Banjir, Cacat Bawaan DKI

Sumber:Kompas - 06 November 2006
Kategori:Banjir di Jakarta
"Garis tangan" Jakarta tidak bagus. Kondisi geografis dan topografis kota ini membuat ia divonis akan kebanjiran setiap tahun. Bersama berbagai dampak buruk perkembangannya sebagai kota besar, "cacat bawaan sejak lahir" itu membangkitkan kekhawatiran manakala mendung mulai menutupi udara DKI Jakarta.

Menurut Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta, sekitar 40 persen luas Jakartaseluruhnya 66.152 hektaradalah dataran yang lebih rendah dari elevasi pasang laut, khususnya Jakarta Utara. Daerah itu rawan terhadap genangan air karena berada pada flood plain atau dataran banjir, luapan air Kali Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Kali Grogol, Kali Krukut, Ciliwung, Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Kali Cakung.

Lingkungan fisik alami (topografi) Jakarta adalah dataran yang berada di bagian hilir yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah hulu, yakni Bogor. Di sebelah selatannya terdapat pegunungan, hulu dari aliran beberapa sungai yang sebagian di antaranya melintasi kota Jakarta. Jakarta menjadi daerah aliran 13 sungai (kali) yang menyebar merata di semua wilayahnya.

Di bagian barat melintas Kali Grogol, Pesanggrahan, Angke, Mookervart, dan Sekretaris. Di bagian timur ada lintasan Sungai Cakung, Jatikramat, Buaran, Sunter, dan Kali Cipinang. Di tengah ada Sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut. Alur ke-13 sungai ini sekarang menyempit dan kian dangkal. Lebar sungai itu kini rata-rata tinggal 15 meter, jauh dari kondisi idealnya: 65 meter.

Ini sebetulnya adalah konsekuensi historis Ibu Kota. Jakarta adalah kota yang tumbuh menjadi metropolitan dari cikal bakalnya, sebuah kota pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Sunda Kelapa sendiri menjadi berkembang sebagai bandar yang ramai, pelabuhan utama Kerajaan Hindu Sunda (dengan ibu kota Pakuan Pajajaran yang terletak di Batutulis, Bogor) berkat posisinya di muara sungai.

Kondisi geografis dan topografis inilah agaknya yang membuat Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota. Di situ dijelaskan bahwa banjir bagi kota Jakarta, sejak duludari masa ke masasampai sekarang merupakan masalah yang belum dapat teratasi secara konkret.

Banjir dapat dibedakan berdasarkan dua penyebab: genangan dan luapan. Genangan adalah banjir yang diakibatkan tidak lancarnya aliran air ke dalam saluran. Luapan adalah banjir yang diakibatkan melimpahnya air dari saluran dan sungai. Di Jakarta, kedua penyebab ini selalu ada dan sulit dibedakan.

Sebagai bencana, banjir menggenangi kawasan permukiman, lahan pertanian dan tanaman, perkantoran; mencetuskan wabah penyakit; menyebabkan sejumlah orang meninggal; menghancurkan berbagai fasilitas penting seperti sekolah, jembatan, dan jalan raya; menyebabkan kemacetan lalu lintas, memutus aliran listrik, dan membuat warga kehilangan waktu akibat terhambatnya kelancaran pergerakan manusia. Untuk Jakarta, banjir dengan akibat terburuk terjadi pada 2 Februari 2002.

Luas genangan seluruhnya pada waktu itu mencapai 16.706 hektar. Itu berarti sekitar 25 persen wilayah Jakarta bak danau. Entah genangan, entah luapan, mengantarkan air masuk ke kawasan elite Menteng dan singgah pula ke halaman Istana Presiden. Pemerintah lantas menyatakan banjir yang melanda Jakarta itu sebagai bencana nasional. Semua biaya pengobatan masyarakat akibat banjir ini ditanggung negara.

Menurut penelitian Adi Wibowo untuk tesisnya pada Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesiaberjudul "Evaluasi Kondisi Daya Dukung Lingkungan Hidup Wilayah Jakarta (2005)"dana yang dikeluarkan untuk pengobatan itu Rp 53,6 miliar. Pemerintah juga harus menanggung biaya perbaikan jalan yang rusak. Nilainya mencapai Rp 66,92 triliun.

Itu baru kerugian yang dapat diukur dengan uang, yang angkanya dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di luar itu masih ada kehilangan yang tak mungkin dihitung secara kuantitatif. Yang dirugikan oleh banjir tidak hanya penduduk di daerah genangan, melainkan juga mereka yang harus melintas di daerah banjir itu. Waktu yang hilang tak mungkin diganti.

Setelah bencana tahun 2002 itu, berbagai upaya penyelamatan Ibu Kota dari banjir pun dilakukan. Salah satunya adalah meneruskan rencana pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) yang mengacu pada Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta (NEDECO) tahun 1973, Detail Desain oleh Niken dan Nippon Koei tahun 1990 dan 1993, serta studi Japan International Cooperation Agency (JICA) 1997.

Pembangunan BKT sebetulnya telah direncanakan 30 tahun lalu, tetapi pelaksanaannya tertunda bertahun-tahun. Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta kembali menyebut perihal BKT ini. Baru pada 10 Juli 2003 pembangunan BKT itu diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Proyek senilai Rp 4,9 triliun ini akan dikerjakan selama tujuh tahun, selesai pada tahun 2010. Alih-alih lancar, kendala dana membuat pemerintahan Presiden Megawati pun tidak dapat dengan segera memulai kegiatan pembangunannya.

Pada mulanya, Banjir Kanal Timur hanya merupakan bagian dari upaya pengendalian banjir di wilayah timur Jakarta. Kanal ini direncanakan untuk menampung aliran dari genangan yang diakibatkan hujan lokal dan aliran dari hulu lewat Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung. Kehadiran BKT akan melindungi wilayah timur dan utara Jakarta seluas 15.401 hektar yang merupakan kawasan industri, pergudangan, dan permukiman.

Modifikasi

Kini, fungsi kanal ini mengalami modifikasi. Selain sebagai daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas kurang lebih 207 kilometer persegi atau 20.700 hektar, BKT juga akan menjadi prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku. Ia dimaksudkan pula akan menjadi prasarana transportasi air, tempat rekreasi, dan sebagai motor pertumbuhan wilayah timur dan utara Jakarta yang direncanakan bercorak waterfront city. Panjang kanal ini 23,6 kilometer. Lebarnya 100 meter plus 36 meter untuk jalan inspeksi di sisi kiri dan kanan.

Hanya saja, merealisasikan gagasan BKT bukanlah langkah yang mudah. Pembebasan tanah, sebagai langkah pertama, sudah menghadapi sandungan. Ada sengketa kepemilikan lahan, antara lain kasus surat tanah "kembar". Selain itu, warga pemilik tanah bertahan pada tuntutan ganti rugi di atas nilai jual obyek pajak (NJOP).

Sampai dengan tahun 2005, total lahan di Jakarta Utara dan Jakarta Timur yang telah dibebaskan baru 107,92 hektar dengan biaya Rp 680,6 miliar. Untuk 2006 ini, tanah yang akan dibebaskan ditargetkan seluas 20 hektar dengan biaya Rp 400 miliar.

Kecepatan perjalanan mewujudkan BKT buat menyelamatkan wilayah timur dan utara Jakarta dari banjir tidak sederas aliran air dari hulu dan curah hujan yang turun dari langit. (BE Julianery/ Litbang Kompas)



Post Date : 06 November 2006