Banjir di Musim Kemarau dan Megatren DAS

Sumber:Suara Pembaruan - 04 Mei 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
ADA dua fenomena anomali yang perlu dicermati berkaitan dengan terjadinya banjir beruntun di daerah Kalimantan Tengah belakangan ini. Pertama, banjir terjadi pada wilayah pedalaman yang bervegetasi hutan "relatif lebih baik". Kedua, banjir terjadi pada musim kemarau.

Wilayah yang sebelumnya relatif aman terhadap banjir itu, kali ini harus menghadapi kenyataan kebanjiran dan menyelesaikan persoalan pascabanjir yang biasanya lebih berat. Pertanyaan esensial klasiknya adalah, mengapa banjir terjadi di mana-mana, mulai dari wilayah perkotaan (urban) maupun perdesaan (rural), semakin tidak terkendali bahkan terkesan tidak mungkin diatasi?

Terjadinya megatren daerah aliran sungai (DAS) yang mengubah secara total kapasitas tampung air. DAS, sistem, pola dan mekanisme transfer air adalah jawabannya.

Megatrends DAS

Paling tidak ada tiga megatren DAS yang menyebabkan banjir semakin sulit diturunkan besarannya, bahkan tidak mungkin diatasi dengan teknologi yang tersedia saat ini. Hal itu terjadi karena degradasi jenis dan kualitas hutan dan lahan dari bervegetasi rapat kearah yang lebih jarang dengan luasan yang signifikan.

Penyebab lain adalah perubahan orientasi pemanfaatan lahan dari sektor kehutanan yang bersifat komunal-sosial ke sektor fisik-pemukiman dengan orientasi individual-komersial. Kemudian terjadinya pergeseran perilaku masyarakat dari proaktif-antisipatif menjadi pasif-reaktif.

Perubahan besar dan fundamental ini belum banyak dikuantifikasi dan diperhitungkan pengambil kebijakan dalam menyusun dan merancang bangun teknologi mitigasi banjir, sehingga ketiga faktor tersebut terus menguat pengaruhnya terhadap peningkatan besaran banjir baik debit puncak (peak discharge), waktu menuju debit puncak (time to peak discharge) dan koefisien aliran permukaan (runoff coeficient).

Tren pertama adalah, degradasi jenis dan kualitas hutan dan lahan yang terlihat dengan jelas melalui citra satelit akan berdampak penurunan laju infiltrasi, kapasitas tanah dan tajuk mena- han air, sehingga secara total akan menurunkan kapasitas tanah dan vegetasi dalam menyerap dan menyimpan air.

Meskipun secara visual lahannya tampak tertutup hutan, namun kerapatannya (density) menurun secara signifikan yang ditandai dengan indeks kehijauan vegetasi (normal defference vegetation index) dan indeks kebasahan (wetness index) yang rendah. Dampaknya, sebagian besar volume air hujan akan menjadi banjir, dan genangan apabila alur sungai alami (natural river network) juga terputus akibat penimbunan.

Banjir yang semakin tinggi besarannya ini semakin parah, karena tidak ada upaya signifikan untuk perbaikan kapasitas lahan dan hutan dalam menyerap air yang signifikan dan kontinyu. Dampaknya, banjir semakin besar dan biaya penanggulangan banjir menjadi mahal dan memerlukan waktu lama.

Teknologi terasering, mulsa, rorak di lahan pertanian yang mampu meningkatkan kapasitas tanah menampung air sekitar 20 persen, tentu tidak mampu mengimbangi laju alih fungsi hutan dan lahan ke arah pemukiman yang jauh lebih besar magnitude-nya.

Pendek kata, metode dan teknologi yang ada saat ini tidak akan dan tidak pernah mampu mengatasi banjir secara maksimal apabila masalah megatrends DAS tidak dicari jalan keluarnya.

Tren kedua adalah perubahan orientasi pemanfaatan lahan dari sektor kehutanan ke sektor industri dan jasa yang relatif tidak ramah lingkungan. Kondisi ini diperburuk oleh sifat individualistik masyarakat yang berubah kearah egois, mementingkan kepentingan sendiri sehingga masalah lingkungan seringkali diserahkan begitu saja ke alam.

Perubahan tersebut mendorong masyarakat bersikap a priori, apatis, skeptis dan masa bodoh atas penderitaan orang lain. Indikatornya, partisipasi masyarakat untuk kepentingan sosial seperti rehabilitasi hutan untuk penggulangan banjir semakin menurun, kalaupun ada mereka menuntut kompensasi yang seringkali sulit diterima oleh akal sehat.

Perubahan orientasi tersebut lebih lanjut akan meningkatkan biaya penanggulangan banjir menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau oleh kemampuan pemerintah. Apalagi, masyarakat menganggap pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya atas penanggulangan banjir sehingga apabila kondisi ini terus berlangsung, maka sampai kapanpun masalah penanggulangan banjir tidak pernah terselesaikan.

Tren ketiga adalah pergeseran perilaku masyarakat dari proaktif antisipatif menjadi reaktif yang menyebabkan biaya fisik, sosial, ekonomi dan politik dalam penanggulangan banjir akan sangat mahal dan rumit.

Faktanya, masyarakat baru tergerak nuraninya saat banjir sudah menerpa dan menelan korban. Mereka belum bersimpati dan berempati untuk menolong sesama untuk menanggulangi masalah sebelum banjir terjadi. Menyedihkan lagi, pascabencana banjir, masyarakat dan pemerintah sudah melupakan persoalan yang sangat menyayat hati itu.

Bahkan ada yang beranggapan bahwa banjir sudah merupakan tradisi sehingga kejadian banjir eksepsionalpun dianggap hal yang biasa. Peningkatan ketiga besaran banjir ini akan mempercepat rusahnya kualitas tanah sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik. Akibatnya, permukaan tanah menjadi tidak bervegetasi, kecepatan dan volume aliran permukaan semakin meningkat tajam.

Pertanyaan selanjutnya, teknologi apa yang dapat diimplementasikan untuk memitigasi banjir? Sistem multiagen adalah pilihannya.

Sistem Multiagen

Sistem multiagent merupakan suatu sistem dinamis yang dibangun dengan merepresentasikan karakteristik fisik, nonfisik yang berperan dalam menentukan besaran banjir. Faktor tersebut selanjutnya disebut sebagai agen. Dengan demikian setiap DAS akan mempunyai komponen agen yang berbeda baik jenis, besaran maupun interaksinya menurut ruang dan waktu.

Agen dalam sistem DAS dapat berupa lahan, lereng, land use, manusia, pasar.

Kemampuan representasi model secara temporal, spatial tentang arah, tren dan dinamika perubahan DAS serta implikasinya terhadap banjir memungkinkan prediksi sesaat dan skenarionya dapat dibuat lebih realistis.

Berdasarkan informasi tersebut, antisipasi banjir dapat dilakukan lebih dini sehingga resiko yang ditimbulkan dapat diminimalkan dampaknya. Model sistem multi agent ini pertama dikemukakan peneliti CIRAD Prancis dan berhasil diimplementasikan dalam pencegahan erosi, banjir dan pengelolaan penggunaan lahan berkelanjutan di Thailand Utara.

Perencana dan pengambil kebijakan dapat membuka debat dan diskusi publik untuk mitigasi banjir dalam jangka pendek, menengah dan panjang, sehingga penanganan banjir lebih sistematis dan terarah.

Pemecahan masalah banjir dengan pendekatan skenario linier reguler, masih dan artifisial sudah waktunya diganti dengan pendekatan dinamis yang lebih realistis. Tanpa perubahan pendekatan yang signifikan, penanganan masalah banjir di Indonesia akan berputar putar tanpa arah yang jelas dan hanya membuang tenaga, waktu dan biaya.

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi telah mencoba menginisiasi sistem multi agent di Indonesia sehingga apabila diperlukan dapat membantu memfasilitasi kegiatan tersebut.

Penulis adalah Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian

Post Date : 04 Mei 2005