Banjir Ibu Kota

Sumber:Koran Sindo - 19 Januari 2009
Kategori:Banjir di Jakarta

DALAM beberapa pekan terakhir Ibu Kota Jakarta kembali mengalami banjir. Genangan air juga terjadi di berbagai tempat. Bahkan pekan lalu banjir di Jakarta sempat mencapai ketinggian tiga meter di sejumlah tempat.


Banjir semacam ini datang hampir setiap tahun. Karena itu banyak pihak menganggap musibah tersebut sebagai sesuatu yang rutin, sehingga upaya penanganannya pun terkesan seadanya. Hal ini mirip dengan sikap kita yang selalu menganggap sakit masuk angin sebagai hal biasa, sehingga cukup disembuhkan dengan kerokan.

Dalam berbagai potret di media maupun televisi, kita selalu mendapati senyum mereka yang terkena musibah, seakan tidak ada perasaan sedih menghadapi peristiwa semacam itu.Namun,apakah memang demikian? Secara pribadi saya pernah mengalami musibah banjir sampai beberapa kali.

Pengalaman itu terjadi sewaktu saya menumpang di rumah kakak saya di bilangan Slipi Sawah, yang sekarang memiliki nama lebih keren, yaitu Anggrek Rosliana. Banjir yang saya alami pada 1979 tersebut berlangsung dua kali. Setiap kali, banjir mencapai ketinggian dada orang dewasa pada rumah yang berjarak sekitar 100 meter dari Sungai Sekretaris.

Selain membawa lumpur dan kotoran sangat tebal, banjir senantiasa menimbulkan trauma pada banyak orang. Sering banjir juga membawa serta binatang buas seperti ular atau buaya. Setiap kali hujan turun, warga sudah mulai bersiap untuk menghadapi pengalaman tidak enak tersebut.

Jika air sudah mendekati rumah,berbagai upaya mulai dilakukan untuk mengurangi dampak banjir, seperti menumpuk karung pasir, meninggikan letak perabotan yang bernilai tinggi, dan sebagainya. Banjir membuat kita harus menguras energi yang tidak perlu. Pada akhirnya, kualitas hidup warga menjadi jauh menurun akibat banjir.

Mungkin tampak seperti mengada-ada untuk mengatakan banjir meninggalkan trauma yang membekas cukup lama untuk dihilangkan. Pada saat saya memperoleh tugas belajar di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu kemudian, trauma tersebut sesekali masih muncul.

Suatu ketika saya bermimpi mengalami banjir di tempat kami, padahal apartemen kami cukup tinggi. Tampaknya perasaan khawatir akan terjadinya banjir masih terus menghantui, meskipun tempat saya tinggal jauh dari keadaan semacam itu.

Normalisasi Sungai

Warga Slipi Sawah maupun daerah lain yang dialiri oleh Sungai Sekretaris cukup beruntung. Beberapa tahun kemudian sungai tersebut diperbaiki dengan normalisasi besar-besaran. Sungai yang berkelok-kelok diluruskan, dasar sungai dikeruk dan dibersihkan,serta tebing ditinggikan.

Di sisi sungai juga dibangun jalan inspeksi serta diaspal. Rasanya upaya penanggulangan banjir tersebut merupakan anugerah sangat besar bagi warga yang dilewati sungai tersebut. Bayangkan, sungai yang tadinya merupakan sumber petaka bagi banyak orang akhirnya berubah.

Bahkan jalan inspeksi yang baru akhirnya justru menjadi akses yang penting bagi warga untuk memperpendek jarak mereka ke tempat kerja. Sekitar tiga puluh tahun kemudian, sungai tersebut masih tetap terjaga rapi.Tak sekalipun terjadi banjir, meski di tempat-tempat lain masih dilanda musibah tersebut.

Upaya penanggulangan banjir tiga puluh tahun lalu pada sebuah sungai di Jakarta memberi hasil menggembirakan. Ini berarti bahwa kita tidak bisa mengambil kesimpulan yang bersifat umum bahwa banjir tidak bisa ditanggulangi. Tanyakan kepada warga yang usianya cukup tua dan masih tinggal di daerah tersebut, mereka pasti bisa menceritakan pengalaman itu.

Normalisasi sungai tampaknya merupakan upaya yang bisa dilakukan pada banyak segmen sungai yang sering membawa banjir. Pelurusan alur sungai serta pendalamannya maupun peninggian tebing merupakan langkah sangat elementer yang dapat dilakukan pemerintah daerah.

Jika upaya normalisasi dilakukan secara serius, hasilnya bisa dinikmati oleh ribuan keluarga yang sebelumnya selalu menjadi korban banjir. Beberapa sungai yang sering saya lewati dalam perjalanan ke kantor merupakan sungai yang sering membawa petaka tersebut. Sebagai contoh adalah sungai yang melewati daerah Kebon Jeruk dan Kedoya.

Dalam penglihatan sepintas, sungai tersebut mirip Sungai Sekretaris, yaitu alurnya berbelok-belok, kedalaman sungai cukup dangkal, serta daerah sisi sungai menebal sebagai bawaan sedimentasi. Sungai semacam ini rasanya bisa ditangani sebagaimana Sungai Sekretaris.

Pada akhirnya yang sering menjadi penghambat upaya penanggulangan banjir semacam ini adalah keterbatasan anggaran. Upaya normalisasi sungai memang memakan biaya besar karena harus melakukan penggusuran dan pembayaran ganti rugi bagi warga yang tinggal di bantaran sungai.

Jika setiap tahun anggaran penanggulangan banjir disebar rata di berbagai sungai, hasilnya adalah suatu upaya yang sangat marginal sifatnya. Saya pernah mengamati ”Proyek Kali Bersih” yang rincian proyeknya ditulis di papan nama di pinggir sungai tersebut, tetapi saya tidak melihat sama sekali pengerjaannya sampai tahun anggaran berakhir.

Mungkin saja nilai proyeknya terlalu kecil sehingga di lapangan jumlah dananya dengan mudah terbang menjadi uap. Karena itu, pengelolaan anggaran semacam ini menjadi penting sekali. Dengan keterbatasan anggaran, seyogianya dana diarahkan kepada berbagai sungai menurut prioritas.

Daripada dana disebar kepada 20 sungai dalam tahun yang sama, maka anggaran bisa dipusatkan kepada dua atau tiga sungai yang menjadi prioritas, tetapi dikerjakan secara sungguh-sungguh sebagaimana yang terjadi pada Sungai Sekretaris.Siapa tahu sisa anggaran yang disiapkan untuk stimulus fiskal bisa sebagian dimanfaatkan untuk penanggulangan banjir.

Jika sampai lebih dari 30 tahun proyek tersebut masih bisa bertahan dari serangan banjir, sebagaimana Sungai Sekretaris (dan bukan tidak mungkin daerah itu masih akan selamat dari banjir lebih dari 30 tahun lagi),maka setiap tahunnya akan ada tambahan daerah yang dialiri dua atau tiga sungai yang dinormalisasi, yang akhirnya dapat diselamatkan dari banjir.

Ini berarti, dalam masa satu pemerintahan akan dapat dilakukan normalisasi terhadap lebih dari 10 sungai. Itu merupakan kontribusi bagi warga dalam jumlah yang sungguh sangat berarti. Setiap hujan, kita hanya bisa membayangkan doa mereka yang menjadi warga daerah banjir tersebut,”Semoga pemerintah kami memiliki kearifan untuk bisa memahami penderitaan warganya. CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO Pengamat Ekonomi
 
 



Post Date : 19 Januari 2009