Banjir Belu, Lintas Daerah

Sumber:Kompas - 27 April 2011
Kategori:Banjir di Luar Jakarta

Kupang, Kompas - Banjir yang melanda Malaka Barat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, tidak bisa ditangani secara parsial. Penanganan harus dilakukan lintas daerah karena penyebabnya ada di hulu, yakni wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara.

Demikian dikatakan Kepala Subdirektorat Perencanaan Darurat Badan Penanggulangan Bencana Nasional Eko Budiman seusai meninjau lokasi bencana di Malaka Barat, Selasa (26/4).

Sementara itu, korban banjir di Pangkep, Sulawesi Selatan, sangat membutuhkan air bersih. Adapun korban banjir di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, meminta pemerintah membantu upaya swadaya masyarakat mengatasi banjir yang rutin terjadi.

Untuk menanggulangi bencana banjir bandang yang sewaktu- waktu bisa melanda Malaka Barat, kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTT, Florianus Mekeng, akan melibatkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan.

Mekeng menambahkan, banjir di Belu terjadi sejak 19980-an, tetapi baru mendapat perhatian pemerintah pada 1990-an setelah terjadi banjir bandang yang menewaskan 350 warga.

Dari Pangkep dilaporkan, dua hari setelah banjir bandang yang menewaskan empat orang, warga Dusun Senggerang, Kelurahan Balleangin, Kecamatan Balocci, terpaksa mengonsumsi air sungai yang masih keruh. Penyediaan air minum dari posko penanganan bencana dirasa kurang.

Swadaya

Di Majalaya, Kabupaten Bandung, korban banjir akibat luapan Sungai Citarum berharap pemerintah setempat aktif mendukung usaha swadaya masyarakat untuk mengurangi dampak banjir.

”Pemerintah seharusnya memberikan dukungan dan menjadi fasilitator warga yang berinisiatif menyelamatkan daerahnya sendiri,” kata Koordinator Garda Caah, Ricky Waskito.

Untuk diketahui, banjir akibat luapan Citarum sudah biasa bagi warga Majalaya. Senin sore lalu, banjir kembali merendam dengan ketinggian 30 hingga 50 sentimeter.

Untuk meminimalkan dampak banjir, para pengusaha tekstil di Majalaya secara swadaya melakukan pengerukan Sungai Citarum. Akibatnya memang terasa. Air cepat surut. Kalau sebelumnya air baru surut 12 jam, sekarang hanya 8 jam.

Akan tetapi, dampak negatifnya justru dirasakan warga di hilirnya, seperti Sapan dan Laluereun. Karena itu, pemerintah diminta menuntaskan persoalan ini. (KOR/SIN/CHE)



Post Date : 27 April 2011