|
LEA Jellinek, perempuan Australia bergelar doktor antropologi, tampak asyik berkutat dengan tong-tong sampah di Kampung Sukunan di Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, DI Yogyakarta. Saking asyiknya, tiga minggu ia mondok di rumah salah satu penduduk kampung itu, bahkan mempersiapkan satu kamar khusus untuk mengundang suaminya, yang juga seorang doktor di Monash University, Australia. Lea rupanya akan menjadikan kampung itu sebagai contoh verbal dalam menghimpun kepercayaan diri masyarakat kecil. Bagi Lea yang puluhan tahun bergelut dengan masyarakat miskin perkotaan, atau selama menjabat sebagai Director Australia Consortium For In Country Indonesian Studies (ACICIS), membuat masyarakat berdaya adalah hal yang sangat sulit. Baginya segala bentuk pemberian dengan istilah apa pun, sampai kredit mikro ekonomi, belum tentu mampu membangkitkan rasa percaya diri. Karena itu, ia lantas belajar kepada Ketua Yayasan Sukunan Bersemi, Iswanto, bagaimana cara menggerakkan masyarakat untuk terlibat aktif mengelola sampah rumah tangga. Mengapa harus Sukunan? Ternyata di kampung itu, Iswanto berhasil menggerakkan masyarakat untuk mengolah sampah secara mandiri, dan tidak bergantung pada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang disediakan pemerintah. Di kampung itu, segala jenis sampah bisa dimanfaatkan. Sampah organik disulap menjadi kompos, sampah nonorganik dipisahkan untuk didayagunakan kembali. Konsep daur ulang bukan hanya slogan. Di kampung itu, semua warga menghargai sampah dengan caranya tersen- diri. Iswanto, menggambarkan sistem yang telah mereka terapkan. Setiap rumah menyediakan dua gentong yang digunakan sebagai penampung sampah organik. Dalam kurun waktu tiga bulan gentong pertama akan terisi penuh, kemudian didiamkan selama tiga bulan sambil menunggu gentong lainnya penuh. Proses pendiaman itu, tak lain cara sederhana mengolah pupuk kompos. "Sampah akan terurai menjadi kompos yang bisa digunakan warga untuk budi daya tanaman di rumah. Proses penyimpanan itu harus dibarengi dengan sedikit tanah yang berfungsi menyerap air," ia menjelaskan. Sampah nonorganik, dipisah-pisahkan kemudian dimasukkan ke dalam drum yang telah disediakan di pinggir jalan kampung. Drum pertama untuk sampah plastik, drum kedua untuk kertas, dan drum ketiga untuk logam dan pecahan kaca. Dua kali dalam seminggu, petugas mengambil tumpukan sampah dalam drum. Sampah yang terkumpul tidak ada yang dibuang. Kertas laku dijual, apalagi logam. Khusus untuk sampah plastik yang berlapiskan aluminum foil, pada kemasan-kemasan bekas makanan, dijadikan bahan dasar kerajinan tas. Bagi pemulung, jangan harap kebagian sampah di kampung itu, kecuali mau menjadi mitra Sukunan. Dengan mengelola sampah itu, kata Iswanto, warga Sukunan yang terdiri atas 210 keluarga, berhasil menghemat dana sampah. Jika di tempat lain, dalam satu bulan pasti dipungut dana sampah Rp 3.000 sampai Rp 10.000, warga Kampung Sukunan justru bisa menghemat Rp 7.560.000 setiap tahun. "Dana itu, cukup untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan kampung dan mengganti drum-drum yang rusak," kata Iswanto, yang juga dosen Ilmu Kesehatan Lingkungan Poltekes Yogyakarta. Dana Hibah Kehadiran Lea di kampung itu ternyata punya arti besar. Iswanto menerangkan, Lea yang pertama kali membantu Sukunan menciptakan swakarsa pengelolaan sampah. "Awalnya memang butuh dana, dan dari Ibu Lea kami mendapat dana hibah dari seorang warga Australia. Jumlahnya 9.000 dolar Australia, yang kalau dirupiahkan kurang lebih Rp 60 juta," ia menambahkan. Lea lantas sering mengunjungi Iswanto di Sukunan untuk membantu menyosialisasikan program itu. "Kalau yang menjelaskan orang bule, orang akan lebih percaya daripada saya," kata Iswanto sembari tertawa. Lea menambahkan, sebelum ide itu diterapkan pada awal 2001, masyarakat pedesaan biasanya membakar atau menimbun sampah. "Nah, untuk meyakinkan masyarakat, saya ikut berpartisipasi menjelaskan sampah yang dibakar justru akan menimbulkan gas CO2 yang membahayakan kesehatan. Terutama sampah plastik. Wah, ternyata orang sini mau mengerti, dan justru mengatakan selama ini tidak ada orang yang memberitahukan hal tersebut," ujar Lea. Barang-barang logam, Iswanto menambahkan, kalau ditimbun di tanah, karatnya akan mengkontaminasi lingkungan. Racun itu akan terserap air sumur. Iswanto dengan bangga juga menceritakan Karang Taruna kampung itu pun tak kalah gesit. Mereka merancang tong-tong sampah berhias dari drum bekas. Setelah dihias, drum itu laku dijual. Begitu juga dengan para perempuan Sukunan. Setidaknya 17 perempuan di kampung itu, berhasil menyulap sampah menjadi barang kerajinan tas cantik. Atas panduan Alifia Fajarwati dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada dan Poppy Nelly dari Peri Urban Development in South East Asia (PUDSEA), perempuan-perempuan di kampung itu lantas merancang tas daur ulang berbahan dasar sampah plastik berupa kemasan kopi, minuman instan, parfum, dan barang bekas lainnya. Maka wajarlah jika pada Desember lalu Sukunan berhasil meraih gelar juara I lomba kreasi daur ulang sampah tingkat nasional yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dari jasa-jasa Lea pula, para perempuan itu lantas membuatkan tas-tas khusus sebagai oleh-oleh untuk orang Australia. Lea sambil menimang-nimang tas jalinan bekas bungkus kopi instan itu lantas mengatakan, "Ini sebenarnya yang diuntungkan perusahaan yang memproduksi sampah ini. Ini seperti promosi buat mereka. Harusnya mereka membayar atau paling tidak membantu kampung ini mengolah sampah-sampah mereka," ujar Lea. Namun, menurut Iswanto, itu hal yang sangat tidak mungkin. Kalaupun ada perusahaan yang datang, pasti akan menggugat. "Pernah memang, tapi justru kami akan gugat balik, bahwa mereka sudah menyumbang pencemaran lingkungan, sebab sampah kertas plastik itu susah didaur ulang, dan buktinya, di TPA-TPA, bungkus makanan dan minuman instan sama sekali diacuhkan oleh pemulung," ia menegaskan. Hari Peduli Sampah Lea dengan semangat lantas menyatakan, model pengelolaan sampah seperti di Sukunan itu akan dibawanya ke Australia dan tentunya dunia internasional. "Yang jelas saya akan memberikan laporan kepada keluarga Australia yang sudah menyumbang. Mereka sebenarnya sudah tahu apa hasil dari sumbangannya, tapi saya juga ingin memberi mereka oleh-oleh tas dari bekas bungkus ini," ucap Lea. Tetapi, yang paling penting, ujar Lea, dengan kebersamaan yang sudah tercipta di Sukunan itu, "badai atau tsunami" rumah bisa dihindari. Maksudnya? "Lihat saja, kampung ini dikepung sawah-sawah. Beberapa kampung di sekitar sini, dulunya juga begitu. Tetapi sekarang sawah-sawah sudah disulap menjadi lahan perumahan. Sayangkan? Dan yang terpenting, masyarakat harus ber-satu untuk menolak itu," ia menegaskan. Melihat apa yang dilakukan warga di Sukunan, barangkali tragedi longsornya gunung sampah di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari lalu, yang menewaskan ratusan orang, tidak akan terjadi. Dan semoga bukan hanya untuk mengenangnya lantas Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar mengusulkan tanggal itu menjadi "Hari Peduli Sampah", dan dibarengi dengan rencana undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan sampah. Pembaruan/Fuska Sani Evani Post Date : 14 September 2005 |