Banjir: Tanggul Vs Tangan

Sumber:Kompas - 29 Desember 2011
Kategori:Banjir di Jakarta
Memasuki musim hujan akhir 2011, perhatian publik terwacanakan pada masalah longsor, banjir, dan dampak ikutannya. Siklus banjir besar lima tahunan diperkirakan terjadi pada awal 2012.
 
Bahkan, baru-baru ini banjir besar sudah melanda Nias dan Aceh Singkil. Pada kondisi demikian, pemerintah dan pihak terkait biasanya sudah mengantisipasi dengan berbagai kegiatan, seperti normalisasi drainase perkotaan dan pembuatan tanggul-tanggul tebing sungai. Pemecahan masalah banjir sering kali mengedepankan pendekatan fisik. Banjir dipahami lebih sebagai masalah sektor dan karenanya dipecahkan melalui dominasi fisik prasarana.
 
Fisik dan parsial
 
Dominasi pendekatan fisik dan parsial yang begitu kental tercirikan dari banyak investasi pemerintah dalam membangun tanggul-tanggul sungai di mana-mana. Pelurusan sungai dengan membangun tanggul-tanggul sungai dan tebing beton sumber-sumber air lainnya ditemui di banyak tempat. Boleh jadi istilah ”penanggulangan” dalam mengatasi masalah banjir merefleksikan dominasi pendekatan tersebut. Kini, banjir jadi sebuah kata yang telah mewabah dan kian menakutkan.
 
Pembuatan tanggul sungai (baca: penanggulangan) yang tak selektif dan parsial justru kontraproduktif. Genangan air di suatu wilayah yang berkurang boleh jadi membuat banjir di daerah lain. Dengan demikian, penanggulangan yang dilakukan tidak selektif dan komprehensif cenderung memindahkan masalah dan menambah biaya pemeliharaan.
 
Otoritas Sungai Emon, Distrik Vetlanda di Swedia—yang pernah penulis kunjungi—tak mengizinkan petani membangun tanggul guna menghindari genangan air banjir. Pemecahan parsial inilah yang dihindari. Cara pemecahan masalah semacam ini juga lebih bersifat simptomik; akar masalah yang menyebabkan sedimentasi dan penyempitan badan-badan air bahkan tidak pernah disentuh secara komprehensif.
 
Penanggulangan dan pembangunan prasarana pengairan lainnya yang tak memperhatikan kelestarian lingkungan, termasuk habitat air, hanya menambah deret masalah ikutannya. Siklus kehidupan aneka ikan dan biota air lain bisa terputus. Akibatnya, kelestarian sumber pangan dan nutrisi bagi masyarakat terancam.
 
Potret banjir yang kejadiannya kian intensif dan ekstensif, disadari atau tidak, merupakan respons balik alam atas perbuatan tangan manusia. Boleh jadi, bencana longsor, banjir, dan kekeringan di mana-mana berikut dampak ikutannya merupakan akibat investasi pembangunan yang sporadis dan parsial tanpa arah yang jelas. Motif kepentingan (elite) ad hoc kedaerahan disinyalir turut mempercepat laju degradasi lingkungan.
 
Ketenangan hidup dan kohesi sosial yang telah lama berkembang juga terusik keberadaannya. Melemahnya akses masyarakat pada pangan dan nutrisi, air bersih, dan kesehatan, yang sangat bergantung pada keberadaan sungai yang sehat, bersih, dan produktif, benar-benar telah mengancam harkat dan martabat bangsa Indonesia.
 
Lalu, apa kaitan banjir dengan tangan? Istilah ”penanganan” berasal dari kata tangan. Kata ini telah muncul dalam Al Quran sejak berabad-abad lalu. ”Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia; supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS 30:41).
 
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa bencana banjir terkait erat dengan ”tangan”, yang berarti regulasi, program, dan anggaran pemerintah. Banyak investasi penghijauan, bangunan penahan banjir, dan pengerukan lumpur terbukti tidak efektif.
 
Kejadian bencana alam yang kian intensif dan ekstensif menjadi contoh nyata. Baru-baru ini, diberitakan bahwa sebagian Jakarta bagian utara telah mulai tergenang air. Ancaman banjir bukan hanya dari wilayah hulu, melainkan juga dari rob akibat kenaikan muka air laut. Lebih dari itu, mengapa di daerah parkir air bisa berdiri bangunan? Mengapa sempadan badan-badan air bisa bersertifikat? Ini semua karena ”tangan” yang tidak akuntabel.
 
Selain itu, masalah banjir yang multidimensi dan kompleks masih dipecahkan dengan cara-cara konvensional dan sendiri-sendiri. Tindakan kuratif lebih dominan daripada preventif yang komprehensif. Sifat dasar ekosistem alam yang saling mengait antarsubsistem dibaca dengan tupoksi pemerintahan sektoral. Akibatnya, diagnosis atas masalah melahirkan kebijakan, program, dan anggaran yang kurang tepat. Pembangunan acapkali dilihat dari angka-angka dan volume-volume yang tak menyentuh akar masalahnya. Keterkaitan hulu-hilir dan keadilan lingkungan pun belum jelas wujudnya.
 
Perlunya pendekatan DAS
 
Penanganan atas masalah banjir perlu mengadopsi pendekatan wilayah sungai. Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Secara kontekstual, definisi ini didukung oleh kenyataan bahwa hubungan hulu-hilir dan darat-lautan sebagai cermin ekosistem. Karena itu, satu kesatuan pengelolaan adalah keniscayaan.
 
Setidaknya dua ranah pemecahan perlu dikedepankan. Pertama, perlu mengembangkan kolaborasi sinergis antarinstansi dan pihak terkait, baik secara horizontal maupun vertikal. Prakondisi yang harus dibangun adalah tapak bersama (common ground) sebagai refleksi pengakuan bahwa persoalan kompleks dan saling mengait di atas tak akan pernah terpecah dengan baik melalui intervensi sporadis dan sektoral, yang cenderung menafikan kerangka pendekatan DAS secara utuh.
 
Acuan hasil yang multidimensi dan berjenjang perlu dirumuskan bersama agar target yang terukur mencerminkan komitmen kebersamaan. Pola realisasi progresif atas ”hasil kebersamaan” akan jadi alat pemantauan yang baik. Untuk itu, sangat diperlukan mekanisme penataan yang kuat. Kepemimpinan yang tangguh dan penganggaran yang paham atas persoalan dan akar masalah serta urgensi keterpaduan tidak bisa ditawar.
 
Kedua, kebijakan dan program komprehensif. Pendekatan simptomik dan sektoral telah disadari tak mampu menyentuh persoalan banjir dan akar masalahnya yang sangat kompleks. Arahan dan acuan ataupun strategi yang dibangun di atas (ranah pertama) ditindaklanjuti oleh kebijakan dan program yang komprehensif. Hasil multidimensional yang telah ditetapkan bersama perlu dirumuskan dalam indikator-indikator capaian.
 
Intinya, tak ada persoalan dan akar masalah yang boleh terlewatkan. Strategi delegasi dengan pengelompokan dan penjenjangan persoalan patut didorong untuk menjamin lahirnya gerakan-gerakan variatif dan simultan yang mengarah pada ”pemanenan hasil” yang telah ditetapkan bersama.
 
Munawir Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Air dan Lahan LP3ES


Post Date : 29 Desember 2011