Belajar Atasi Banjir Dari Belanda

Sumber:Media Indonesia - 18 Maret 2004
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
BENCANA banjir di Kota Medan senantiasa menjadi momok menakutkan. Banjir bisa terjadi kapan saja ketika hujan lebat atau meningginya debit air di sejumlah sungai di kota ini akibat kiriman dari daerah lain.

Untuk mengatasi masalah itu, Pemerintah Kota Medan berupaya mengatasi dengan membangun berbagai proyek pengendali banjir, di antaranya proyek Medan Metropolitan Urban Development Project (MMUDP) yang dibiayai dengan dana pinjaman dari Asian Development Bank (ADB). Namun, proyek bernilai ratusan miliar rupiah itu hasilnya tidak memuaskan. Sebab, ketika terjadi hujan lebat dalam waktu satu atau dua jam saja, sejumlah kawasan Kota Medan tetap tergenang air.

Kenyataan itu sering kali menuai kritik dari sejumlah kalangan anggota legislatif, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), pengamat perkotaan dan lingkungan, bahkan langsung dari masyarakat. Mereka menilai proyek pengendalian banjir yang dibangun hanya proyek sia-sia dan menghabiskan uang pinjaman yang akan menjadi beban rakyat.

Wali Kota Medan Abdillah mengakui bahwa sejauh ini pihaknya belum memiliki program pengendalian banjir yang komprehensif. Menurutnya, penanganan banjir masih bersifat parsial dan belum terkoordinasi dengan baik. Namun, ujarnya, saat ini Pemerintah Kota (Pemkot) Medan telah menyadari pentingnya sinkronisasi penanganan banjir yang dilakukan untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Menurut Abdillah, saat ini pihaknya telah mendatangkan tim ahli pengendali banjir dari Belanda. Tim yang berjumlah tujuh orang dan dikoordinasikan oleh HJ Deehan itu dalam waktu sepekan akan melakukan penelitian langsung ke lapangan melihat permasalahan banjir di ibu kota Sumatra Utara.

Abdillah berharap tim pengendali banjir dari Negeri Kincir Angin itu mampu memecahkan persoalan yang selalu menghantui warga Kota Medan. ''Mudah-mudahan tim dari Belanda ini dapat bekerja maksimal dalam memecahkan persoalan bencana banjir di Kota Medan,'' ujarnya usai menerima tim ahli pengendali banjir dari Belanda, beberapa waktu lalu.

Kepada tim, Abdillah menyatakan bahwa riol-riol (saluran air) di Kota Medan yang dibangun pada masa penjajahan Belanda umumnya masih terjaga baik. Namun, karena banyak endapan yang mengeras, akibatnya aliran air tersumbat.

Cari penyebab

Koordintor tim pengendalian banjir HJ Deehan mengatakan, pihaknya akan berupaya keras untuk mencari penyebab bencana itu. Menurut dia, timnya akan melakukan penelitian selama sepekan..

Sebelum melakukan penilitian lebih lanjut, katanya, timnya sudah mendapatkan gambaran awal dari hasil peninjauan lapangan ke sejumlah drainase dan sungai yang mengalir di kota ini, antara lain Sungai Denai, Kera, Deli, Babura, Parit Mas, Parit Sulang Saling, Sikambing, dan Sungai Belawan.

Dari peninjauan itu, ujarnya, tim sudah dapat mengidentifikasi mengenai kedalaman, luas, dan hambatan-hambatan yang dialami masing-masing sungai. Begitu juga dengan pengecekan drainase dan alur pembuangan air ke sungai yang akan dijadikan bahan observasi selanjutnya.

''Dari peninjauan awal, kami melihat bahwa sudah banyak sungai di Kota Medan yang mengalami pendangkalan, sehingga debit air bertambah, sungai itu meluap,'' kata Deehan.

Pengamat lingkungan dari Universitas Sumatera Utara (USU) Jaya Arjuna berharap kedatangan tim ahli pengendali banjir dari Belanda ini bukan sekadar proyek parsial, melainkan benar-benar dapat menjawab permasalahan di Kota Medan.

Menurut Arjuna, belajar mengatasi banjir dari Belanda tidak ada salahnya. Sebab hal yang sama juga pernah dilakukan oleh beberapa kota besar lainnya seperti Jakarta dan Surabaya. Di Jakarta seorang Herman Van Breen telah membuat konsep sederhana namun butuh biaya tinggi yakni pengendalian air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Sedangkan di Surabaya belajar pada konsep yang disampaikan Louis AM Verhaagen.

Terlepas dari itu semua, kata Arjuna, sebenarnya cara konkret dalam mengatasi banjir dapat dilakuan dengan mengacu pada filosofi air yang selalu akan mengalir ke daerah yang lebih rendah. Menurutnya, secara geomorfologis Kota Medan tidak seperti Jakarta yang berada di bawah permukaan laut. Kota Medan justru masih 25-35 meter di atas permukaan laut. Usep Kurnia/Kennorton Hutasoit/N-2



Post Date : 18 Maret 2004