Banjir Rendam Aceh Tenggara

Sumber:Kompas - 27 April 2012
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Aceh Tenggara, Kompas - Lima desa di wilayah Kecamatan Bambel dan Lawe Sumur, Aceh Tenggara, terendam banjir, Rabu (25/4) malam. Ini merupakan banjir kedua dalam sebulan terakhir di wilayah kabupaten tersebut. Kerusakan lingkungan di Kawasan Ekosistem Leuser jadi penyebab utama.
 
Air mulai mengalir ke permukiman warga sekitar Sungai Lawe Kinga pada Selasa (24/4) malam. Namun, hujan deras yang mengguyur wilayah tersebut pada Rabu membuat luapan banjir kian meninggi hingga Rabu malam. Ketinggian air sempat mencapai 1 meter di sejumlah desa di wilayah Bambel dan Lawe Sumur.
 
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Tenggara Rajadun Pelis mengatakan, air sudah mulai surut pada Kamis. Di beberapa tempat air masih merendam, tetapi telah berangsur surut. ”Air ada yang ke perkebunan dan permukiman warga, tetapi saat ini sudah surut,” kata Rajadun.
 
Banjir sempat menggenangi jalan-jalan utama di wilayah Bambel dan Lawu Sumur. Arus transportasi sempat terganggu. Kendaraan roda dua dan mobil jenis sedan tidak bisa melintas.
 
Bahkan, aktivitas belajar di SD Lawe Ijo dihentikan karena ketinggian air di area sekolah lebih dari 1 meter. Sebaliknya, aktivitas di SD Pinding yang sempat terhenti juga akibat banjir, kemarin, para murid beserta guru mulai membersihkan area sekolah.
 
Pada 12 April lalu, ratusan keluarga di Aceh Tenggara mengungsi akibat banjir yang melanda tiga desa di Kecamatan Bukit Tusam. Ketiga desa yang dihantam banjir bandang tersebut adalah Desa Rikit Bur, Kuning Atas, dan Lawe Dua.
 
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh TM Zulfikar mengatakan, banjir yang melanda Aceh Tenggara itu merupakan bukti bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sama sekali belum memihak pada usaha pelestarian lingkungan dan menjauhkan Aceh dari bencana ekologis.
 
”Apa yang terjadi di Aceh Tenggara sebenarnya jauh-jauh hari sudah kami ingatkan. Wilayah bencana itu merupakan Kawasan Hutan Lindung Serbolangit yang masuk dalam KEL yang dilindungi. Jelas sekali di kawasan ini telah terjadi alih fungsi lahan yang sangat tinggi akibat kebijakan pemerintah yang salah urus,” katanya.
 
Pemda setempat dalam beberapa waktu terakhir justru membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kakao sebanyak 5 juta pohon. Wilayah ini awalnya adalah hutan kemiri yang kemiringannya 25 sampai 45 derajat sehingga sangat tidak cocok dikonversi atau dialihfungsikan dengan tanaman kakao.
 
Pada tahun 2006, lanjut Zulfikar, Walhi Aceh melakukan riset terhadap kondisi titik rawan bencana (longsor dan banjir bandang) dan hasilnya telah diserahkan kepada Pemda Aceh Tenggara. Namun, berbagai hasil dan rekomendasi yang diberikan tidak ditindaklanjuti dengan baik dan serius. (HAN)


Post Date : 27 April 2012