Banjir dan Kelakuan Kita

Sumber:Media Indonesia - 16 Januari 2006
Kategori:Banjir di Jakarta
BANJIR kembali mengancam berbagai belahan Tanah Air. Di banyak tempat, warga semakin khawatir malapetaka itu akan datang meluluhlantakkan kehidupan. Masih terbayang tragedi banjir dan longsor mengerikan yang terjadi di Kabupaten Jember (Jawa Timur) dan Banjarnegara (Jawa Tengah), awal bulan ini.

Jadi sangat wajar jika banyak warga khawatir karena kini musim hujan. Curah hujan pun naga-naganya akan tinggi.

Hujan pada dasarnya merupakan karunia. Betapa celakanya bumi ini bila tiada hujan setetes pun. Bumi ini akan kering kerontang dan pohon-pohon akan meranggas. Tetapi, bagi sebuah negeri yang telah rusak ekologinya, hujan berubah menjadi malapetaka.

Itulah keadaan Bumi Pertiwi tercinta ini. Penebangan hutan di masa lalu memang menghasilkan devisa. Tetapi, sekarang, akibatnya ditanggung anak bangsa sendiri, hidup terancam banjir dan tanah longsor.

Pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) selalu disertai dengan sejumlah aturan yang kayaknya cinta lingkungan. Misalnya, penebangan hutan harus tebang pilih. Namun, yang terjadi semuanya dipilih alias ditebang habis. Hutan tropis yang kaya itu pun jadi gundul.

Juga cantik di atas kertas pemerintah memungut dana reboisasi. Namun, dana ini pun tidak semuanya digunakan untuk menghutankan kembali. Sebagian dikorupsi, sebagian lagi bahkan pernah dipakai untuk membiayai industri pesawat terbang.

Hutan negeri ini semakin hancur lebur karena hebatnya penebangan liar. Illegal logging dibiarkan merajalela karena dilindungi aparat penegak hukum. Tragisnya, hutan negeri ini yang digunduli dan kayunya masuk secara ilegal ke Malaysia, tetapi negeri jiran itu yang akhirnya mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. Malaysia bisa mengekspor kayu lebih banyak daripada Indonesia, sekalipun hutannya cuma secuil.

Barulah di zaman pemerintahan SBY ini, di bawah kendali Menteri Kehutanan MS Kaban dan Kapolri Jenderal Sutanto, ada keberanian untuk menghajar illegal logging. Semoga bukan hangat-hangat tahi ayam, terutama di wilayah perbatasan yang sepertinya tiada bertuan.

Malapetaka banjir masih akan terus mengancam bila hutan tetap dibiarkan gundul. Berapa pun ongkosnya, penghutanan kembali sudah harus dilakukan. Tidak kalah penting, watak buruk menebangi pepohonan pun harus dihentikan, bahkan dengan ancaman hukuman yang berat.

Ironisnya, dalam banyak kasus, justru pemerintah kota yang dengan sengaja membabat pepohonan dan merusak peruntukan jalur hijau. Kelakuan yang terang-terangan menunjukkan tidak sadar lingkungan!

Bencana datang sering bukan maunya alam semesta, melainkan lebih karena kelakuan manusia yang tiada menghormatinya. Dari sudut ini, malapetaka banjir hanyalah konsekuensi logis dari kelakuan kita di masa silam, yang kini menuntut bayaran yang sangat mahal.

Post Date : 16 Januari 2006