Banjir di Sumsel akibat Hutan Rusak

Sumber:Kompas - 18 Januari 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Palembang, Kompas - Kerusakan hutan di bagian hulu menjadi penyebab banjir yang melanda sebagian besar kabupaten yang berada di bagian hilir Sungai Musi, Sumatera Selatan, dua pekan ini. Pada masa yang akan datang, kondisi tersebut akan semakin parah jika tidak segera dilakukan upaya rehabilitasi.

Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Musi Agus Harsono mengemukakan hal itu di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), Senin (17/1). "Banjir yang melanda wilayah Sumsel dua pekan ini menunjukkan adanya tingkat erosi di daerah hulu yang cukup besar. Hutan di hulu sungai sudah rusak," ujar Agus.

Secara resmi penebangan hutan di Sumsel oleh perusahaan yang memegang hak pengusahaan hutan (HPH) telah berakhir sejak empat tahun lalu. Namun, akibat dari kerusakan yang ditimbulkan penebangan hutan itu baru dirasakan sekarang oleh masyarakat.

"Kondisi hutan di hulu sudah mencapai titik kritis sehingga daya dukung lingkungannya menurun. Daerah yang seharusnya menjadi penampung air akhirnya ikut mengalami erosi. Sedimentasinya masuk ke sungai sehingga dasar sungai semakin dangkal dan air pun meluap," papar Agus.

Padahal, akibat dari sedimentasi tersebut secara ekonomi sangat merugikan. Ia memberi contoh, sedimentasi Sungai Musi di Palembang mengharuskan daerah sungai yang menjadi alur perairan kapal-kapal besar dikeruk. Biayanya miliaran rupiah per tahun.

Luas seluruh wilayah daerah aliran sungai (DAS) di Sumsel mencapai 11,296 juta hektar, dan sekitar 3,8 juta hektar di antaranya berada dalam kondisi kritis yang perlu segera direhabilitasi. Menurut data BPDAS Musi, kawasan yang mendesak untuk direhabilitasi adalah daerah hulu sungai di Kabupaten Musi Rawas, Pagar Alam, dan Muara Enim. Kawasan itu merupakan hulu Sungai Musi.

Meskipun secara peraturan tata ruang bagian hulu DAS Musi seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan catchment area, Agus mengatakan, selama ini Rancangan Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) tidak ditaati. "Karena lebih bernilai jika dimanfaatkan untuk perkebunan, peraturan pun kerap dilanggar. Padahal dampak lingkungan yang ditanggung tidak sebanding dengan pendapatan daerah dari hasil perkebunan tersebut," ujar Agus menjelaskan.

Oleh karena itu, lanjut Agus, peristiwa banjir yang merupakan peringatan akan kondisi alam perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Langkah penanganan harus terintegrasi antara pengelolaan hulu dan hilir. "Di hulu perlu segera dilakukan rehabilitasi hutan, sedangkan di hilir pembangunan kota harus memerhatikan aspek lingkungan. Jangan ada lagi penimbunan daerah resapan air," ujarnya.

Sampai dengan tahun 2004, upaya untuk merehabilitasi kawasan DAS Musi yang rusak baru sebatas rencana penghutanan kembali, tercakup dalam program Gerakan Nasional Hutan dan Lahan dengan sasaran 12.000 hektar lahan kritis.

Tidak gundul

Berkaitan dengan kerusakan hutan yang menjadi penyebab banjir yang parah di Sumsel, Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Dodi Supriadi menolak jika telah terjadi penggundulan hutan. "Jangan disebut gundul, tetapi mungkin ada perubahan tata guna lahan yang tadinya hutan menjadi kebun kopi," ujarnya.

Ia mengatakan, kemungkinan ada faktor lain yang menjadi penyebab kerusakan hutan. "Mungkin karena curah hujan yang terlalu tinggi sehingga melebihi daya tampung dan sungai mengalami pendangkalan," ujar Dodi.

Direktur Wahana Bumi Hijau Adiosyafri mengatakan, arus sungai yang deras dan keruh mengalir tanpa bisa ditahan karena hutan di hulu sungai telah gundul. "Hutan di daerah hulu seharusnya berfungsi sebagai resapan air. Namun, 10 tahun ini luas daerah tangkapan itu semakin berkurang karena konversi hutan menjadi perkebunan," ujar Adios.

Akibatnya, ketika hujan turun tidak ada yang mampu menampung air yang langsung mengalir ke bagian yang lebih rendah. Aliran air dari bagian hulu turun dengan membawa serta lumpur dan partikel tanah. Akibatnya, dasar sungai pun mengalami sedimentasi dan bertambah dangkal. Badan sungai tidak mampu menampung air sehingga meluap membanjiri daerah hilir yang lebih rendah.

"Kondisi seperti ini merupakan hasil akumulasi dari proses yang panjang. Jika tahun- tahun sebelumnya lingkungan sungai masih mampu menampung air yang turun dari hulu, pada tahun ini kondisi di hulu semakin kritis, ditambah kondisi pendangkalan yang semakin parah," katanya.

Adios mengatakan, jika penyebab dari banjir yang terjadi di Sumsel ini luput dari perhatian pemerintah, keadaan akan semakin buruk. "Pemerintah harus merehabilitasi hutan di daerah hulu. Areal itu harus dihutankan kembali. Rehabilitasi juga harus dilakukan di hilir dengan pengerukan sungai. Selain itu, penimbunan daerah tangkapan air di hilir juga harus dihentikan," kata Adios menjelaskan.

Masih banjir

Menurut pengamatan, sampai dengan Senin kemarin, banjir masih tetap menggenangi sejumlah daerah di Sumsel. Puluhan desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Muara Enim, dan Kabupaten Musi Banyuasin, serta sejumlah permukiman di beberapa kecamatan di Kota Palembang masih terendam air.

Banjir terjadi akibat meluapnya sejumlah sungai, seperti Sungai Musi, Sungai Lempuing, Sungai Rambang, Sungai Lematang, Sungai Lengi, dan Sungai Ogan. Luapan sungai-sungai tersebut tidak hanya menerjang permukiman dan lahan di sekitarnya, tetapi jauh ke lokasi-lokasi yang lebih rendah.

Luapan sungai besar pada tahun ini, menurut sejumlah penduduk, bahkan baru terjadi lagi setelah waktu yang cukup lama. Luapan besar Sungai Ogan di Desa Kasih Raja, Kecamatan Muara Kuang, Kabupaten Ogan Ilir, misalnya, menurut Sobri, warga desa itu, baru kembali terjadi sejak terakhir tahun 1961. "Tahun 2004 lalu, saat banjir terjadi di beberapa lokasi di Sumsel, Sungai Ogan di desa ini tidak meluap ke rumah warga," katanya.

Luapan Sungai Ogan di Kasih Raja mengakibatkan permukiman warga di dua blok tergenang air. Salah satu rumah, milik Neli, bahkan ambruk akibat diterjang air Sungai Ogan. Warga yang rumahnya terendam terpaksa mengungsi di rumah-rumah saudara mereka yang lokasinya lebih tinggi.

"Sungai Ogan meluap seperti ini pasti karena hutan di hulu sungai habis ditebang orang. Gara-gara hutan gundul, kami yang tinggal di daerah hilir sungai terkena getahnya," ucap Sobri. (DOT/MUL)

Post Date : 18 Januari 2005