Beban Berat, Dana Mepet

Sumber:Kompas - 01 Desember 2007
Kategori:Climate
Keinginan negara-negara selatan mengeksploitasi hutan mereka guna menyejajarkan diri dengan negara di belahan utara terganjal. Pasalnya, hutan yang tersisa di wilayah mereka telah dipatok sebagai paru-paru bumi untuk menekan emisi gas rumah kaca agar tak semakin koyak. Negara-negara selatan yang rata-rata miskin dan tertinggal itu dibebani misi baru: menjadi penyelamat bumi yang sebenarnya sudah lebih dulu dirusak oleh negara maju di utara. Adakah kompensasi yang sepadan?

orongan besar-besaran untuk menjaga hutan baru datang setelah lebatnya hutan di belahan bumi utara habis menjadi bahan bakar lokomotif industri. Selubung ozon penyelimut bumi pun koyak oleh semburan miliaran ton polutan dari industri yang tumbuh pesat di Eropa dan Amerika. Sengatan matahari bebas menerjang bumi. Gas polutif itu juga menimbulkan efek rumah kaca, menjebak sinar matahari yang semestinya dipantulkan kembali ke angkasa. Dunia makin panas. Es di kutub tak lagi abadi, dengan pasti ia meleleh, membuat permukaan air laut terus naik. Iklim berubah, menciptakan ketidakpastian.

Negara-negara miskin di belahan selatan yang terlambat merespons industrialisasi pun dilirik. Muncul gerakan global, yang tiba-tiba. Hutan-hutan yang tersisa tak boleh diusik karena menjadi benteng terakhir untuk menekan laju pemanasan global.

Lalu dari mana negara-negara selatan, termasuk Indonesia, bisa membiayai pembangunan mereka yang tertinggal? Belum lagi, perubahan iklim global menuntut adaptasi besar-besaran karena pranata alam sudah telanjur berubah.

Seorang panelis menyebutkan, kebutuhan pendanaan adaptasi untuk Indonesia di berbagai sektor pembangunan diperkirakan sangat besar. Indonesia memiliki garis pantai sangat panjang, yang rentan terhadap dampak kenaikan permukaan air laut. Ratusan pulau di nusantara dikhawatirkan akan tenggelam. Ancaman kelaparan akibat kegagalan panen juga makin nyata. Padahal, kemampuan petani untuk beradaptasi dengan perubahan iklim makin buruk.

Pohon uang

Mau tak mau, Indonesia memang harus bergegas beradaptasi terhadap perubahan iklim dampak pemanasan global. Namun, mekanisme pendanaan konvensional yang berasal dari APBN dan APBD sepertinya tak akan memadai. Dipastikan, Indonesia tidak akan mampu sendirian mendanai dampak perubahan iklim global ini. Lagi pula, hingga saat ini, perhatian penyusun anggaran mengenai dampak pemanasan global masih sangat minim.

Harapan terbesar adalah dengan menagih janji negara-negara maju yang akan memberikan dana besar untuk kompensasi pengurangan emisi penggundulan hutan di negara berkembang. Dengan perdagangan karbon, yang telah diratifikasi oleh Protokol Kyoto, setiap pohon yang dikonservasi adalah sumber uang.

Juga telah dijanjikan bantuan dana untuk adaptasi. Indonesia pun ikut beramai-ramai menempatkan diri sebagai korban dalam isu pemanasan global, dengan menuntut dana dari negara-negara maju itu.

Akan tetapi, ini ternyata bukan masalah yang mudah. Sumber pendanaan yang ditawarkan melalui konvensi lingkungan hidup internasional (MEA) itu ternyata tidak sebanding dengan kebutuhan pendanaan untuk adaptasi.

Indonesia baru mendapat kepastian dana melalui mekanisme Resource Allocation Framework (RAF) yang dikelola GEF Trust Fund. Dana untuk Indonesia yang telah disepakati adalah sebesar 16,3 juta dollar Amerika Serikat (AS) sampai tahun 2011. Dan, sebanyak 8,1 juta dollar AS di antaranya sudah teralokasikan untuk membiayai program hingga tahun 2008. Dengan alokasi sebesar ini, Indonesia menempati urutan ke-11 terbesar di dunia. Hanya saja, kesenjangan dana dengan China, yang berada di urutan pertama, sangat besar. China memperoleh alokasi hampir 150 juta dollar AS dan untuk 2008 sudah diprogramkan sebesar 75 juta dollar AS.

Sumber dana yang lain, yaitu melalui Strategic Priority on Adaptation (SPA) dan konvensi UNFCCC-SCCF, belum dimanfaatkan Indonesia. Potensi pendanaan SPA yang ada mencapai 50 juta dollar AS dan sudah 30 juta dollar AS yang diambil negara lain. Adapun potensi pendaan SCCF sebesar 75 juta dollar AS sudah habis diserap negara-negara lain. Bahkan, permintaannya hampir dua kali lipat dari dana yang tersedia. Bisa dibilang, peluang Indonesia untuk mengirimkan proposal ke SCCF sudah tertutup.

Sementara potensi dana sebesar 150 juta dollar AS yang tersedia di UNFCCC-LDCF tidak memungkinkan diambil Indonesia karena Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara miskin (LDC).

Kekhawatiran Indonesia akan tercecer dalam perebutan sumber dana multilateral untuk mendanai adaptasi perubahan iklim memang cukup besar. Pasalnya, sebagaimana dituturkan seorang panelis, sejauh ini belum ada pihak yang menghitung secara rinci berapa besaran dana yang dibutuhkan Indonesia itu sehingga proposal bantuan pun sulit diajukan.

Sektor keuangan nasional memang belum tanggap terhadap isu perubahan iklim. Dengan demikian, peluang-peluang pendanaan yang ada dikhawatirkan bisa hilang begitu saja.

Dana bilateral

Di tengah peluang pendanaan multilateral yang kian tertutup, Indonesia kini melirik sumber dana dari negara lain melalui lobi bilateral. Salah satunya adalah Australia. Walaupun tidak ikut meratifikasi Protokol Kyoto, Australia disebut-sebut sudah berjanji untuk membantu Indonesia di sektor kehutanan.

Jumlahnya memang belum pasti, tetapi alokasi yang mereka berikan untuk sektor kehutanan itu hampir 100 juta dollar Australia. Tahun ini Indonesia sudah melakukan kesepakatan dengan Australia untuk memanfaatkan dana hampir 10 juta dollar Australia tersebut.

Negara lain yang sudah menyatakan komitmennya untuk membantu Indonesia adalah Jerman. Inggris yang juga memprioritaskan perubahan iklim pun tengah dilobi.

Dalam posisi sebagai negara "korban" perubahan iklim akibat pemanasan global, Indonesia memang harus terus melobi negara-negara kaya. Namun, sebagaimana diingatkan seorang panelis, yang tak boleh dilupakan adalah menempatkan masalah perubahan iklim ini menjadi arus utama pembangunan nasional. Dengan demikian, nantinya dana-dana melalui APBN atau APBD bisa betul-betul tanggap terhadap dampak perubahan iklim di dalam setiap alokasinya.

Lebih dari itu, di tengah kesibukan memburu dana, yang juga harus disiapkan adalah bagaimana mengalokasikan secara benar anggaran yang sudah didapat. Dengan demikian, terbebas dari korupsi yang selama ini menjadi momok bagi pembangunan di negara ini. Oleh Ahmad Arif



Post Date : 01 Desember 2007