Banjir di Riau akibat Salah Urus Hutan

Sumber:Media Indonesia - 17 Januari 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
BENCANA banjir yang terjadi setiap tahun di Riau tampaknya tidak bisa diatasi oleh pemerintah daerah. Tahun 2004, banjir menggenangi delapan kabupaten dan kota di Riau. Tahun sebelumnya, jumlah wilayah yang terendam lebih kurang sama.

Menyikapi persoalan tersebut, tentunya banyak faktor perlu dikaji, apa sebenarnya penyebab banjir rutin itu. Lalu sejauh mana peran pemerintah mengantisipasi musibah tahunan ini.

Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Rully Syumanda, banjir yang terjadi di Riau adalah bukti kurangnya perhatian pemerintah terhadap keselamatan hutan. Rully mengatakan pemerintah malah sengaja membiarkan dan memberi kesempatan seluasnya bagi perambah hutan melakukan aksi penebangan liar.

"Banjir yang terjadi 2004 lebih parah dibanding 2003. Kerugian yang diderita masyarakat juga lebih besar dari tahun sebelumnya. Pada 2003 lalu kerugian berkisar Rp700 miliar atau menghabiskan sekitar 64% APBD Provinsi Riau," jelas Rully.

Rully menyayangkan adanya rencana Pemerintah Provinsi Riau memindahkan penduduk yang terkena banjir di pinggir sungai ke lokasi lain. Rencana tersebut dinilai dapat mencabut akar budaya dan sosial masyarakat maritim. Sejak zaman nenek moyangnya, penduduk di pinggir sungai sudah menggantungkan hidup dari hasil-hasil sungai tersebut. Pemerintah harus mengkaji lebih dalam persoalan ini sebelum mengambil kebijakan. Dampaknya sangat besar terhadap kehidupan masyarakat Riau.

Rully berpendapat sebaiknya pemerintah mengantisipasi bencana banjir dengan membuat rencana induk (master plan) berupa program kehutanan yang memperhitungkan alokasi lahan untuk kelestarian alam. Setiap tahun harus diperhitungkan lahan yang perlu diselamatkan dari penebangan dan kegiatan perkebunan. Pemerintah juga perlu mengawasi pengusaha yang memiliki hak pengusahaan hutan (HPH) dalam menjalankan aktivitasnya.

Kerap kali, kata Rully, pengusaha membabat hutan di luar areal HPH yang dipegangnya. Berdasarkan penelitian Walhi Riau, penyebab banjir di Riau adalah kurangnya kemampuan hutan menahan laju sedimentasi. Sebagian besar hutan alam sudah gundul dan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet.

"Karena pohon sawit dan akasia tidak memiliki akar yang kuat, maka tanah tidak mampu lagi menahan air sehingga terjadilah banjir," ujar Rully.

Ia mengemukakan akibat penebangan hutan secara brutal tanpa menanam kembali, kerusakan alam tidak dapat dihindari. Selain merugikan masyarakat, banjir juga merusak habitat satwa langka dan tanaman herbal.

Dikatakan, sebagian APBD Riau terkuras untuk menanggulangi banjir. Sementara itu mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Riau Nur'afni mengatakan pemerintah harus melakukan berbagai macam persiapan dengan cara membuat tim khusus untuk penanggulangan banjir. Nur'afni menilai banjir yang terjadi disebabkan perambahan hutan secara berlebihan, baik oleh masyarakat maupun perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan.

Ia menilai apabila persoalan tersebut tidak segera diselesaikan oleh pemerintah, banjir akan bertambah besar, baik kerugian materi maupun mental. Ketegasan pemerintah harus dibuktikan dengan cara menangkap penebang-penebang liar.

Muhammad Rusdy, mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Riau mengungkapkan di Riau terdapat dua musim yang secara rutin terjadi, yakni musim kabut apabila musim panas tiba dan banjir pada saat musim hujan. Keduanya, menurut Rusdy, disebabkan hutan Riau yang rusak. "Saya menilai bencana yang terjadi tiap tahun juga disebabkan pemerintah kurang tanggap," ujar Rusdy. (Parlindungan/Fitra Asrirama/S-3)

Post Date : 17 Januari 2005