Belajar dari Kearifan Lokal

Sumber:Koran Jakarta - 05 Juni 2009
Kategori:Lingkungan

Madura terkenal sebagai pulau yang tanahnya tandus karena berjenis mediteran. Sebagian besar wilayah pulau garam itu juga terdiri dari batu-batu berkapur (lime store rock) sehingga sulit ditanami pohon. Curah hujan rata-rata per tahunnya 2.176 milimeter, dengan jumlah hariannya sekitar 100 hari per tahun. Karena kondisi tersebut, air menjadi sesuatu yang berharga bagi masyarakat Madura.

Namun, masih lekat dalam ingatan mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, di wilayah paling timur Madura, tepatnya di desa Guluk-guluk, Kecamatan Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, terdapat hutan buatan atas prakasa sebuah lembaga pendidikan Pesantren Annuqayah. Pakar lingkungan hidup itu menyaksikan secara langsung bagaimana kearifan lokal berperan besar dalam upaya melestarikan lingkungan hidup.

Kearifan lokal merupakan kebijakan manusia atau suatu komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal itu biasanya lekat dengan upaya mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya budaya secara berkelanjutan.

Kiai di Annuqayah mengerahkan para santrinya untuk menananam bibit pepohonan dan melarang untuk merusak maupun menebangnya. “Ketika saya tanyakan mengapa Pak Kiai memerintahkan santri menanam pohon? Beliau menjawab untuk menjalankan ibadah agama,” ujar Emil. Para penghuni pesantren, imbuh Emil, sebelum salat menghadap Sang Khalik, harus dalam keadaan bersih. Agar bersih, mereka pun membutuhkan air untuk berwudhu. Untuk menjamin air tetap ada meski pada musim kemarau, maka kelestarian sumber air pun harus dijaga.

Kelestarian sumber air bisa terjadi jika dilakukan penghijauan, sebab pohon-pohon yang ditanam itu dapat menyerap air hujan yang jatuh ke tanah dan kemudian mengalirkannya kembali setiap saat. “Mereka melakukan semua itu sebenarnya tidak pernah belajar tentang ekologi lingkungan di sebuah universitas ternama maupun mengikuti seminar-seminar. Mereka hanya mempraktikkan ajaran agama yang diyakini,” terang Emil.

Penghijauan di sekitar Pesantren Annuqayah dengan luas areal 2,5 hektare itu mulai dicanangkan pada 1978. Adapun bibit pohon yang ditanam antara lain lamtorogung, akasia, turi, dan kapu. Hanya dalam waktu tiga tahun, pegunungan yang sebelumnya tandus, terutama di sekitar pesantren, berubah menjadi hijau. Usaha penghijauan tersebut menorehkan penghargaan Kalpataru dari Presiden pada 1981.

Emil juga menceritakan contoh kearifan lokal lainnya. Berpijak pada falsafah trihitakarane (tiga sebab kesejahteraan) masyarakat adat Bali berusaha hidup selaras dengan Sang Pencipta, alam, dan manusia. Salah satu cara masyarakat Bali melestarikan lingkungan adalah persepsi adanya kawasan suci. “Mereka menjaga lingkungan dengan cara memberikan penghormatan pada hari-hari tertentu sebagai ungkapan rasa syukur,” ujar Emil.

Bagi masyarakat adat Bali, sumber-sumber mata air dianggap salah satu tempat yang sakral. Misalnya, tempat pertemuan dua sungai atau anak sungai yang disebut campuhan dan tempat bertemunya sungai dengan laut yang dikenal dengan sebutan loloan. Sumber-sumber air itu dipercaya memunyai kekuatan menyucikan. Oleh sebab itu, pada saat-saat tertentu, misalnya Hari Raya Nyepi, masyarakat adat Bali melakukan upacara Melasti ke sumber-sumber air, seperti danau, campuhan, atau loloan.

Sumber-sumber air tersebut berfungsi sebagai tirta, yang dalam prosesi upacara dipakai untuk memerciki bagian kepala, tubuh, dan kemudian diminum. Karenanya, masyarakat adat Bali secara sadar atau tidak, telah melakukan penjagaan dan konservasi lingkungan mata air agar tidak tercemar.

Selain air dianggap sebagai unsur penting untuk ritual keagamaan, sumber-sumber mata air juga diyakini masyarakat adat Bali sebagai sumber kesejahteraan. Pasalnya, air merupakan sumber daya alam yang sangat berguna untuk kegiatan bertani. Hal itu tecermin dalam sistem pengairan masyarakat adat Bali yang dikenal dengan sistem subak. Secara teknis, subak dapat mengairi seluruh persawahan warga secara adil dan merata.

Masyarakat desa adat Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, juga menggunakan aliran air subak sebagai pembangkit tenaga listrik.

Pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) merupakan pembangkit listrik tenaga air skala kecil yang ramah lingkungan. Teknologi sederhana tersebut digunakan untuk menggerakkan penggilingan beras di desa itu.

Masyarakat Tenganan Pegringsingan juga memiliki aturan yang disepakati bersama untuk tidak menebang pohon sembarangan, termasuk pohon milik pribadi yang tumbuh di pelataran rumah. Jika pakem itu dilanggar, warga akan mendapat sanksi berupa teguran bahkan dikeluarkan dari desa. berbagai sumber/awm/L-2



Post Date : 05 Juni 2009