Belum Semua Warga Menikmati Air Bersih

Sumber:Suara Publik - 25 April 2007
Kategori:Air Minum
Indonesia memiliki 6 persen potensi air dunia atau 21 persen potensi air di Asia Pasifik. Namun setiap tahun kita mengalami krisis air bersih, secara kuantitas maupun kualitas. Sumber air alam semakin menyusut dan air bersih olahan semakin mahal. Tiga belas sungai yang melewati ibukota tercemar bakteri E-Coli, termasuk tujuh puluh persen air tanahnya. Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG's) 2015 terancam gagal.

"Sebanyak 300 kepala keluarga mengandalkan air hujan untuk keperluan sehari-hari. Mereka tidak punya sumber air lain, seperti sungai atau mata air". Begitu bunyi cuplikan berita pada Harian Kompas edisi 22 Maret 2007. Peristiwa ini terjadi bukan di kawasan kering seperti NTT atau Gunung Kidul, melainkan di Kampung Legok Pego di Desa Drawati, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Warga disana kebanyakan menampung air hujan dari atap rumah ke dalam jeriken-jeriken plastik untuk dimanfaatkan pada musim kemarau.

Menurut Kepala Dusun VI Desa Drawati Emen Suparman, kesulitan yang dihadapi warga kampung Legok Pego bukan hanya kelangkaan air. Infrastruktur yang buruk ditambah lokasi yang terpencil menyebabkan warga kesulitan mengakses sarana pendidikan dan kesehatan. Kepala Dusun menambahkan, dulu ada sembilan mata air yang terletak di perbukitan dan bisa mengalirkan air saat kemarau. Tapi sekarang, mata air itu berhenti mengalir. Warga yang membutuhkan air bersih harus berjalan kaki sejauh 3,5 kilo meter ke mata air terdekat. Sampai sekarang dinas sosial Kabupaten Bandung masih mencari cara menolong warga desa Drawati.

Lain masalah di kampung, lain pula di wilayah perkotaan.

Pertengahan Februari 2007, warga di kawasan Jakarta Utara mengeluhkan kenaikan harga air yang gila-gilaan. Seperti dilaporkan sejumlah media, harga air bersih di sebagian wilayah Jakarta Utara naik sampai lima kali lipat dari harga sebelumnya. "Dulu harga per gerobak (isi 6 jeriken) hanya 10 ribu. Sekarang naik jadi 50 ribu," ujar Sukirman, warga RT 02 Kelurahan Rawa Badak Jakata Utara. Kelangkaan dan kenaikan harga air gerobakan itu terjadi akibat terputusnya aliran PAM.

Kelangkaan air di sejumlah Kelurahan Jakarta Utara itu menimpa Rawa Badak, Sungai Bambu, dan Kebon Bawang. "Saya mohon pemerintah memerhatikan masalah air bersih ini. Kalau terlalu lama (air PAM) berhenti, warga tidak tahan. Kami sudah menderita karena banjir, sekarang untuk mendapatkan air bersih saja susahnya setengah mati,'' ujar seorang ibu asal Flores di Kelurahan Rawa Badak kepada Media Indonesia. Dua cuplikan peristiwa tadi menunjukkan krisis air atau ancaman kelangkaan air di Indonesia memang betul-betul ada.

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia memiliki potensi air dunia sebesar 6 persen atau 22 persen potensi air di kawasan Asia Pasifik. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan terus naik hingga 15-35 persen per kapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat (berkurang) akibat kerusakan alam dan pencemaran. Dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai lebih 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak.

Kelangkaan Air Tanah di Pulau Jawa

Sumber bahan baku air bersih di Indonesia berasal dari sungai, sumur, air artesis, mata air, danau, dan bendungan. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara di dunia yang kaya akan air, itu tidak menjamin akses air bersih yang mudah bagi warganya. Cadangan air kita mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, jauh di atas ketersediaan air rata-rata dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Masalahnya, krisis air terjadi setiap tahun.

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Hanong Santono mengatakan, kelangkaan air disebabkan distribusi ketersediaan air di Indonesia yang tidak merata. Contohnya, Pulau Jawa yang dihuni sekitar 65 persen penduduk Indonesia hanya memiliki 4,5 persen dari potensi air tawar Indonesia. "Jadi wajar sekali Jawa sangat rawan kelangkaan air," ujarnya.

Hanung menjelaskan, ketersediaan air di Pulau Jawa sebesar 1.750 meter kubik per kapita per tahun, di bawah standar kecukupan minimal yaitu 2.000 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah ini diperkirakan akan semakin menurun hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada 2020. Selain Pulau Jawa, kelangkaan air mengancam Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Kelangkaan air itu akibat maraknya perusakan lingkungan, pertambahan penduduk, serta tidak profesionalnya pengelolaan air (PAM).

Data dari LIPI menyebutkan, sumber air perusahaan daerah air minum (PDAM) berasal dari 201 sungai, 248 mata air, dan 91 artesis. Pada akhir PJP II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata 65% dan untuk produksi pangan naik 100%.

Pencemaran Air Baku

Selain penyusutan sumber air tanah, masyarakat juga menghadapi masalah pencemaran air baku. Sungai-sungai di Pulau Jawa umumnya berada pada kondisi memprihatinkan akibat pencemaran limbah industri dan limbah domestik. Padahal sebagian besar sungai itu merupakan sumber air bagi masyarakat, untuk keperluan mandi, cuci, serta sumber baku air minum olahan (PAM).

Di Jakarta misalnya, 13 sungai yang mengalir melewati ibukota sudah tercemar bakteri Escherchia coli (E-coli). Bakteri yang berasal dari sampah organik dan tinja manusia ini juga mencemari hampir 70 persen tanah di kawasan ibukota, sehingga berpotensi mencemari sumber air tanah. Hal itu terungkap dari hasil penelitian oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta pada 2006. "Tak satu pun sungai di Jakarta yang layak dijadikan sumber air minum," kata Kepala BPLHD Budirama Natakusumah dalam sebuah diskusi air bersih akhir Maret, seperti dikutip Koran Tempo.

Budirama mengatakan salah satu sungai yang tingkat pencemarannya paling parah adalah Sungai Ciliwung. Kadar bakteri E-coli pada sungai itu mencapai 1,6-3 juta individu per 100cc, jauh di atas baku mutu 2.000 individu per 100cc. Padahal sungai ini menjadi bahan baku air minum di Jakarta. Sedangkan penelitian lain menyebutkan, 76,2 persen dari 52 sungai di Pulau-pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi tercemar berat oleh zat organik, termasuk 11 sungai-sungai utama di Indonesia yang tercemar unsur amonium. Sungai-sungai yang mengalir di pulau Jawa, seperti Jakarta, cenderung lebih tercemar oleh bakteri E-coli akibat pencemaran tinja yang menyebabkan penyakit diare pada manusia.

Meskipun cukup berbahaya, namun bakteri E-coli sebetulnya bisa dijinakkan. Kepala Pengendalian Kerusakan Lingkungan BPLHD, Daniel Abbas mengatakan, air tanah yang terkontaminasi bakteri E-coli bisa dipulihkan dengan memasukkan air bersih. "Caranya, dengan memaksimalkan resapan air hujan ke tanah," ujarnya. Cara lain, kata Daniel, dengan menanam pohon sebanyak mungkin yang akarnya bisa menyerap air, mengurangi pembuangan sampah sembarangan, dan mengelola limbah domestik.

Penguasaan Sumber dan Distribusi Air

Di luar penyusutan air tanah dan pencemaran oleh bakteri, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menuduh penguasaan sumber air baku yang tidak terbatas dan ketidakprofesionalan perusahaan pengolahan air bersih (PDAM) sebagai masalah besar. Khusus dalam persoalan air bersih, Hanung Santono mengatakan, sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Dari yang memiliki akses, ujar Hanung, sebagian besar mendapatkan air bersih dari penyalur air, usaha air komunitas, dan sumur air dalam.

Kesulitan masyarakat memperoleh air bersih semakin bertambah, kata Hanung, ketika sebagian besar perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia beroperasi dalam kondisi tidak sehat. Privatisasi pengelolaan air seperti yang dilakukan di Kota Jakarta, menurut Hanung, juga tidak berpengaruh signifikan terhadap pengelolaan air bersih. "Sudah saatnya pemerintah mengambilalih pengeloaan air bersih karena ketika diswastakan, pengelolaan air bersih untuk warga tidak bertambah baik," katanya.

Air Bersih dan Milenium Development Goals (MDGs)

Separuh jalan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium pada 2015, Indonesia terancam gagal. Laporan MDGs Asia-Pasifik 2006 yang dirilis UNDP, menempatkan Indonesia ke dalam negara yang mundur bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina. Tantangan Indonesia untuk mencapai tujuan nomor 7 yaitu mengurangi separuh dari proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi dasar, sangat berat. Data Bappenas menunjukkan hingga saat ini, lebih dari 100 juta penduduk Indonesia belum mempunyai akses terhadap air (bersih) yang aman untuk diminum. Hal ini disebabkan, belum tersedianya sarana yang memadai di samping rendahnya prioritas anggaran penyediaan air bersih dari pemerintah.

Dalam Konferensi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milennium (MDG's) dihasilkan dua rekomendasi Umum tentang tata kelola air bersih di Indonesia.

Pertama, PDAM dan pemiliknya yakni pemerintah daerah, menentukan target dan insentif yang tepat untuk memperluas jangkauan pelayanannya agar mampu memenuhi tumbuhnya permintaan akan air bersih dan meningkatkan akses air bersih bagi warga miskin. PDAM diharapkan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat miskin, mendorong partisipasi swasta, kompetisi antara penyedia independen, serta mengoptimalkan kontribusi penyedia jasa swasta berskala kecil.

Kedua, dalam rangka menyediakan jaringan air bersih di pedesaan, masyarakat didorong agar lebih mandiri. Pemerintah hanya berperan sebagai penentu standar, fasilitator untuk menampung aspirasi warga terkait masalah pelayanan air bersih dan meningkatkan kualitas produksi air serta akses pelayanan kepada publik. Sudah saatnya dipikirkan untuk menyediakan pelayanan air bersih dan sanitasi berbasis komunitas.

Tanggung jawab pengadaan air bersih memang sebaiknya tidak dibebankan hanya kepada pemerintah. Pihak swasta dan masyarakat umum bisa dilibatkan secara proporsional dan saling melelengkapi. Salah satunya agar target pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), bisa didekati. Karena bagaimanapun, tujuan akhirnya adalah kemakmuran dan peningkatan kesehatan rakyat (EM/Dari berbagai sumber)



Post Date : 25 April 2007