Banjir di Sumsel, "Gajah di Pelupuk Mata" yang Tak Dilihat

Sumber:Kompas - 18 Januari 2005
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
SECARA leksikal, banjir sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, berarti air yang banyak dan mengalir deras, atau kali yang meluap. Atau secara geologi, banjir menggambarkan terbenamnya daratan yang biasanya kering karena volume air yang meningkat.

Kata itu telah menjadi kesepakatan umum. Namun, kesepakatan itu rupanya tak berlaku di Sumatera Selatan (Sumsel).

"Ini bukan banjir, hanya sungai yang kebetulan sedang pasang dan merendam rumah warga yang ada di tepian sungai. Itu pun baru sebatas tiangnya. Kalau kata orang sini hanya kacap-kacap," ujar seorang pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Musi Banyuasin.

Padahal, kondisi yang terlihat di sejumlah lokasi banjir persis seperti digambarkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hujan yang turun di daerah hulu mengakibatkan air Sungai Musi meluap.

Warga yang tinggal di bantaran sungai di Kota Palembang, misalnya, sebenarnya telah membangun rumah panggung dengan tiang penyangga setinggi 1,5 meter hingga dua meter. Luapan air Sungai Musi biasanya naik hingga ke kolong rumah, hanya menyisakan jarak beberapa jengkal dari lantai papan.

Namun saat pasang tinggi, air tak hanya membanjiri kawasan tepian sungai, tetapi sampai melimpas ke jalan.

Luapan Sungai Lempuing juga membanjiri kawasan pertanian di Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Akibatnya, ribuan hektar tanaman padi petani dipastikan akan membusuk.

Sementara di Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten Muara Enim, banjir menggenangi sedikitnya 11 sekolah dasar. Akan tetapi, pejabat di Pemkab Muara Enim mengatakan, banjir tak mengganggu aktivitas belajar murid-murid. "Hanya saja, siswa kelas satu dan kelas dua untuk sementara diliburkan, dan yang lain belajar bergantian di sekolah yang tidak tergenang," ujarnya.

Banjir yang telah dua pekan ini terjadi dan meluas di lima kabupaten di Sumsel serta di Palembang memang ibarat gajah di pelupuk mata yang tak dilihat. "Mungkin para pejabat itu baru akan mengakui wilayahnya kebanjiran setelah warga berdiri di atap rumah," cetus Asmiyati, seorang warga Desa Gunung Megang.

Di Palembang, tim SAR (search and rescue) yang disiapkan oleh Dinas Perhubungan kota itu, justru masih sibuk berlatih mendayung perahu karet, ketika di sejumlah kelurahan warga terpaksa keluar masuk kampung yang tergenang, dengan menggunakan ban.

MESKIPUN banjir mulai terjadi sejak pekan pertama Januari 2005, jajaran Pemerintah Provinsi Sumsel baru bergerak Selasa (11/1) pagi. Itu terjadi setelah Gubernur Sumsel Syahrial Oesman mendapat telepon dari salah satu radio swasta di Jakarta yang menanyakan kondisi terakhir banjir di wilayahnya.

Seusai talkshow langsung di radio itu, gubernur mendadak sontak mengumpulkan seluruh kepala dinas dan kepala biro. Mereka diperintahkan untuk membentuk posko penanganan banjir dan terjun langsung ke lapangan, karena belum ada satu pun laporan yang masuk dari kabupaten-kabupaten yang kebanjiran. Data tentang lokasi yang kena banjir justru didapat dari media massa cetak.

Tiga tim pemantau dengan membawa perahu karet dan beras langsung bergerak ke Lempuing (Kabupaten Ogan Komering Ilir), Gunung Megang (Kabupaten Muara Enim), dan Sekayu (Kabupaten Musi Banyuasin).

"Sampai ke lokasi sawah yang tergenang hari itu rupanya air sedang surut. Para petani sampai bengong melihat kami datang membawa perahu karet. Tetapi dari mereka kemudian kami baru tahu bahwa tahun- tahun sebelumnya banjir bahkan sampai sebatas dada, dan baru tahun ini ada perhatian dari pemerintah provinsi," ujar salah seorang anggota tim.

Posko penanganan banjir yang berada di kecamatan pun terkesan tidak siap. Di Kantor Kecamatan Gunung Megang yang menjadi posko terlihat kosong melompong. Bahkan data jumlah korban pun belum ditulis, meskipun banjir sudah berlangsung beberapa hari.

Di dinding kantor hanya ditempel data desa dan jumlah penduduk yang diperkirakan terancam banjir. "Posko kami siaga 24 jam jika sewaktu-waktu ada kejadian yang luar biasa akibat banjir," ujar Camat Gunung Megang Emran Tabrani.

Warga Desa Gunung Megang Luar yang setiap tahunnya rutin terkena banjir, pada mulanya juga menganggap banjir kali ini sebagai kejadian alam yang lazim. Tak heran tiap rumah di desa tersebut memiliki sebuah sampan sebagai kendaraan di kala banjir.

Namun ketika air tidak juga mengering setelah 10 hari, warga mulai gelisah. Bayangan banjir besar yang nyaris menenggelamkan desa mereka pada tahun 1992 mulai menghantui. Saat itu warga terpaksa mengungsi ke atas rel kereta api yang berada tak jauh dari desa mereka, karena hanya di tempat itulah yang tidak terendam air.

"Biasanya air paling lama bertahan tiga hari. Tapi sekarang sudah lebih dari seminggu air tidak juga surut. Pada pagi hari air memang surut, tetapi menjelang siang air naik dengan cepat," kata Mesriadi, warga Desa Gunung Megang Luar.

Kali ini warga mulai merasakan akibatnya. Banjir telah telah terjadi dan menyengsarakan hidup mereka.

DI Provinsi Jambi, banjir akibat meluapnya Sungai Batanghari hingga Senin kemarin juga masih berlangsung. Kawasan permukiman di puluhan desa di Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batanghari, dan Kota Jambi sudah dua bulan dilanda banjir.

Lahan yang terkena banjir termasuk hampir 20.000 hektar lahan pertanian sehingga tidak bisa digarap. Penduduk yang tinggal di kawasan yang dilanda banjir sebagian besar memang petani sayuran dan palawija. Kini mereka bingung, karena tidak ada lapangan kerja lagi.

"Kami berharap banjir akibat meluapnya Sungai Batanghari cepat surut agar lahan bisa digarap untuk ditanami sayuran dan palawija," ujar Ramli (35), penduduk Desa Teluk Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Batanghari. Teluk Jambi terletak 25 kilometer sebelah timur laut Kota Jambi.

Puluhan desa di Kecamatan Kumpeh Ulu, Kumpeh Ilir, dan Maro Sebo di Kabupaten Muaro Jambi dilanda banjir sejak akhir November 2004 dengan ketinggian sekitar 50 sentimeter hingga 1,5 meter. Lokasi yang sudah lebih dulu dilanda banjir adalah puluhan desa dan kelurahan di Kecamatan Jambi Luar Kota dan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi, Kota Jambi, dan Kabupaten Batanghari.

Sekitar empat hingga enam bulan dalam setahun, sebagian lahan pertanian di Desa Mekar Sari dan berbagai desa lainnya di Kercamatan Kumpeh Ilir dan Kumpeh Ulu memang selalu dilanda banjir. Banjir tahunan itu menyebabkan mobilitas dan sebagian aktivitas masyarakat terganggu dan lahan tidak bisa digarap.

Bagi penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) dan kawasan rawan banjir di Provinsi Jambi sedikitnya ada tiga cara untuk menghadapi air. Pertama, dihindari, yaitu pindah ke tempat yang lebih tinggi, aman dari banjir. Kedua, dilawan, misalnya dengan membuat dam atau tanggul sehingga limpahan air sungai pada saat musim hujan tidak masuk ke kawasan permukiman. Namun, cara kedua ini mustahil bisa dilakukan karena biayanya luar biasa besar. Ketiga adalah bersahabat dengan air.

Bersahabat dengan air. Cara inilah yang ditempuh oleh penduduk Desa Mekar Sari dan desa lainnya bekas Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) di Kecamatan Kumpeh Ilir dan Kumpeh Ulu. Mereka tinggal di rumah panggung yang aman dari banjir, menggunakan perahu sebagai sarana transportasi, dan menangkap ikan.

Warga Jambi yang tinggal di DAS Batanghari, DAS Batang Tembesi, dan sungai lainnya sejak dulu kala sudah terbiasa dengan banjir. Rumah tempat tinggal dibuat berbentuk panggung sehingga aman dari banjir rutin. Kehidupan mereka akrab dengan rakit dan perahu. (doty damayanti/ h nasrul thahar)

Post Date : 18 Januari 2005