanpa air tersebut boleh dilukiskan sebagai simbol pembohongan parpol. Frans Sarong



Post Date : 18 Desember 2007